Hari pertama tidak pernah berjalan lancar, 'kan? Yeah, itu yang Keenan rasakan saat ini. Duduk sendirian, ingin memakan bekal namun rasa gengsi terlampau melambung tinggi. Bel istirahat sudah berbunyi dari tadi, menciptakan ingar bingar teriakan para teman kelasnya yang akhirnya bisa menghirup napas lega karena pelajaran membosankan pagi itu akhirnya selesai. Meski terhitung tiga puluh menit dari sekarang mata pelajaran sialan lainnya akan bergantian memberi tugas yang membuat otak serasa mengepul.
Keenan celingak-celinguk, ruang kelas mulai sepi perlahan-lahan. Beberapa anak lelaki ada yang menyapa dirinya, Keenan hanya bisa balas sekenanya. Entahlah, ia masih harus berusaha beradaptasi dengan tempat ini. Bukan sok kaya atau apa ya, tapi ... dia sangat amat tidak terbiasa dengan kebiasaan dan rutinitas anak-anak sekolah negeri. Tidur di belakang kelas misalnya. Jujur saja, Keenan amat sangat terkejut bahkan menganga tatkala retinanya merekam bagaimana tikar itu digelar di sana dengan beberapa bantal yang berbaris rapi. Apa mereka tidak jijik dengan bantal yang dipakai bergantian? Belum lagi jika sang pemakai kebetulan ileran saat tidur. Membayangkannya saja sudah membuat Keenan bergidik.
Teman sebangkunya sudah melesat ke luar kelas tadi. Tidak ada sesi perkenalan satu sama lain yang lebih intim, tidak ada juga perbincangan ringan yang mereka dapatkan. Argh, ternyata berkenalan tidak semudah itu. Berbeda sekali dengan dulu, di mana ia dengan mudah beradaptasi dan berkenalan dengan anak rekan kerja ayahnya. Yeah, rata-rata di sekolah swasta eksklusif seperti itu, para orangtua siswa sudah saling mengenal dan bukan tidak mungkin anak-anaknya cepat sekali akrab bak kawan lama.
Sedang di sini, Keenan bahkan tidak tahu harus berkata apa saat disapa. Apakah ia harus menjawab, "hei", atau "iya", atau bahkan "saham di perusahaan ayahmu gimana?"
"Hay maniezz!"
Pandangan Keenan beralih pada seorang gadis yang tidak terlalu tinggi, dengan warna kulit wajah dan leher yang kontras. Oh, tidak lupa liptint yang hanya dipoleskan pada bibir bagian dalam saja, membuat kesan ombre seperti riasan wanita Korea yang akhir-akhir ini sedang marak.
"Siapa? Gue?" celingukan menjadi satu-satunya jalan ninja yang Keenan punya. Gadis itu semakin mendekat dan akhirnya duduk di sebelah Keenan.
"Iyalah. Kenalin, gue Mezty."
Keenan mereguk ludah kasar. Tangan kanan Mezty terulur di depannya namun ia tidak langsung menyambutnya. Matanya malah semakin melebar tatkala ia menyadari ujung jari telunjuk Mezty berwarna merah. Bukan, bukan darah. Itu seperti ... liptint? Mungkin saja liptint yang di bibirnya itu diratakan dengan jari telunjuk? Berarti, jari telunjuk itu baru saja menyentuh mulutnya?
Alih-alih menyambut uluran tangan Mezty, Keenan memilih untuk menangkup kedua tangannya di depan dada. Ya, salaman tidak langsung. Itu jelas membuat harga diri Mezty jatuh merosot sampai rata dengan tanah. Secara gitu, Mezty ini termasuk salah satu member dari geng paling hits satu sekolah. Gadis itu gelagapan.