Rumah Baru
Siang itu dengan lesu Anye hendak keluar dari kampus berencana untuk mendatangi sebuah warnet sekitar satu kilometer dari kampus. Ada banyak hal yang harus dia tuntaskan sehubungan dengan jurnal yang dia ambil. Flash disk sudah disiapkan dengan rapi agar bisa mengopi hal-hal yang dibutuhkannya dari internet.
Dari jauh Jalu melihat Anye berjalan lambat dan segera berlari mendapatkannya.
“Hai Say,” sapa Jalu, “tak bertemu kamu rasa rinduku menggebu,” bisiknya setelah dekat.
Anye tersenyum menatap sang pujaan sambil mengangguk.
“Kau mau ke mana?”
“Ke warnet. Ada tugas yang perlu kuambil. Referensi dari jurnal asing. Lalu ke Maestro untuk print out dan dilanjut ke teman yang siap menerjemahkan,” tuturnya.
“Mmmm … ada waktu nggak, sedikiiitt saja!” ujar Jalu sambil menggunakan jemari untuk menggambarkan sesuatu yang tipis.
“Boleh, sebentar saja yaa!”
“Oke, janji!”
Mereka berdua akhirnya jalan menuju ke luar area kampus. Jalu yang baru saja menempati rumah kosong yang katanya milik saudara itu membawa sang kekasih ke sana. Lokasinya memang agak keluar kota. Dia mengajak Anye ke sana dengan terlebih dahulu singgah di pasar untuk berbelanja beberapa bahan. Tanpa banyak bicara.
“Kita ke mana?”
“Ada deh!”
Perjalanan memakan waktu sekitar empat puluh menit. Jalu mengajak turun di sebuah rumah yang berada di perumahan premium. Suasana sepi. Maklum masih pagi dan perumahan tersebut belum banyak penghuni. Kalaupun ada, pada umumnya pegawai yang sudah berangkat sejak pagi hari.
Sementara, security di gerbang pun sudah mengenali dan hafal terhadap masing-masing penghuni. Jalu menyapa ramah dua orang bapak berseragam itu dengan sangat santun.