“Kamu boleh menyakitiku, tapi jangan menyakiti Chelsea. Jangan halangi aku bertemu putriku sendiri.”
Nada tegas tertangkap kuat dalam suara barithon itu. Pierre mundur satu langkah. Berhenti menghalangi jalan Anton. Pria bermata sipit dan berwajah oriental itu gentar menghadapi rivalnya.
Anton berjalan cepat memasuki rumah besar itu. Rumah yang semula ditempatinya bersama Alina dan Chelsea. Terpaksa ia harus meninggalkannya lantaran perceraian paksa itu.
Di ruang tamu, Chelsea telah menanti. Ia duduk di sofa Victorian rosewood bersama Andini. Ya, Andini Fatwa. Wanita cantik yang selama ini menjadi guru pendamping Chelsea dalam mengikuti homeschooling. Guru cantik yang juga Bundanya Rosie dan istri Anton Fast Cavanaugh.
“Ah, akhirnya kamu datang juga.” Andini tersenyum senang. Bangkit lalu menjabat tangan Anton.
Chelsea melompat bangun dari sofa. Melempar diri ke pelukan ayahnya.
“Ayah ....” Chelsea terisak-isak. Membenamkan wajah di dada Anton.
“Hari Minggu kemarin Om Pierre pukul Chelsea. Katanya Chelsea nggak boleh ketemu Ayah.”
“Astaghfirulah ... Om Pierre lakuin itu sama Chelsea?” Anton bertanya, syok dan tak percaya.
“Iya, Ayah. Om Pierre jahat.” Gadis kecil berlesung pipi itu menunjukkan memar kebiruan di lengan kirinya. Hasil pukulan Pierre.
Anton membelai memar di lengan putrinya. Ia tak bisa tinggal diam. Semua permainan ini harus segera diakhiri.
“Chelsea juga cerita padaku, Anton.” Andini menguatkan pernyataan muridnya.
“Aku tahu apa yang harus kulakukan, Andini,” sela Anton cepat.
“Bagus. Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu hubungi aku atau Albert, ya.”
“Terima kasih banyak, Andini.”
Tanpa bantuan Andini dan suaminya, Anton takkan bisa bertemu Chelsea siang ini. Pierre melakukan segala cara untuk menghalangi Anton bertemu Chelsea. Rupanya ia ingin memisahkan ayah dan anak itu. Sebuah tindakan keliru.
**
Alina menekan kekhawatirannya ke dasar hati. Bagaimana tidak, ia melihat Anton memaksakan diri menyetir mobil dan menolak digantikan. Wanita cantik berdarah Sunda-Belanda itu tak ingin merusak kebahagiaan mereka.
“Anton, kamu pucat sekali. Jangan nekat, biar kugantikan ya?” tawar Alina untuk kedua kalinya. Melirik cemas seraut wajah pias namun tampan yang tengah berkonsentrasi mengemudi itu.
“Aku baik-baik saja, Alina.”
Andai saja Alina tahu. Sebelum menjemput Chelsea, Anton sempat mimisan. Kejadian itu hanya diketahui sekretarisnya. Itu pun tepat sebelum ia meninggalkan kantor.
“Kalau kamu kelelahan, aku gantikan. Okey?” Alina menegaskan.
Chelsea duduk di pangkuan Alina. Ia senang sekali bisa berada di tengah kedua orang tuanya.
The Stone Cafe adalah destinasi mereka. Sebuah cafe bergaya klasik di Dago Pakar dengan pemandangan yang indah. Mereka telah melakukan reservasi satu jam lalu.
Seperti ekspektasi mereka, pandangan mata langsung dimanjakan oleh pemandangan yang sangat indah dari puncak Dago Pakar. Anton dan Alina memiliki selera tinggi. Mereka tak salah pilih.
Seorang waiters mendekat. Bermaksud menanyakan menu. Mulanya Anton tak menyadari sesuatu. Justru Alina yang pertama kali tersadar.
“Anton, siapa itu?” bisik Alina tegang. Refleks mencengkeram jemari Anton erat.
Pria tampan itu mengikuti arah pandang Alina. Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Butiran darah yang mengaliri tubuhnya seakan hancur seketika. Wajah Anton semakin pucat.
“Tesa?”
Si pramusaji pun keheranan. Menit berikutnya, notes dan pensil di tangannya terjatuh.
“Anton ....” desah Tesa pelan.
Atmosfer kehangatan di meja itu sontak berubah. Alina terlihat tegang, Chelsea bergerak tak nyaman di kursinya. Sementara itu, Anton berusaha menguasai diri.
“Kamu bekerja di sini, Tesa?” tanyanya.
“Iya,” jawab Tesa canggung.
Penampilan modis Alina dan Anton berbanding terbalik dengan Tesa. Wanita keturunan Minahasa-Jerman itu terlihat jauh lebih kurus. Lingkaran hitam di matanya mencerminkan keletihan. Rambutnya tak lagi panjang, melainkan dipotong pendek.
