Menjadi mahasiswa Antropologi cukup menguras tenaga. Setiap minggu ada saja tugas lapang yang mengharuskan kami bolak-balik ke desa yang menjadi objek penelitian. Bahkan, terkadang kami harus menginap berhari-hari di desa tersebut demi mendapatkan hasil maksimal.
Tidak jarang juga kami tidur tanpa alas, makan seadanya, bahkan tidak mandi berhari-hari jika di desa tempat penilitian tidak terdapat air bersih. Harus tahan banting, belum lagi kalau dapat dosen killer─salah sedikit, laporan yang kami buat langsung dibuang seperti sampah. Sebelas dua belas lah dengan pendidikan ala militer.
Seperti yang kulakukan bersama kelompok beberapa hari yang lalu. Kami harus meneliti budaya 'Upacara Adat Ngertakeun Bumi Lamba' di Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Kurang lebih, tiga hari kami di sana. Ingin hati pulang sebentar untuk bertemu abah dan umi, tapi dosen kami meminta laporan segera dikumpul keesokan harinya. Mau tidak mau, kami harus balik ke Jakarta di hari ketiga.
"Kanaya, ini bahan buat laporan kita."
Aku mendongak menatap seorang teman cowok yang merupakan anggota satu kelompok. Dia menyerahkan bahan laporan berupa data yang diperoleh saat di desa beserta buku-buku referensi dan hasil dokumentasi kami. Aku dan dua teman cewek yang lain bertugas untuk mengolah semua data tersebut menjadi sebuah makalah sebagai laporan akhir yang akan diserahkan pada dosen.
"Oke, makasih," ucapku sambil memeriksa satu persatu data yang dia serahkan.
"Kalo gitu, gue cabut dulu, ya! Yang lain udah nunggu di warung depan. Entar kalo ada apa-apa kalian telepon aja," terangnya yang mendapat acungan jempol dari kami. Lalu dia benar-benar pergi meninggalkan kami seraya melambaikan tangan kanannya.
Yah, beginilah jika satu kelompok dengan para cowok pemalas. Mereka akan mengambil tugas paling mudah dan menyenangkan seperti mengumpulkan data dan dokumentasi. Sedangkan bagian tersulit untuk mengolah data menjadi hasil akhir yang sempurna diberikan pada para cewek yang terkenal rajin. Apakah kalian juga pernah merasakannya? Kita senasib.
Jari-jariku mulai menari di atas keyboard, memasukkan semua data hasil penelitian kelompok kami, dibantu dengan dua teman cewek lainnya yang juga sedang serius membandingkan data yang kami peroleh di lapangan dengan data dari buku referensi. Bagian tersulit dari membuat laporan adalah pembahasan. Kenapa? Karena dalam pembahasan kita harus menyajikan data sesuai dengan fakta yang ada di lapangan, tapi juga harus relevan dengan referensi yang ada. Di sini kita harus pintar-pintar mengolah bahasa, sedikit mengarang dan diberi bumbu-bumbu penyedap agar terlihat meyakinkan. Membuat laporan hampir sama dengan menulis novel, walau hanya sebuah karangan tetap harus masuk akal.
Setelah tiga jam berkutat dengan laptop dan buku-buku tebal, akhirnya laporan kelompok kami selesai juga. Aku meregangkan tangan untuk melemaskan otot-otot jari tangan yang kugunakan mengetik. Membereskan barang-barang lalu keluar dari perpustakaan yang menjadi tongkrongan kami hari ini.
"Nay, kita duluan. Masih ada kelas, bentar lagi masuk. Lo sendirian ngumpulin laporan nggak apa-apa, kan?"
"Oh, oke. Nggak apa-apa kok. Santai aja. Aku udah nggak ada jadwal hari ini," jawabku sambil menerima laporan yang diberikan oleh salah satu teman cewek di depanku.
Kami berjalan bersama menuju gedung FISIP dan berpisah di lantai tiga. Kedua temanku masuk ke kelas mereka, sementara aku melanjutkan perjalanan ke ruang dosen yang berada di lantai lima. Kami memang seangkatan, tapi di semester akhir ini aku hanya tinggal menyelesaikan skripsi dan satu mata kuliah lagi. Sementara kedua temanku tadi masih harus mengulang beberapa mata kuliah yang nilainya kurang. Hari ini jadwal kuliahku kosong, ke kampus hanya untuk mengerjakan laporan.
**
Berjalan sendiri menyusuri koridor lantai satu gedung FISIP setelah mengumpulkan laporan, membuatku merasa kesepian. Sebenarnya, bukan hanya sekali merasa kesepian. Aku yang terlalu tertutup hingga sedikit sekali orang yang mau berteman denganku. Ditambah lagi dengan sikapku yang 'sok alim'─itu kata mereka─membuatku tidak asyik diajak jalan. Andai, aku punya satu saja teman akrab. Pasti hidupku tidak akan sesunyi ini.
Aku berhenti melangkah sejenak, menggeleng untuk mengenyahkan bayangan yang baru saja terlintas dalam pikiranku. Dari sekian banyak manusia yang kukenal, mengapa justru sosok Sherly yang muncul dalam pikiranku? Aku meneruskan langkah keluar gedung FISIP dan berjalan di taman gazebo. Sepertinya aku akan pulang saja. Daripada berkeliaran tidak jelas di kampus, lebih baik beristirahat di indekos.
Saat melewati air mancur yang berada di tengah taman gazebo, aku melihat Sherly sedang berbincang dengan teman-temannya. Mengingat kejadian saat terakhir kali kami bertemu, aku benar-benar malu karena ketahuan telah mengikutinya diam-diam selama di kampus hari itu.
"Tunggu!"