Pemuda itu berjalan lunglai, kaki berbalut kain abu-abu panjang itu sesekali menendang kerikil yang menghalangi jalannya. Isi pikirannya tidak pernah jauh-jauh dari "kenapa aku di sini? Kenapa bisa aku di sini?". Sebuah kenyataan yang masih belum bisa diterima oleh Keenan. Relung hatinya masih tidak bisa merelakan, beberapa pasang sepatu bermerk, kaus-kaus yang harganya mencapai delapan digit juga harus ikut disita bersamaan dengan rumahnya.
"Sialan!"
Dedaunan kuning dari pohon besar yang rindang itu berjatuhan, seakan ikut menenangkan Keenan yang belum tampak senyumannya semenjak tiga hari lalu, saat ia menginjakkan kaki di kota kecil nan hangat ini.
***
Bel masuk memekakkan telinga para siswa. Anak-anak yang lebih sering membuka ponsel daripada buku pelajaran itu mayoritas bersungut-sungut karena saat jejak kaki mereka baru menapak koridor, bel sialan itu sudah memaksa mereka untuk bergegas duduk di dalam kelas. Jelas bosan, mereka lebih senang duduk di kantin bersama dengan gorengan dan semangkuk mi kuah.
Bunyi bel tidak lantas meredam suara riuh muda-mudi yang menginjak remaja itu. Mereka masih tetap saling bergurau dan bercengkerama bak kawan lama, beberapa berkerumun di salah satu meja, beberapa lagi di depan kelas. Ghibah menjadi satu-satunya alasan saat di mana ada dua atau lebih perempuan berkerumun membentuk sebuah lingkaran.
Sedang para pemuda bangsa itu, mereka lebih senang untuk duduk melamun dan menahan kantuk; atau bahkan yang lebih brutal, mereka sudah membawa bantal untuk tidur di belakang kelas dengan beralaskan tikar yang tidak pernah dibawa pulang selepas Idul Adha.
Generasi penerus bangsa itu akan kembali ke tempat duduknya masing-masing saat seseorang yang duduk-duduk di ambang pintu kelas beranjak dari tempatnya dan mulutnya berkomat-kamit, "Guru, guru!"
Kelas yang semula bising menjadi sedikit lebih tenang, kantuk yang semula bergelayut manja pada dua kelopak mata pun menguap seiring derap langkah kaki pahlawan tanpa tanda jasa itu tertangkap liang telinga.
Kali ini, bukan seseorang saja yang presensinya tertangkap saat memasuki kelas. Melainkan dua, dua presensi dengan tinggi yang kontras melangkah masuk dan menimbulkan beberapa bisikan yang hadir dari bibir para gadis itu.