Anya menghirup aroma alam pagi ini. Ia sengaja mengajak Anrez naik ke gunung. Selain membuat kenangan yang indah, ia ingin menikmati gerimis di pagi hari.
Anrez menutupi kepala Anya dengan jaketnya. Sedangkan ia sendiri hanya mengenakan kaos tipis berwarna hitam. Kelihatannya, ia juga sama kehujanan. Lalu, Anya melebarkan jaket dan membawa Anrez masuk dengan meletakan jaket itu di kepala masing-masing.
“Nya,” panggil Anrez.
“Kenapa sih, Rez?” tanyanya.
“Kenapa jadi dipakai berdua? Nanti kalau kamu sakit gimana?” tanyanya mulai cemas.
Anya tertawa, “Kalau aku sakit, kan kamu juga sakit. Biar kita impas!”
“Oke deh, nanti kita saling rawat ya,”
“Rez, aneh gak sih kalau kita ngobrol pakai aku-kamu gini?” tanya Anya.
Cowo itu menggeleng, “Gak aneh. Aku suka sama panggilan itu, karena akhirnya kamu menerima aku juga.”
“Nerima apa?” tanyanya.
“Diterima jadi pacar,”
Anya menggeleng, “Belum aku jawab ya. Jangan kepedean deh!”
Anrez memutar tubuh Anya ke depan. Lalu ia memeluk tubuh cewe itu dari belakang, membiarkan tubunnya basah karena air hujan. Lama-kelaman, keduanya menikmati momen itu sambil menutup mata.
“Enak ya kalau tenang begini,” kata Anrez tersenyum.
“Rez,” panggil Anya.
“Hhhhmmm,” jawab Anrez.
“Apa sih yang buat kamu suka sama aku?” tanyanya.
Matanya seketika itu terbuka. Lalu ia menumpukan dagu di bahu Anya. “Kamu itu orang pertama yang berani mengkritikku habis-habisan, kamu cerdas dan cantik, kadang judes tapi aslinya baik banget. Kamu itu sempurna, Nya.”
Diam-diam Anya tersenyum, ia bahkan sampai menunduk dengan pipi yang merona. “You are lie,” bisiknya.
Anrez mengelus pipi merah itu, “Aku gak bohong kok,” balasnya.
Anya menatap Anrez lama, “Rez, kamu tahu kan kita ini beda. Kamu itu udah jelas terlahir sebagai anak dari keluarga kaya raya. Sedangkan aku?”