Anton dan Alina tak menyangka bertemu Tesa di sini. Rasanya Tesa mampu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Bukankah ia Sarjana Psikologi? Minimal ia bisa menjadi staf bagian HRD sebuah perusahaan multinasional. Jika memungkinkan, pendidikannya bisa diteruskan ke jenjang pendidikan profesi. Mengapa kenyataannya justru seperti ini?
“Anton, aku ingin bicara denganmu.”
Tanpa diduga, Tesa meminta hal itu. Kerutan kecil muncul di kening Anton. Alina tetap tenang. Chelsea melempar pandang tak suka ke arah Tesa. Siapa pun yang mengganggu quality time bersama Ayah-Bundanya, siap-siap saja dihadiahi wajah cemberut Chelsea.
**
“Kabarnya, kamu mau cerai sama Alina ya?” tanya Tesa blak-blakan.
Entah ini lucu atau tidak. Bagi Anton, Tesa tetaplah Tesa. Tidak berubah sampai kapan pun. Tesa Mariana yang tidak suka basa-basi, skeptis, dan keras kepala. Wanita ini pernah mengisi bingkai kehidupan Anton bertahun-tahun lalu.
“Tidak,” jawab Anton singkat.
“Berarti, informasi yang kudengar itu hoax?” tanya Tesa lagi.
“Begitulah. Pokoknya, aku tidak akan bercerai dengan Alina.”
Sesaat Tesa mengerjapkan mata. Berpura-pura tenang adalah tindakan bodoh dalam situasi ini. Ia justru resah.
Dua meja dari sana, Alina dan Chelsea sama resahnya. Terpaksa mereka mengalah. Mengizinkan Anton dan Tesa bicara berdua. Sangat disayangkan, waktu kebersamaan yang begitu langka ini dicuri Tesa.
“Kelihatannya kamu sangat mencintai Alina,” ucap Tesa.
“Of course. Aku sangat mencintai Alina.”
Sikap pura-pura tenang itu lenyap. Kepura-puraannya tersingkap. Ekspresi wajahnya berubah kalut.
“Kembalilah padaku, Anton,” kata Tesa tiba-tiba.
Caramel macciato di gelas Anton nyaris tumpah. Sebuah tindakan berani. Tesa secara eksplisit memintanya kembali. Semudah itu? Setelah apa yang dilakukannya?
“Aku tidak salah dengar?” Anton tersenyum kecil.
“Kamu mau kembali bersama pria mandul dan berpenyakit sepertiku?”
Tamparan telak mendarat di lubuk hati Tesa. Kata-kata Anton menghantamnya kuat. Dialah yang memaki Anton dengan sebutan itu. Bahkan dia menyuruh teman-temannya melakukan cyber bullying terhadap mantan tunangannya sendiri.
“Aku menyesal, Anton. Maaf ....” desis Tesa.
“Aku memaafkanmu, Tesa. Tapi aku tak bisa kembali padamu. Kamu paham, kan?” tolak Anton lembut.
Sungguh, Tesa merindukan suara barithon itu. Sepasang mata teduh menenangkan itu. Wangi Calvin Klein itu. Hatinya disergap penyesalan. Bila waktu diputar kembali, ia takkan menyia-nyiakan Anton.
“Anton, kamu ingat kejadian di awal semester itu?”
“Ya, aku ingat.”
Rupanya Tesa membawanya ke dalam lautan kenangan. Membuka kembali kenangan lama dalam peti ingatan.
**
Awal semester pertama kuliah adalah masa keemasan bagi Anton. Ia terpilih menjadi ketua angkatan, diterima di Radio Carissa sebagai penyiar, dan mendapat nilai bagus. Kesehatannya masih sangat baik. Penyakit Celiac yang merampas kebahagiaan dan kesempatannya meneruskan keturunan belum melakukan invasi.
Cerahnya langit Kota Bandung merepresentasikan suasana hati Anton. Ia menaikkan sedikit kecepatan mobilnya. Ingin cepat sampai di rumah. Tak sabar memberi tahukan kabar bahagia diterimanya dirinya di Radio Carissa pada Tuan Adolf dan Nyonya Anggun.
Celakanya, kebahagiaan yang ia rasakan berdampak fatal. Wajar bila anak muda mengekspresikan euforia dan kegembiraannya. Namun ....
Brak!
“Innalillahi...”
Jantungnya nyaris berhenti berdetak. Anton menabrak seseorang. Gawat, baru kali ini ia menabrak saat menyetir mobil. Bukan Rupert Anton namanya jika tidak bertanggung jawab. Ia turun dari mobil, mendekati korbannya.
Ternyata ia menabrak seorang gadis. Anton mengulurkan tangan. Membantu gadis itu bangun. Melihat baret dan luka di tubuhnya.
“Kamu nggak apa-apa, kan? Loh, Tesa ...?” sesal Anton.
“Iya, saya, tapi ....”
Si gadis tertunduk dalam. Menatapi rosario di tangannya. Sekejap kemudian Anton paham. Rosario itu putus.
“Oh...maaf. Aku ganti ya?” ujar Anton, makin tak enak hati karena telah merusak benda rohani milik gadis itu.