Try and Try Again
Situasi sepi, aman, dan nyaman sangat mendukung aktivitas mereka berdua. Tak ada seorang pun tahu dan mengusik mereka. Benar-benar kondusif! Seolah rumah itu dipersiapkan untuk mereka dalam rangka merajut khayal masa depan.
Apa yang pernah mereka pelajari bersama beberapa saat silam, terulang kembali perlahan-lahan. Pemanasan berlangsung dengan sempurna. Tongue kiss play yang mereka pelajari bersama secara alami dan otodidak ternyata telah berhasil meningkatkan kualitas kebersamaan.
Netra Anye mengerjap indah dan berbinar-binar kala sergap demi sergap itu menari-nari menelusuri lorong sepi dengan begitu indah. Pertemuan terjeda beberapa saat ternyata meletupkan rindu menggebu hingga mereka melupa. Sesap nikmat yang mengisi relung rindu itu sampai pada puncak ancala. Rasa resah melazuardi menuju giri pun mereguk manis surgawi.
Di sofa baru itulah mereka menyelesaikan babak awal pertandingan. Sejenak mereka terperangah ketika tiba di atas puncak ardi abadi. Tangis dan rintih lirih pun pecah, antara bahagia dan nelangsa! Bahagia karena sejuta rasa tak tersisa, sementara sadar diri bahwa kini bukan lagi insan suci. Sang kekasih telah meneteskan noda beraroma cinta.
Anye tergugu! Jalu mendekap erat sang pujaan yang kini telah berpadu menyatu dengan raganya! Digiringnya sang kekasih untuk tidak menyesali kejadian yang menimpa. Karena sejujurnya begitu manusiawi, meski simbol kedewasaan itu datang tak diundang. Serentetan finishing diselesaikannya dengan paripurna sehingga justru menjadi kenangan termanis di dalam hidup mereka. Bukan untuk disesali, melainkan untuk dikenang dan dipertahankan sampai tutup usia nanti!
Anye yang semula merasa terpuruk karena menganggap diri tak pandai menjaga raga itu diperlakukan secara manis bak seorang dewi. Dilayani, dimanjakan, dan disayangi dengan sepenuh hati. Jalu begitu pandai memperlakukan sang bidadari sehingga meski telah ternoda justru merasa istimewa. Jalu sungguh jago! Usia boleh muda, tetapi justru tampak sangat dewasa di hadapan sang kekasih.
Jalu memapah permaisuri memindahkan menuju bed di dalam kamar pribadi. Diselesaikannya dengan gentle apa yang telah dimulai. Detik demi detik merambat bersama janji-janji manis dan tarian jemari yang membawanya berlayar ke pelbagai teritori. Petualangan berakhir dengan kelelahan tiada tara. Keduanya terempas pada bentala tak berpenghuni.
“Hari ini Sabtu, 10 Januari 1998, Anye!” ketika aku berhasil mendaratkan roket di pucuk kepala pulau menghijau penuh rerumputan liar itu. Begitu tulisnya pada diary yang sengaja selalu disimpan di dalam tas ranselnya.
“Jalu …,” lirihnya.