Antropologi Cinta

Satorie
Chapter #8

7. Pahlawan Kemalaman

Tingggal di indekos yang dipilihkan abah selama dua bulan ini cukup menyenangkan juga. Aku mulai terbiasa dengan kebiasaan penghuni indekos lain yang sering pulang larut malam, menerima tamu laki-laki bahkan hingga bercumbu mesra tanpa peduli mereka sedang diperhatikan oleh yang lain. Tidak perlu jauh-jauh mencari tambahan objek penelitian untuk skripsiku. Karena penghuni indekos ditambah dengan Kevin dan teman-tamannya sudah memenuhi syarat yang diminta Bu Fitri.

Satu yang menjadi masalah, cara pendekatan kepada mereka. Selama ini hanya mengandalkan Sherly untuk berbincang dengan mereka. Bagaimana mau memulai? Baru dilihat dari atas hingga bawah oleh mereka saja, aku sudah minder. Apalagi harus memulai obrolan? Bisa mati kutu!

Putri. Dia yang menjadi fokusku kali ini. Aku penasaran sekaligus iba padanya. Terutama mengenai hubungannya dengan kekasihnya itu. Dia seperti tersakiti dan selalu mengalah. Walau dia pernah melabrakku karena suaraku saat mengaji terdengar hingga ke kamarnya, tapi menurut Sherly, dia orang yang rapuh.

Pernah suatu ketika saat Sherly nongkrong di kamarku. Kami berbincang banyak hal, hingga ada satu topik yang membuat kami tertawa terbahak saking lucunya. Tiba-tiba Putri datang menggedor kamarku persis seperti waktu itu. Dia melabrak kami karena suara perbincangan dan tertawa kami terdengar hingga kamarnya. Aku melihat matanya begitu sayu seperti tak ada semangat, ada lingkaran hitam di bawah matanya yang menandakan dia kurang tidur, serta bau-bauan asap rokok dan alkohol menguar dari tubuhnya. Membuatku menyimpulkan bahwa hidupnya begitu berat untuk dijalani.

Sementara untuk Kevin dan teman-tamannya belum bisa dipastikan bisa menjadi objek penelitianku atau tidak. Terlalu banyak misteri dibalik sosok Kevin yang terlihat berandal, arogan, dan berbahaya itu. Aku juga menangkap kesedihan mendalam mengenai hubungan keluarganya. Sherly juga belum bercerita banyak mengenai Kevin. Aku hanya bisa menebak-nebak sejauh ini.

Setiap datang ke markas The Dark Prince, aku masih selalu kagum dengan interiornya. Ruangannya dihiasi mural yang hampir menutup seluruh dinding dengan gambar menakjupkan. Kebanyakan gambarnya abstrak, namun bila dilihat dengan seksama akan menimbulkan sensasi luar biasa di dalamnya. Seperti gambar hitam putih seolah tembok retak, menggambarkan kehidupan mereka yang penuh luka. Dan gambar berlatar hitam dengan goresan abstrak yang bila dilihat dengan jeli menyerupai seorang anak sedang menatap sosok ibu merentangkan tangan seolah ingin memeluk dari kejauhan. Menggambarkan jika mereka rindu kehadiran orang tua.

"Ngelamun mulu sih?"

Aku terperanjat mendapati Sherly sudah berdiri di sampingku di balkon kamar. Pasti aku lupa mengunci pintu kamar lagi.

"Ngelamunin apaan sih? Gue masuk sambil manggil-manggil nama lo tetep nggak ada respon. Pasti si Kevin, ya?"

"Apa sih? Nggak ada hubungannya sama Kevin."

"Masa?"

"Ih, serius atuh, Sherly. Memang tadi sempet mikirin Kevin dan⸺"

"Tuh, kan! Udah, ngaku aja kalau tertarik sama Kevin."

"Sherly!"

"Oke-oke. Kita pergi sekarang, keburu malam."

Masih kesal dengan sikap Sherly yang memotong ucapanku begitu saja, walau kusadari tidak bisa berlama-lama marah padanya. Akhirnya, hanya bisa pasrah berjalan mengikutinya keluar kamar. Kami sepakat untuk makan diluar bersama, mumpung dia lagi off dari kegiatan malamnya. Sementara aku sedang malas melakukan kegiatan malamku.

**

Di dalam tenda warung bakso yang berdiri berjajar dengan tenda warung lainnya di area trotoar, aku dan Sherly menghambiskan waktu dua jam sambil makan dan mengobrol. Kami duduk di salah satu bangku dari deretan bangku kayu yang tertata rapi di dalam tenda. Sesekali memperhatikan beberapa orang yang juga sedang menunggu pesanan mereka. Aku memperhatikan seorang gadis kisaran umur delapan belas tahun yang memakai rok mini sebatas paha dengan kaos warna biru muda yang sangat ketat hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya.

Beberapa laki-laki yang berada dekat dengan gadis itu, melihatnya dengan tatapan lapar. Membuatku beristigfar dalam hati. Tepukan di pundakku mangalihkan perhatianku dari gadis itu. Ternyata, pesanan kami sudah datang.

Kami berjalan santai di jalanan kompleks yang sepi, setelah melahap dua mangkuk bakso dan satu porsi batagor. Yah, setelah berlama-lama di tenda warung bakso, kami masih sempat mampir di gerobak abang tukang batagor. "Makan bakso doang belum kenyang." Itu, kata Sherly. Tapi, tetap saja aku ikut makan batagor juga.

Lihat selengkapnya