Candaan Diana
Seperti biasa beberapa hari Jalu tidak menampakkan batang hidungnya. Hari ini Anye bertemu Diana di jalan menuju ruang kuliah fakultas ekonomi.
“Hai Nyonya Jalu Amukti!” teriak Diana berlarian mendekati Anye.
“Hai juga!”
Anye sedikit heran mengapa Diana memanggilnya Nyonya Jalu Amukti begitu. Jangan-jangan Jalu menceritakan aktivitas kebersamaannya? Ah, mana mungkin lelaki ember, ya?
“Selamat yaaa … kudoakan selamat hingga pelaminan nanti!” seru Diana ceria. Ada nada iri terselip di antara kata dan rasa yang diungkap Diana.
“Ouh, kamu tahu ….?” selidik Anye keheranan.
“Yaa, aku tahu. Apa lagi dengan tanda-tanda kedewasaan itu! Tak apa Anye, di situlah seninya bercinta. Semua juga paham kok! Kan kita sudah dewasa!” Diana menaikturunkan alisnya dengan lucu.
Anye menjadi salah tingkah.
“Oh!” tangan Anye membetulkan letak scarf lembutnya, “Sudah kuobati masih belum hilang juga!”
“Tak apa Anye, don’t worry … tiga hari pasti hilang dengan sendirinya. Ketika tanda itu hilang, biasanya rindu pun menyerbu datang dan harus diinstal ulang!” tawa Diana.
“Oh, kamu paham banget, ya? Aku yang udik ternyata!”
“Hahaha, … bukan udik, melainkan belum paham! Aku yakin, pasti Jalu akan mengajarkan banyak hal kepadamu! Kalian itu sepasang insan yang sangat beruntung! Jalu tampan rupawan dan sangat menawan, kamu pun sangat cantik! Kalau teman-teman lain tahu, pasti mereka akan iri pada kalian! Termasuk aku! Aku pun iri dan cemburu kepadamu!” selorohnya.
“Mmmh … terima kasih pujiannya, Diana! Ngomong-omong kamu lihat dia nggak? Dia cerita apa ke kamu tentang aku?” cerocos Anye.
“Tentang kamu? Nggak ada, kok! Saat ini pasti sedang sibuk di Ruang Senat, dia! Banyak agenda yang mereka lakukan sehubungan dengan pemerintahan negeri ini. Mereka getol mengupayakan agar kondisi ekonomi negara kita segera teratasi melalui pemilihan presiden yang benar! Kamu merasa enggak sih kalau sebenarnya kita ini dijajah?” ujar Diana.