Aku berjalan sendiri menuju indekos setelah menyelesaikan tugas akhir di kampus. Suasana saat ini, terasa sedikit berbeda. Atau mungkin jauh lebih berbeda karena jalan menuju indekos yang sudah kutempati selama satu tahun ini sangat sepi.
Biasanya banyak pedagang kaki lima yang masih membuka lapak di area trotoar, begitu pula dengan kios-kios yang berada di sekitar sini. Tapi, kenapa malam ini justru sangat sepi? Tidak ada pedagang nasi goreng yang menjadi langgananku, atau juga kios pulsa yang sering menyetel musik keras-keras bahkan sampai terdengar sekitar setengah kilometer dari sini. Ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh di sini?
Aku memang bukan pemberani, tapi setidaknya aku bukan pengecut yang akan lari terbirit-birit karena suasana yang mulai mencekam dan agak horor ini. Melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada orang mencurigakan yang mengikutiku. Benar-benar kosong melompong. Aku jadi menyesal tidak mengiyakan ajakan teman dekatku yang sudah seperti saudara kandung─Sherly─untuk pulang bersama sore tadi dan lebih memilih untuk menyelesaikan tugas akhir di kampus. Karena yah, kalian tahu sendiri jika di kampus sudah tersedia wifi gratis yang bisa diakses oleh seluruh mahasiswa dan juga dosen beserta pekerja di sana. Sedangkan di indekos, aku harus menggunakan paketan data yang tidak seberapa. Ditambah lagi dengan sinyal yang timbul tenggelam karena indekos yang kutempati berada diantara gedung-gedung tinggi yang membuat sinyal susah masuk.
Aku mulai merinding saat mendengar suara kasak kusuk di belakang, membuatku menoleh untuk memastikan. Namun, kosong. Hanya ada kesunyian. Begitu melangkah lagi, hanya terdengar suara jejak kakiku. Bukannya aku takut pada makhluk tak kasat mata, hanya saja belum pernah bertemu dan tidak berharap bertemu meski percaya bahwa mereka memang ada. Perasaanku semakin tidak enak saat melewati jalan gelap karena bangunan di sekitar sini sudah lama terbengkalai.
Aku terdiam sesaat memerhatikan jalanan menuju rumah kos yang masih beberapa ratus meter lagi di depan. Kenapa di sini sangat sepi sekali? Ya Allah, lindungilah hambamu ini.
Setelah menenangkan irama detak jantung yang lebih keras dari biasanya, aku melangkahkan kaki lagi dengan tetap celingak-celinguk di sekitar untuk memastikan bahwa aku aman.
Saat mataku kembali menatap jalanan di depan, saat itu pula muncul beberapa orang dari semak-semak dan bangunan yang terlihat sangat menyeramkan di malam hari. Mereka melangkah mendekatiku dengan perlahan. Tercetak jelas senyum miring yang sangat mengerikan di wajah sangar mereka. Penampilan mereka sangat berantakan, persis seperti anak berandalan yang beberapa bulan ini sering aku temui. Tapi, jelas orang-orang yang aku kenal jauh lebih manusiawi ketimbang orang-orang yang terus berjalan mendekatiku. Sementara aku terus mundur dengan wajah yang sudah pasti sangat ketakutan. Aku mencengkeram erat tas selempang yang aku pakai sambil terus berjalan mundur hingga aku merasa telah membentur sesuatu yang keras tepat di belakang punggungku.
Aku melirik dengan ekor mataku, Subhanallah! Ternyata mereka juga berada di belakangku dan otomatis, aku langsung menjauh dari orang yang aku bentur tadi. Dari yang aku lihat sekilas, ada sekitar sepuluh orang berandal yang mengepungku saat ini. "Abah, Umi. Tolong Aisyah." Aku menyebut nama orang tuaku dengan berbisik, sehingga aku yakin mereka tidak mendengarnya. Karena mereka sama sekali tidak terganggu dengan gumamanku itu.