Fase Kehidupan Baru
Sesampai di kamar indekos, kembali Anye merenung diri. Ah, betapa mudahnya dia tergoda sehingga kini sudah bukan lagi seorang dara. Padahal, sudah banyak yang mengingatkan agar tidak terlalu dekat dengan sang kekasih. Namun, namanya cinta jika bertemu dengan yang dicintai atau yang mencintai, apalagi kalau kedua-duanya saling mencintai, apa mau dikata?
Kalau raga sudah terkena sengat magnet cinta dengan mahadaya luar biasa, siapa sanggup menghentikannya? Nikmat akurat yang menggegana itu sanggup merenggut mahkota yang tak terjaga sempurna! Ya, sudah … biarlah terjadi seperti apa yang harusnya terjadi. Itulah kalimat mujarab untuk menghentikan sesal yang terasa. Pasrah!
Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali Jalu mencari Anye ke tempat indekos. Dikatakan ada hal penting sehingga Anye pun diminta ikut ke rumah Jalu hari itu. Sesampai di rumah Jalu, dia menanyakan beberapa hal sehubungan dengan aktivitas berseraga yang telah terjadi. Dia ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
Antara lain apakah Anye mengalami dan merasakan kesakitan di area tertentu atau mungkin merindukan aktivitas itu terulang kembali. Jalu menanyakan dengan serius sebab merasa bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dengan santai Anye menjawab tidak ada masalah yang berarti. Kalau ada sedikit rasa nyeri, sakit, atau panas itu wajar. Sesuatu yang baru pasti akan begitu. Lecet pun biasa dialami, seperti halnya awal-awal mengenakan sepatu baru. Namun, masih bisa ditoleransi. Lama-kelamaan pasti akan terbiasa juga.
Jawaban Anye sangat melegakan hati. Berarti Anye sudah berpasrah diri dan menerima kondisi dirinya tanpa sesal.
“Berarti ….”
“Apa?”