Antropologi Cinta

Satorie
Chapter #4

3. Bertemu Sherly

Malam ini aku memulai kegiatan yang sudah kujalani sejak tinggal di rumah Uwa Salim. Yah, walaupun harus mencuri-curi waktu saat itu. Tapi, sekarang aku sudah bebas. Bisa melakukan apa saja yang kumau.

Setelah seharian tadi sibuk mencari informasi dan sempat mengikuti Sherly di kampus sampai-sampai tugasku sendiri terbengkalai, aku tiba di indekos pukul enam sore. Saat itu, halaman depan cukup ramai dengan tamu yang sebagian besar adalah laki-laki. Aku hanya melewati mereka dengan menyunggingkan senyum tanpa menyapa. Karena aku belum mengenal satu persatu dari penghuni kos ini. Mereka juga hanya membalas sekedarnya.

Akhirnya berhasil juga melewati mereka yang memandangiku seolah aku makhluk yang datang dari planet lain. Benar-benar mengerikan. Sesampainya di lobi, aku dikejutkan dengan sepasang muda-mudi yang lagi bercumbu dengan santainya di pojokan. Astagfirullah! Aku langsung menutup mata sambil terus menyebut nama Allah dalam hati. Subhanallah! Benar-benar menguji iman tinggal di sini.

Aku langsung membersihkan diri setelah masuk kamar. Berganti pakaian lalu menunaikan salat magrib. Kubuka Alquran berwarna biru tosca yang berada di nakas di samping kasur. Mulai kulantunkan ayat-ayat suci dari surah Al Kahf.

Pikiran dan seluruh tubuhku terasa lebih ringan setiap kali membaca Alquran. Entah sudah berapa lama aku mengaji karena tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Ralat, ini bukan diketuk melainkan digedor. Langsung kuletakkan Alquran ke nakas. Saat pintu terbuka, terpampang wajah seorang cewek yang terlihat sayu. Dia mengenakan tangtop dan hotpan dengan rambut terikat yang berantakan. Kulirik ada sebuah rokok yang diapit oleh jari telunjuk dan jari tengah di tangan kanannya.

"Eh, lo anak baru ya?" semburnya padaku dan langsung terhirup bau alkohol yang sangat pekat. "Bisa nggak sih kalo lagi nyanyi tuh pelan-pelan aja. Berisik tau nggak. Ganggu gue tidur aja."

Aku menggerutu dalam hati. Bukannya lagi bernyanyi, tapi aku lagi mengaji tau. Walau tidak akan didengar oleh cewek yang sebenarnya sangat cantik dengan kulit seputih kapas yang masih berdiri di hadapanku dengan wajah berang itu.

"Heh! Lo denger nggak sih gue ngomong apa?" semburnya lagi karena belum mendapat jawaban dariku.

"Maaf, aku nggak sadar kalo suaraku terdengar sampai kamarmu. Akan kukecilkan suaraku mengaji," jawabku dengan suara seperti tikus terjepit saat melihat cewek di hadapanku ini yang seolah siap menerjangku jika tidak segera menjawabnya.

"Hem. Bagus deh kalau lo tau diri. Kalau gue denger lagi suara jelek lo itu, gue nggak akan segan-segan ngusir lo dari sini!"

Aku mengedipkan mata beberapa kali setelah cewek yang tidak kuketahui namanya itu pergi meninggalkan kamarku begitu saja setelah mengancamku. Ternyata dia masuk ke kamar yang berada di sebelah kamarku. Aku menghela napas sebelum masuk kembali ke kamar dan menguncinya. Penghuni indekos di sini benar-benar tidak punya etika. Apa orang tua mereka tidak pernah mengajari tata krama? Entahlah. Sepertinya aku harus mencari tempat tinggal baru.

Beberapa saat setelah masuk kamar kembali, terdengar azan berkumandang menunjukkan waktu isya telah tiba. Aku langsung menunaikan ibadah salat isya mumpung masih memiliki wudu. Kali ini, saat selesai salat aku langsung merapikan mukena dan sajadah tanpa mengaji terlebih dahulu. Aku tidak mau mengulangi kesalahan untuk yang kedua kalinya. Karena saat mengaji, tanpa sadar suaraku semakin lama terdengar semakin keras. Aku tidak mau cewek aneh penghuni kamar sebelah datang lagi dengan tampang yang lebih garang daritadi. Bisa-bisa aku benar-benar diusir dari sini hanya dalam waktu kurang dari sehari.

Aku merebahkan diri di kasur yang empuk yang pernah aku punya. Bukan berarti kasur yang diberikan abah atau Uwa Salim tidak empuk, hanya saja kasur di indekos ini jauh lebih empuk dan nyaman untuk ditiduri. Jangan-jangan karena aku merasa sangat lelah hari ini, jadi kasur di sini terasa lebih nyaman. Terbukti karena aku langsung terlelap sesaat setelah merebahkan diri.

Aku terbangun dan langsung melihat jam yang menempel di dinding di depan kasur. Sudah jam sembilan malam rupanya. Aku segera mencuci muka dan mengganti pakaianku dengan sweter agar lebih hangat. Tidak lupa dengan hijab yang senada dengan warna sweterku, warna peach. Aku lebih suka warna-warna pastel karena terlihat lebih anggun saat kukenakan. Perutku sudah mulai berontak minta segera diisi. Aku mengambil tas selempangku dan bergegas keluar kamar, tidak lupa untuk menguncinya.

Sesampainya di gerbang, aku berpamitan pada kedua satpam yang berjaga. Ternyata salah satunya adalah Mang Yanuar yang semalam aku temui. Dan seorang lagi bernama Mang Asep. Ternyata Mang Asep juga berasal dari Bandung. Senang mendengar ada yang satu kampung denganku.

"Neng geulis teh mau kemana malam-malam begini?" tanya Mang Asep setelah memperkenalkan dirinya.

"Mau cari makan, Mang. Tadi ketiduran abis salat isya. Nggak apa-apa kan keluar malam-malam gini?"

"Ya nggak apa-apa atuh, Neng. Jam malam di sini sampe tengah malam. Neng teh mau ditemani saja atau gimana?"

"Ngak usah, Mang. Saya bisa sendiri kok. Lagian jalanan sini jam segini masih rame. Makasih udah ditawarin buat nemenin. Saya permisi dulu. Asalamualaikum."

"Hati-hati ya, Non." Kali ini yang berbicara adalah Mang Yanuar. Aku langsung membalasnya dengan anggukan dan senyum manis.

Ternyata cukup longgar juga jam malam di sini. Pantas, penghuni indekos di sini bebas pulang larut malam. Kalian pasti tahu dong orang yang aku maksud. Aku berjalan menyusuri perumahan indekos sambil memperhatikan sekitar untuk menghafal lingkungan di sini. Sampai di ujung jalan, aku belok ke kanan menyusuri trotoar yang terdapat beberapa pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya. Ada bakso, ketoprak, lontong balap, nasi goreng, dan gorengan. Pilihanku jatuh pada pedagang nasi goreng.

**

Lihat selengkapnya