Antropologi Cinta

Satorie
Chapter #7

6. Kegiatan Malam

Dosen pembimbing akhirnya menyetujui tiga bab awal skripsiku setelah hampir satu bulan bolak-balik revisi. Ada saja yang salah atau tidak sesuai dengan keinginan beliau. Mengenai tujuan penelitian yang kurang spesifik lah, objek penelitian yang kurang banyak lah, hingga waktu pertemuan kami yang tidak pernah tepat. Selain mengajar di Universitas MANTRA, beliau juga mengajar di universitas lain. Hingga menentukan jadwal untuk bertemu saja sangat sulit. Sedangkan dikirim melalui email, beliau tidak setuju.

"Saya lebih suka bimbingan itu ketemu langsung. Jadi, jelas bagian mana yang harus diperbaiki dan alasannya. Nggak perlu tanya-tanya lagi. Kirim melalui email tidak efisien."

Begitu kata Bu Fitri selaku dosen pembimbing satu saat aku menyarankan untuk bimbingan melalui email. Sedangkan Pak Doni selaku dosen pembimbing dua, mengikuti keputusan dosen pembimbing satu. Jika Bu Fitri sudah setuju, maka Pak Doni juga setuju. Susahnya jika berhadapan dengan dosen pembimbing 'perawan tua'. Julukan itu diberikan oleh hampir seluruh mahasiswa Antropologi.

Bu Fitri merupakan salah satu dosen yang paling dihindari sebagai dosen pembimbing skripsi. Beliau terkenal suka mengulur-ulur waktu yang menyebabkan mahasiswa di bawah bimbingannya terlambat diwisuda. Tahun ini beliau memasuki usia kepala lima dan belum menikah─itu menurut gosip yang beredar─hingga membuat beliau lebih sensitif. Menurut gosip yang beredar lagi, setiap mahasiswi yang menjadi bimbingannya akan mengalami kesulitan. Terutama mahasiswi yang memiliki kekasih─dan beruntung aku tidak memlikinya─karena beliau merasa iri.

Cukup membicarakan mengenai Bu Fitri, beliau pasti sedang bersin-bersin sekarang. Ini pasti karena aku sering bergaul dengan Sherly, hingga ikut-ikutan suka membicarakan orang.

Ngomong-ngomong tentang Sherly, sejak kejadian di markas kekasihnya waktu itu, aku pikir dia akan menjahuiku karena lancang ikut campur urusan pribadinya. Dia justru tertawa terbahak saat kami berada di luar markas tersebut.

"Gila! Baru kali ini gue liat tampang David sekonyol itu. Dan baru lo yang bisa nantangin dia."

Aku hanya bengong mendengar perkataan Sherly waktu itu. Bukannya marah, dia justru memuji tindakanku. Dan setelah hari itu, dia semakin menempel padaku. Dia sama sekali tidak risih atau merasa terganggu dengan kebiasaan yang kulakukan. Seperti ketika kami pergi jalan-jalan di mal dan aku harus mampir ke musala yang disediakan pihak mal untuk menunaikan ibadah salat. Sherly tetap setia mengantar dan menunggu hingga aku selesai walau dia belum tergugah untuk ikut salat. Tidak seperti yang lain yang justru langsung meninggalkanku begitu saja.

Hebatnya lagi, dia selalu tahu apa yang kupikirkan. Belum sempat aku membicarakan mengenai objek penelitianku, dia sudah bisa menebaknya. Dan aku lega sekali saat dia bersedia untuk menjadi salah satu objek penelitianku.

"Gue tahu lo mau jadi temen gue karena ada sesuatu."

"Sesuatu seperti apa?"

"Lo bisa menjadikan gue sebagai objek peneletian."

Aku tersedak es teh yang sedang kuminum saat itu. Kami sedang berada di area foodcourt menikmati makan malam sambil mengobrol ringan. Terkejut mendengar Sherly memiliki pemikiran itu, walau yah, yang dikatakannya memang benar.

"Santai aja kali. Nggak usah kaget sampe keselek gitu. Gue bercanda doang. Gue tahu lo tulus berteman sama gue."

"Tapi, gue mau kok jadi objek penelitian lo."

Rasanya seperti baru mendapat air dingin di tengah gurun yang tandus.

"Serius?"

"Kapanpun. Gue juga mau buktiin, apa bisa gue berubah?"

"Pasti bisa."

Malam itu berakhir dengan gelak tawa kami dan perasaan lega yang membuatku bisa tidur nyenyak. Sherly bukan hanya menjadi teman yang baik, tapi juga orang yang bisa diandalkan.

**

Menempati kamar ini benar-benar anugerah bagiku. Karena dari balkon kamar aku bisa mengawasi orang-orang yang lalu lalang di taman dan mengamati mereka dengan tenang.

Lihat selengkapnya