Mungkin terdengar kekanakan
saat membicarakan bunga
Mungkin terdengar kekanakan
saat kecanduan bunga
Mereka bisa bicara
katanya
Aku menggeleng tak percaya
Setiap warna berbeda makna
terangnya
Aku menggeleng lagi
Segalanya bukan soal mawar saja
kilahnya
Kata-kata bisa terucap dalam keheningan
bujuknya
Anyelir merah muda
tanyaku Aku tidak akan pernah melupakanmu
jawabnya
Ini adalah perang batin yang sesungguhnya. Aku diharuskan memilih di antara dua pilihan yang sulit. Memilih untuk pindah dengan masa depan yang mengambang, tapi itu adalah wasiat Ibu atau memilih untuk tinggal dengan segudang harapan untuk sukses. Namun, dengan berat hati aku memilih untuk pindah, meninggalkan Kota Charlotte dan teman- temanku. Dengan berat hati juga, kugugurkan mimpi di Universitas Charlotte.
“Alyssa, ini cukup mendadak. Aku tidak tahu ap―,” kata-kata Sandra terputus dengan wajah khawatir. Matanya berkaca-kaca, tetapi dia menahannya dengan cukup baik. Sophia langsung merangkul saudara kembarnya itu.
Eliza menatapku dengan rinci. “Kami jelas tidak dapat mencampuri jalan hidupmu. Tapi, kumohon tinggallah di sini.”
Aku menunduk dan menyodorkan kertas wasiat itu agar mereka mengerti bagaimana posisiku. Di mana koordinatku sesungguhnya. Ibaratnya, aku adalah nakhoda dari sebuah kapal, seperti dalam film Titanic, yang mengarungi samudra luas meski situasi genting terjadi. Kalau aku lengah, semua penumpangku akan tenggelam di lautan es. Kalau aku lengah, aku tak akan pernah bisa bahagia seumur hidupku.
Eliza, Sophia, dan Sandra memelukku sesaat setelah membaca kertas lusuh itu. Sementara, Mario berdiri di sana menatap kami dengan prihatin. “Jadi, apa kamu mau mengucapkan sesuatu kepada Mario sebelum anyelir untuk alyssa pergi? Tentang perasaanmu selama tiga tahun itu?” bisik Eliza pelan sekali. Hanya kami berempat yang bisa mendengarnya. Mario tidak.
Aku menggeleng erat-erat. “Tidak ada gunanya.”
Begitulah akhir ceritanya, kuputuskan untuk meninggalkan mereka semua. Bibi Emma menggandeng tanganku erat menuju peron tujuh tujuan Marion. Aku berbalik sekali lagi. Lalu, Eliza berteriak, “Kami akan mengunjungimu di Little Switzerland, secepatnya! Tunggu kami, Alyssa!”
Aku nyaris meneteskan air mata, tetapi segera kuseka agar orang-orang tak melihat jeritanku yang termakan sunyi. Semoga pilihanku tidak salah. Lagi pula, aku penasaran, apa yang disembunyikan Ibu di wilayah menyerupai Swiss itu? Mengapa aku tidak pernah tahu bahwa Ibu punya rumah di sana?
***
Aku berkeliling memperhatikan bunga-bunga satu demi satu agar dapat membedakannya dengan baik. Bos baruku bilang, “Jangan terkecoh! Terkadang, bunga terlihat serupa, tetapi sebenarnya tidak.”
Langkah pertama pada hari kerja ini adalah mengenal karakteristik bunga. Koleksi bunga di Toko Dawson mencapai seratus lebih. Di sini, pria setengah abad itu mengatur segalanya sendiri. Di sela-sela kesibukan kami, beliau hampir selalu bercerita untuk mencairkan suasana. Dua minggu yang lalu, pegawai Nabilla Anasty setianya sakit keras sehingga tidak dapat bekerja untuknya lagi. Untung saja, Paman Dawson sangat apik sehing ga tidak ada satu pot pun yang kelewat disiram setiap harinya.
Dia punya anak laki-laki yang tengah me nempuh pendidikan militer di Carolina Selatan. Istrinya meninggal karena kanker. Jadi, karena sisa hidupnya hanya ditemani sepi, dia sangat menghargai siapa pun yang datang kepadanya. Dia juga senang kalau pelanggan sudah “terperangkap” di sini.
Paman Dawson meraup keuntungan yang cukup besar. Semua penginapan dan motel di Little Switzerland bergantung padanya soal bunga. Seluruh bunga yang ada adalah berkat Paman. Begitu pun pupuk serta alat berkebun. Mereka sudah berlangganan tetap sehingga tidak ada istilah rugi baginya.
“Apa nama bunga ini, Paman?” tanyaku sambil menunjuk pot dengan segerombol bunga putih kecil yang manis. Di sampingnya terdapat versi ungu dari bunga yang dimaksud.
Paman Dawson mengalihkan pandangannya sejenak dari pekerjaannya merangkai buket pesanan. “Oh, Alyssa. Percaya atau tidak, itu bunga Alyssum. Pengusaha bunga lebih suka memanggilnya bunga Alyssa. Persis seperti namamu,” terang Paman Dawson sambil tersenyum lebar.
Aku menyipitkan kedua mata. “Benarkah? Aku baru mengetahuinya!”
“Kamu mau tahu artinya?” tanyanya.
Aku mengangguk seraya menatap kembali gerombolan bunga putih tersebut.
“Artinya adalah kecantikan yang sangat berharga.” Aku tertegun, lalu kembali menatap Paman Dawson. “Paman tidak membual hanya untuk membuatku bahagia, kan?” tanyaku penuh selidik.
Paman Dawson tertawa cukup keras. “Alyssa, menjadi tukang bunga bukan hanya soal menanam bunga atau menyusun bunga menjadi buket. Menjadi tukang bunga adalah mengetahui makna di balik semua bunga. Saat kamu mengetahui maknanya, kamu bisa merekomendasi bunga yang pas kepada pelanggan. Masa, kamu memberi bunga kamboja kepada pengantin baru?”
“Ah, ya,” sahutku menganggut-anggut. “Aku mengerti.”
“Akan lebih bagus kalau kamu hafalkan seluruh bunga beserta artinya dulu. Nanti sore, kutes satu per satu seberapa kuat daya ingatmu akan bunga.”
Mataku membulat, tapi kusembunyikan saja darinya. “Tapi, Paman, aku belum melihat bunga yang lebih indah daripada anyelir merah muda. Apa anyelir merah muda punya arti?”
“Tentu saja.”
“Apa itu artinya?”
Paman tersenyum. “Aku tidak akan pernah melupakanmu.”
“Apa?” tanyaku tidak percaya.