Antropologi Cinta

Satorie
Chapter #6

5. Markas Pangeran Kegelapan

Rasanya seperti mimpi, tiba-tiba saja ada seseorang yang mengisi kekosongan dalam hidupku. Seseorang yang sama sekali tidak masuk dalam hitungan untuk menjadi teman. Sherly. Entah sejak kapan, kami jadi semakin dekat.

Kalian tahu siapa orang yang paling bahagia melihatku berteman dengan Sherly? Yup, benar sekali. Satpam indekos, terutama Mang Joko. Sepertinya Mang Joko harus mencoba peruntungan di dunia meramal. Hasil ramalannya tepat sekali, yang mengatakan bahwa aku akan langsung cocok berteman dengan Sherly. Mungkin nanti akan kucoba bertanya mengenai jodoh padanya.

Sejak perbincangan singkat kami di kampus hari itu, Sherly jadi lebih sering menyapaku di indekos maupun di kampus. Pembawaannya yang supel, membuatku nyaman berada di sekitarnya. Tidak merasa terbebani dengan topik obrolan, karena Sherly punya seribu topik untuk dibicarakan.

"Nay, lo ke kampus jam berapa?"

Suara Sherly mengejutkanku yang sedang asyik berbaring di kasur. Semenjak kami semakin dekat, dia masuk ke kamarku tanpa permisi lagi. Begitupun sebaliknya. Setelah menutup kembali pintu kamar, dia langsung bergabung denganku di atas kasur. Sherly tampak siap pergi dengan penampilannya memakai oversized shirt yang bagian depannya dimasukkan ke dalam celana jin dan dipadukan dengan sepatu kets berwarna putih. Aku selalu kagum melihat penampilan Sherly yang selalu trendi dan didukung dengan wajah cantiknya. Tidak sepertiku yang menurut orang lain mungkin terlihat membosankan dengan model pakaian yang itu-itu saja.

"Hari ini nggak ada jadwal. Tapi, nanti siang mau ke kampus kalo nggak males."

"Nanti temenin gue ke suatu tempat, ya? Mau ketemu seseorang."

"Ke mana? Ke tempat pacarmu?"

Setelah dua minggu resmi menjadi teman dekat Sherly, aku jadi mengetahui banyak hal tentangnya. Salah satunya, mengenai kekasihnya. Ya, jadi benar dugaanku bahwa cowok yang sering mengantarnya pulang larut malam itu adalah kekasihnya. Aku juga tahu bahwa dia hidup seorang diri dan harus membiayai hidupnya sendiri. Belum dipastikan mengenai keberadaan orang tuanya. Kami belum sedekat itu untuk mengorek informasi yang lebih pribadi. Tanpa diminta, Sherly menjelaskan tentang penghuni indekos. Kalian masih ingat cewek sebelah kamar yang pernah melabrakku beberapa waktu lalu? Ternyata namanya adalah Putri. Tapi, sayang kelakuannya tidak mencerminkan seorang putri. Astagfirullah! Aku jadi menjelekkan orang lain. Kembali pada topik pembicaraan. Yah, intinya aku jadi tahu banyak hal setelah berteman dengan Sherly.

"Bentar doang. Mau, ya? Gue belum pernah ke sana. Jadi, gue ngajak lo buat nemenin gue. Mau, kan?" desaknya dengan memasang tampang penuh iba.

"Oke. Tapi, bener cuma bentar, ya?"

"Sip. Kita ketemu di taman gazebo deket air mancur jam dua. Bye, cantik."

Setelah memberikan kecupan jauh, Sherly langsung melesat keluar kamar. Aku melanjutkan membaca buku Antropologi Psikologi sambil berbaring kembali. Sepertinya aku akan mengambil tema tersebut untuk skripsiku nanti. Yang menjadi objeknya siapa? Tentu saja Sherly.

**

Aku duduk di pinggiran kolam air mancur di tengah taman gazebo setelah lelah berdiri. Melihat jam di ponsel lalu menggenggamnya kembali di pangkuan. Sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. Aku mulai risih dengan lirikan-lirikan dari cowok-cowok yang lewat di hadapanku. Apakah ada yang aneh dengan penampilanku? Tapi, semua baik-baik saja setelah kumemastikannya.

Lima menit lagi Sherly tidak muncul, lebih baik aku pulang saja. Menyempatkan datang ke kampus walau tidak ada jadwal kuliah karena harus menemui dosen pembimbing untuk mengajukan judul skripsi. Alhamdulillah, judul yang kuajukan disetujui. Dan langsung diminta untuk mengerjakan tiga bab awal. Dan sekarang aku membuang-buang waktu yang seharusnya bisa kugunakan untuk menyusun skripsi hanya untuk menunggu Sherly yang tidak bisa menepati janjinya sendiri.

"Hai, cantik! Sendirian aja!"

Lihat selengkapnya