Anyelir Untuk Alyssa

Mizan Publishing
Chapter #1

It Happens

Aku dan Eliza tiba di rumah Cooper Bersaudara de- ngan selamat. Kami berhasil menerjang jalanan yang menggila karena demonstrasi para penuntut

Hak Asasi Manusia.

Eliza menghela napas panjang. “Yang tadi itu gila, ya! Untung mobilku selamat!” serunya lega.

“Kamu benar-benar pengemudi hebat! Kamu berhak menerima pengakuanku kali ini,” balasku sambil geleng- geleng kepala.

Kami terpaku pada halaman rumah Cooper Ber- saudara. Aku dan Eliza bertatapan tak percaya, lalu bergandengan memasuki halaman rumah yang kelewat luas itu.

Sophia dan Sandra mengadakan pesta ulang tahun mereka yang kedelapan belas. Sejauh mata memandang, aku hanya melihat wajah-wajah tak asing dengan pakaian nyaris sama—kemeja bercorak tartan dan celana jin, tak lupa sepatu bot kulit ala koboi yang menawan. Di sini, kami berpura-pura menjadi remaja tradisional yang berpesta.

Sophia dan Sandra memang populer di sekolah. Tidak ada yang tidak mengenal mereka. Selain tahun ajaran telah usai, pesta ulang tahun mereka didedikasikan sebagai ajang perpisahan yang tak akan terlupakan. Ini akan menjadi pesta yang selalu dikenang. Berbaur dengan remaja-remaja seangkatan yang penuh toleransi dan tidak rasis adalah impian seluruh remaja delapan belas tahunan di planet ini.

Selamat tinggal, SMA Charlotte!

Tiga tahun ke belakang sangat mengagumkan. Dengan penuh kegilaan, kami habiskan hari-hari di sekolah dalam popularitas bersama ... apa, ya? Pan- taskah kusebut dengan geng? Ya, geng. Geng ala anak sekolahan dan base camp di suatu tempat. Ya, begitulah, geng kami terdiri dari aku, Eliza, Sophia, Sandra, dan Mario.

Tak ada persahabatan yang utuh antara remaja laki- laki dan remaja perempuan, begitu hukum alamnya.

Sudah tiga tahun pula aku memendam rasa kepada Mario. Kupanggil dia Cat Mario, lalu dia akan tertawa. Di situlah aku merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan yang asing.

“Kamu menyukainya,” ujar Eliza suatu hari. Aku terdiam.

Alasannya sungguh klise. Namun, kami memang sering bersama dan di situlah aku menyukainya. Bahkan, Eliza dan Cooper Bersaudara menyadarinya dengan cepat. Sebisa mungkin aku menyangkal, tapi ketiganya bersikukuh. Aku takut mengakui untuk menghindari kecanggungan. Jadi, aku hanya berpura-pura saja tidak suka Mario. Berpura-pura tersenyum saat Mario men- dekati yang lain. Padahal, hati tidak sesederhana itu.

Eliza menarik tanganku untuk menyerobot ke- rumunan. “Aku takut kamu hilang,” ucapnya protektif kepadaku. Sekaligus nada mengejek juga, sih. Soalnya, di antara kami berlima, aku yang paling ceroboh. Aku paling gampang ditipu. Mereka juga bilang hatiku terlalu lembek―seperti adonan kue.

Pendar lampu mini yang menjuntai dari satu tiang ke tiang lainnya serta alunan musik country menyapa kami di taman belakang. Ada panggung kecil yang tak terlalu tinggi. Ada juga meja bar di taman belakang dan dipenuhi orang-orang yang ingin cola atau squash. Di sisi taman lain banyak terdapat sofa yang nyaman. Jadi, orang-orang tak mesti berdiri untuk menikmati panekuk mereka.

Eliza menyikut tanganku. “The Coopers memang luar biasa!” serunya takjub melihat halaman belakang rumah mereka yang luas.

