Antropologi Cinta

Satorie
Chapter #2

1. Tempat Tinggal Baru

"Pokoknya, Aisyah harus hati-hati di tempat baru. Jangan kelayapan. Perempuan harus bisa jaga diri. Sekarang sudah nggak ada Uwa yang jaga."

Pesan abah terhadapku melalui video call saat bersiap meninggalkan rumah Uwa Salim yang aku tempati selama kuliah di Jakarta. Seperti biasa, abah akan menggunakan bahasa Sunda saat berbicara denganku. Yep benar sekali, aku berasal dari Bandung. Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah menengah atas di salah satu sekolah paling maju di Bandung, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jakarta. Sebenarnya aku ingin sekali melanjutkan kuliah di luar negeri. Di Korea Selatan, misalnya. Selain menuntut ilmu, aku juga bisa mengeksplor negeri yang sedang digandrungi anak muda hampir di seluruh dunia itu. Termasuk juga aku. Siapa sih jaman sekarang yang tidak suka BTS atau Blackpink? Bahkan abah juga sering mendengarkan musik BTS yang sering aku setel sambil memandikan dan memberi makan burung-burung kesayangannya di pagi hari. Sambil di temani kopi dan pisang goreng buatan umi, abah meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama musik.

Tapi, abah sama sekali tidak memberikan ijin untukku pergi ke luar negeri. Aku sempat ngambek, beberapa hari tidak keluar kamar. Ayolah, selama delapan belas tahun aku selalu menuruti perkataan abah dan umi. Menjadi anak baik, sholehah, tidak pernah membuat onar, justru selalu membuat bangga kedua orang tuaku. Sementara abah sama sekali tidak mau menuruti keinginanku yang satu itu─atau mungkin menjadi keinginanku satu-satunya. Selama beberapa hari itu pula aku berpikir keras. Akhirnya, aku memutuskan untuk tetap kuliah di dalam negeri. Tapi, tidak di Bandung. Di Jakarta. Sejak aku lahir hingga lulus SMA, aku terus saja berada di samping orang tuaku. Maklumlah, aku ini anak tunggal dari Abah Suganda dan Umi Hanum. Kedua orang tuaku sangat disegani di kampung. Mereka semacam tetua yang akan selalu didengarkan setiap perkataannya. Dan aku ingin, sekali saja bisa keluar dari zona nyaman ini. Zona di mana aku selalu merasa terlindungi dan tidak khawatir akan kekurangan satu apapun. Jika aku terus-menerus bersembunyi di bawah ketiak kedua orang tuaku, bagaimana aku bisa berdiri di atas kedua kakiku sendiri.

Awalnya abah menolak, tapi dengan sedikit bujuk rayu dan janji manis dariku akhirnya abah mengijinkanku kuliah di Jakarta. Aku senang sekali saat mendengarnya. Lalu dibuat kecewa lagi karena aku harus tinggal dengan Uwa Salim selama kuliah di Jakarta. Itu satu-satunya persyaratan dari abah yang sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Atau pilihannya aku akan tetap berada di Bandung sampai akhir hidupku.

Tiga tahun aku hidup bersama keluarga Uwa Salim─Kakak kandung dari Umi─kedua anak Uwa Salim yang merupakan sepupuku sudah menikah dan ikut suami masing-masing. Maka dari itu, Uwa Halimah senang sekali saat mendengar aku akan tinggal bersamanya. Mereka benar-benar memperlakukanku seperti layaknya anak kandung mereka sendiri. Kebutuhanku selalu terpenuhi. Hingga akhirnya, saat ini aku akan terbebas dan hidup sesuai keinginanku sendiri. Seperti yang selama ini aku impikan. Seperti yang sudah-sudah, agak alot membujuk abah untuk memberikan ijin aku tinggal di indekos sendiri. Aku mengatakan pada abah, bahwa di semester akhir kuliah ini akan ada tugas akhir yang pastinya menyita banyak waktu. Sedangkan jarak rumah Uwa Salim dan kampusku lumayan jauh. Kampusku berada di Jakarta Selatan, sedangkan rumah Uwa Salim di Jakarta Barat. Bisa dibanyangkan berapa lama waktu yang harus kutempuh setiap harinya dengan menggunakan kendaraan umum. Jadi, alasan itu aku gunakan untuk bisa keluar dari rumah Uwa Salim dan tinggal sendiri di indekos.

Tetap saja Abah tidak tinggal diam begitu saja. Bahkan urusan indekos yang akan kutempati juga diatur oleh abah. Beliau mencarikan indekos yang paling dekat dengan kampus dan fasilitas yang memadai. Bisa dibilang indekos yang akan aku tempati nanti adalah salah satu indekos elite di sekitar kampus. Dan aku hanya bisa pasrah ketika abah sudah mengeluarkan titahnya.

"Iya, Abah. Aisyah ngerti. Aku akan jaga diri dengan baik. Udah dulu ya, Abah. Udah ditunggu sama Uwa. Mau ke tempat kos. Assalamu'alaikum." Aku menyudahi pembicaraan dengan abah seraya melambai pada umi yang berada di sampingnya, lalu mematikan sambungan video call kami dan menyimpan ponselku ke dalam tas sebelum menghampiri Uwa Salim yang sudah menunggu di teras.

Aku menepuk-nepuk punggung Uwa Halimah yang sedang memelukku sambil menangis tersedu. Tidak tahu harus merespon apa lagi selain mengelus punggungnya dan mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja. Bukannya berhenti, Uwa Halimah semakin menangis. Aku melirik pada Uwa Salim berniat meminta pertolongan untuk menghentikan tangisan Uwa Halimah. Uwa Salim langsung menarik Uwa Halimah agar melepaskan pelukannya padaku yang semakin terasa menyesakkan.

Aku mengambil napas dengan rakus seakan paru-paruku menjadi sempit akibat pelukan dari Uwa Halimah barusan. Aku berpamitan pada Uwa Halimah dengan mencium punggung tangannya dan dibalas dengan cipika cipiki padaku.

"Kamu hati-hati, ya di sana, Neng. Baru saja Uwa merasa punya anak lagi dengan kamu tinggal di sini. Eh, sekarang sudah ditinggal pergi lagi. Uwa 'kan jadi kesepian lagi, Neng," ucap Uwa Halimah dengan terus meneteskan air matanya. Dan tidak lupa juga untuk membersit ingus yang keluar dari hidungnya yang memerah seperti badut.

"Nanti kalau Aisyah ada waktu luang pasti disempetin main ke sini kok, Uwa. Jadi, Uwa jangan sedih lagi, ya. Lagian, kan kalau Uwa kangen Aisyah, kita bisa video call atau kirim chat WhatsApp. Pokoknya Uwa tenang saja, Aisyah bakal jaga diri baik-baik."

"Kamu janji, ya bakal main ke sini." Aku menganggukkan kepala sebagai balasan. "Jangan lupa lho. Kalau ada apa-apa jangan sungkan buat hubungi Uwa. Kalau Uwa bisa pasti nanti dibantu."

Sekali lagi Uwa Halimah memelukku. Tapi, kali ini tidak terlalu erat. Setelah itu, aku dan Uwa Salim masuk ke mobil dan meninggalkan Uwa Halimah yang masih berdiri di depan rumah memandangi kepergianku. Aku juga sudah menganggap Uwa Salim dan Uwa Halimah seperti orang tua keduaku. Bagaimanapun juga aku sempat bergantung hidup pada mereka beberapa tahun ini. Aku sangat menyayangi mereka seperti aku menyayangi abah dan umi.

**

Lihat selengkapnya