Jalu Amukti
Jalu yang sudah menyelesaikan skripsi dan tinggal menunggu sidang itu mengatakan bahwa selama ini bayang-bayang Anyelah yang menghidupi semangat juangnya. Dia berjuang untuk menyelesaikan tugas penulisan skripsi itu sambil menikmati wajah ayu yang ada di seberang deretan kursi perpustakaan. Kini tinggal menunggu sidang. Digunakanlah waktunya dengan aktif dalam kegiatan kemahasiswaan.
Ada beberapa gadis yang terang-terangan menyatakan suka kepadanya, tetapi Jalu adalah Jalu yang perkasa dan cuek bebek kepada teman wanita. Apalagi sejak hatinya dihuni oleh bayang-bayang Anye, makin giat ke kampus. Salah satunya untuk mencari peluang agar bisa mendekati Anye.
Anyelir sangat keheranan. Tentu saja dia tak merasakan apa-apa. Kenal saja tidak! Memang sering dia merasa diikuti oleh seseorang ketika hendak ke perpustakaan pusat, ke kantin, atau saat berada di tempat parkir. Akan tetapi, sekali lagi Anye yang cukup pendiam tak paham. Anye memang menoleh saat di belakang ada Jalu yang mengikuti langkahnya, tetapi tak ada komunikasi sama sekali. Hanya sekadar saling memandang. Itulah mengapa Jalu merasa gemas dan ingin menculiknya seperti yang dilakukan sekarang!
“Pernahkah kamu membolos, Anye?”
“Ya, pernah. Hari ini!” jawabnya polos.
“Kalau aku culik lagi, apakah kamu bersedia?”
“Emm … tergantung!”
“Apa yang harus kulakukan supaya kamu bersedia kuculik?”
“Berikan aku yang terbaik dari penampilanmu!”
“Ok, siap!”
“Karena hari ini … aku telah menemukan tambatan hati, izinkan aku … emm … berikan padaku penampilanmu yang terbaik juga!” pinta Jalu.
“Apa?”
“Kalau kau menerimaku sebagai pendamping hidup, beri aku yang terbaik juga! Ikuti dan lakukan arahanku!”
“Apa?”
Jalu memberi tanda kode bahwa dia meminta Anye memulai menciumnya, tetapi Anye jelas hanya menggeleng saja.