“Ya, kamu benar. Ini sangat luar biasa! Aku tak sabar mencicipi squash yang segar itu!” balasku ditelan kebisingan.

Eliza menunjuk seseorang yang tengah duduk di sofa. “Itu pangeranmu! Malam ini, kamu harus me- nyatakan perasaanmu kepadanya sebelum semuanya terlambat!”

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Eliza. Mario duduk di sana sendirian sambil memainkan ponselnya. Aku langsung cemberut. “Apa, sih, kamu ini! Jangan bercanda, ah!” seruku kesal. “Lagi pula, kami hanya teman. Dan, hari-hari berikutnya, kami akan kuliah di tempat berbeda, jadi buat apa―” Kata-kataku terputus karena Eliza menutup mulutku dengan tangannya.

Dia tersenyum jail. “Kamu hampiri dia. Aku akan ambilkan squash untuk kita. Nikmati saja waktu yang langka ini,” ujarnya sambil mendorong tubuhku yang setengah meronta.

“Eliza, kamu—”

Namun, terlambat, Mario telanjur melihat ke arah kami.

“Aku akan kembali dalam lima menit. Cepat!” perintah Eliza, lalu bergegas meninggalkanku dengan wajah tanpa dosanya.

Mario tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku. Aku balas tersenyum kecut, lalu berjalan menghampiri laki-laki itu dengan jantung yang nyaris copot dari tempatnya. Laki-laki itu tidak tampan-tampan amat, sih. Rambutnya cokelat tua nyaris hitam dengan mata berwarna hazel. Yang kusuka darinya adalah ... semuanya. Tidak juga, sih. Aku benci kalau dia bersama yang lain.

“Hai, Gadis Koboi!” panggilnya sambil menunjuk sofa di sampingnya. Dia tampil bagai koboi sungguhan malam ini, dengan topi koboi warna hitam yang senada dengan corak kemejanya.

Aku membuang muka, pura-pura menatap sekitar. “Hai, Cat Mario. Kamu sudah datang!”

“Kamu datang bersama Eliza?” tanyanya sambil mengamatiku duduk di sampingnya.

Aku mengangguk dengan kikuk. “Sudah lama me- nunggu di sini?” tanyaku balik.

“Sudah sepuluh menit,” jawabnya. Aku hanya manggut-manggut saja tak menjawab. “Bagaimana keadaan ibumu, Alyssa? Apa ibumu baik-baik saja?”

Suasana hatiku berubah dalam 1 detik saja. Aku menatapnya dengan ragu. “Tadi sore, Dokter Richard bilang kepadaku, ibuku dalam keadaan stabil. Setelah pesta usai, aku akan kembali ke rumah sakit dan menginap di sana,” ceritaku dengan suara yang di- pelankan. “Sejujurnya, aku takut sesuatu yang buruk terjadi, Mario. Kamu tahu, kan, aku tidak punya ke- luarga lain?”

Dia mengangguk mengerti. “Aku berdoa yang terbaik untukmu dan ibumu, Alyssa. Dia akan baik-baik saja. Percayalah,” katanya sambil menatapku penuh harap.

Aku hanya tersenyum kecil dan tidak membalasnya. Hening. Padahal, kami adalah dua manusia yang ber- ada di tengah-tengah kegaduhan pesta. Kegaduhan semarak diiringi tawa dan kenangan-kenangan konyol semasa SMA. Namun, aku malah merasa hampa.

“Hai, Alyssa. Omong-omong, selamat, kamu sudah direkrut jadi mahasiswa Charlotte University. Jurusan Sastra Modern? Oh, lihatlah, betapa beruntungnya dirimu,” kata Mario tiba-tiba sambil nyengir lebar.

Aku menoleh. “Terima kasih, Mario. Kamu juga menjadi mahasiswa Arsitektur Perkotaan di Ashville University? Itu mengagumkan,” pujiku.

Lihat selengkapnya