Anton dan Alina

princess bermata biru
Chapter #10

Genggam Tanganku

Setiap anak tak bisa memilih ingin dilahirkan dalam keluarga apa. Namun Anton tak perlu memilih untuk dilahirkan dalam keluarga yang bahagia. Tanpa perlu memilih pun, ia sudah mendapatkannya.

Anak mana pun akan bersedia bertukar posisi dengannya. Putra tunggal pengusaha berdarah Jerman, Adolf Umar. Istrinya, Anggun Paramita, seorang analis kesehatan. Kasih sayang tercukupi, materi terpenuhi, kesehatan terjamin. Mau sekolah dimana pun dengan biaya berapa pun tak masalah. Semua jenis mainan idaman anak-anak lelaki umur 7-11 tahun sudah terbeli. Setiap akhir pekan quality time bersama keluarga dengan rekreasi dan makan malam ke restoran mahal di seantero kota. Tiap awal semester selalu punya baju, sepatu, tas, dan perlengkapan sekolah baru. Bisa membeli semua buku yang diperlukan dan diinginkan. Semua kegiatan non akademis di luar sekolah seperti les, bimbel, belajar musik, basket, dan bahasa asing difasilitasi penuh. Apa lagi yang kurang?

Semua kemewahan itu tidak menjadikannya sombong. Ia bahkan senang berbagi pada teman-temannya yang kurang beruntung. Ia selalu antusias tiap kali Nyonya Anggun mengajaknya ke panti asuhan untuk memberikan santunan. Jiwa sosialnya tumbuh sempurna sejak kecil. Sesempurna paras wajahnya yang tampan.

“Kasihan mereka ya, Bunda. Harus tinggal di panti asuhan tanpa kenal orang tua mereka.”

Nyonya Anggun tersenyum. Mengusap lembut rambut anak lelaki satu-satunya. Anton sudah mengerti arti empati, amal, dan berbagi.

Tiba di rumah, ia disambut hangat sepupu cantiknya. Anton sangat dekat dengan gadis kecil seusianya itu: Putri Mutiara Sanitya Deatami Anom. Namanya sangat panjang. Ia lebih suka dipanggil Muti. Gadis 7 tahun keturunan India yang sangat cantik. Dahi, hidung, dan matanya membentuk tipe wajah Kaukasoid. Sedangkan bibir tipis dan dagunya yang berbentuk v-shape menunjukkan tipikal Mongoloid. Memang begitulah wajah khas perempuan berdarah India. Mereka mempunyai perpaduan wajah Kaukasoid dan Mongoloid.

“Muti...!” Anton berseru senang. Ekspresif menyambut sepupunya yang jelita.

“Muti kangen sama Anton.” ujar gadis kecil itu. Wajar, mengingat terakhir kali mereka bertemu dua bulan lalu. Saat keluarga besar berkumpul untuk merayakan Idul Fitri. Muti dan kedua orang tuanya tinggal di Bali. Dua bulan sekali mereka kembali ke Bandung dan berkumpul dengan keluarga besar lainnya.

“Kita ke taman yuk,” ajak Anton.

“Yuk. Muti pengen main ayunan.”

Bergandengan tangan, dua anak itu melangkah ke taman. Orang tua mereka hanya tersenyum memperhatikan kedekatan dua sepupu itu.

“Anton senang nggak sekolah di Al Irsyad Satya Islamic School?” tanya Muti saat mereka bermain ayunan. Anton mendorong ayunan Muti.

“Senang kok. Di sana Anton punya banyak teman. Guru-gurunya juga baik. Muti gimana? Homeschooling, kan?” Anton balik bertanya.

“Iya. Muti kesepian. Belajarnya sendirian. Kalo nggak sama Ibu, pasti sama Miss Tatiana.” jawab Muti sedih.

“Jangan sedih ya? Muti kan masih punya Anton. Kalo Muti kesepian, telepon Anton aja. Anton sayang Muti.”

Pelupuk mata Muti berkerjap. Bulu matanya yang lentik bergerak-gerak. Satu tangan Anton diraihnya. Digenggamnya erat.

“Muti juga sayang sama Anton. Kita kan saudara,” lirihnya.

Rindu tertebus. Kasih sayang antara dua anak kecil itu tersalurkan dengan baik.

Ironisnya, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Tetiba saja, gerakan Anton mendorong ayunan Muti terhenti. Bukan tanpa alasan. Anak lelaki berwajah tampan itu merasakan sakit di kepalanya. Sedetik kemudian, darah segar mengalir dari hidungnya.

“Anton mimisan!” teriak Muti panik. Melompat bangkit dari ayunan. Berlari ke sisi sepupunya.

Darah terus mengalir. Menit berikutnya Anton jatuh pingsan.

Lihat selengkapnya