Anyelir

Ninik Sirtufi Rahayu
Chapter #4

Perkenalan Singkat #4

Perkenalan Singkat

 

“Hai, Anye … ada salam dari Jalu Amukti, tuh!” tunjuk seorang gadis yang menyapa ke arah seorang pemuda gagah agak jauh dari tempat mereka berdiri.

Ya, Anye sedang berada di gedung F untuk mengantar seorang teman sekota yang tinggal di asrama putri. Mereka sedang mengurus legalisasi ijazah S-1. Tetiba seorang gadis yang belum dikenal secara baik, mencolek lengan dan menunjuk-nunjuk pada gerombolan mahasiswa di seberang. Tepatnya di depan gedung rektorat.

“Mana, Mbak? Siapa pula? Saya nggak kenal!” keluh Anye kepada gadis itu.

“Oh, masa nggak kenal sih? Dia anggota eksekutif di kampus ini loh! Ketua senat!” serunya dengan suara sopran jernih.

“Ouh, jurusan apa? Semester berapa?” tanya Anye menyelidik.

Sang gadis mengedikkan bahu, “Kau bisa tanya sendiri padanya, ‘kan?”

“Lahh … saya gak kenal. Lagian tadi Mbak yang bilang ada salam dari dia, ‘kan?” bantah Anye menelengkan kepala.

“Hehe … iya sih. Dia sendiri yang pesan loh!”

“Iya, Mbak … tetapi saya gak kenal!” bantah Anye masih dalam batas kesantunan.

“Oh … eh, Mbak kita ternyata juga belum kenalan, nih!” katanya sambil menyodorkan telapak tangan.

“Anyelir!” Anye tersenyum sangat manis.

“Eh, aku Diana. Semester tujuh prodi Akuntansi, FIS! Mbak Anye jurusan apa?”

“Oh, FPS Pendidikan Bahasa Indonesia, semester dua! Kok kenal saya dari siapa?”

“Waww … ternyata S-2? Masih kelihatan muda banget!” seru Diana melotot. “Ada deh, Mbak Anye ‘kan idola para cowok! Tak tahunya S-2! Pasti akan kaget nih Jalu!”

“Jalu?”

“Iya, Jalu Amukti. Anak Sema. Itu tuh … yang tadi kirim salam ke Mbak Anye!”

“Hmmm … saya nggak kenal,” keluh Anye menggeleng dengan alis mengernyit.

“Iya sih, maklum. Mbak S-1-nya di mana? Bukan di kampus ini?”

“Bukan di sini, Mbak!” jawab jujur Anye tetap sumringah.

“Tapi sih … urusan percintaan tuh emang aneh dan unik. Katanya ‘kan cinta itu buta. Jadi, tak mengenal beda usia. Iya enggak sih?” lanjut Diana nyerocos.

“Ishhh … kenal aja enggak, bagaimana hubungannya dengan cinta, ya?” keluh Anye agak cemberut.

“Ya, bisa saja siihhh … siapa tahu hari depan, ‘kan?” jawab Diana sekenanya.

Anyelir terheran-heran. Dia  tidak paham mengapa Diana mengemukakan urusan cinta segala. Selanjutnya, Anye pamit ada kuliah sehingga perbincangan selesai sampai di situ.

Sesampai di gedung B lantai dua, tempat Anye mendulang ilmu, dia masih keheranan. Jalu Amukti? Anak Sema? Pikirannya berputar-putar mengingat di mana dia berkenalan dengan pemuda itu? Mengapa bisa menitip salam? Perasaan tak pernah Anye genit apalagi menggoda para cowok yang tergolong adik kelasnya. Ya, dua tahun di bawahnya! Hemmm ….

Beruntung sang dosen belum hadir rupanya sehingga kelas masih sepi.

“Ke mana nih teman-teman? Kok sepi, ya?” gumam Anye, “Tidak biasanya seperti ini, apa ada sesuatu, ya?”

Anye merasa nggak enak, tumben lima belas menit menunggu tak seorang pun datang. Ke mana kesembilan belas teman yang lain? Merasa kesepian, dia melangkah turun ke lantai satu untuk mencari teman seangkatan. Dia   bimbang, antara ke kantin atau ke perpustakaan.

“Apa masih tahun baruan ya … Ah, mending aku isi perut sajalah dulu. Ke kantin Telomoyo atau ke Wilis, ya?” pikirnya menimbang-nimbang.

Diarahkannya langkah menuju tempat parkir hendak mengambil motor yang diletakkan di sana. Tepat ketika hendak mengambil motor, sebuah motor lain menghalangi jalan sehingga terpaksa dia berhenti.

“Haii … namamu Anye, ‘kan? Anyelir!” sapa seorang pemuda gagah yang masih belum turun dari motornya.

Anye mengernyitkan alis sambil meneleng heran.

Lihat selengkapnya