"Enak 'kan sekolah di Solo? Orangnya ramah-ramah, mau beli apa-apa semuanya murah." celetuk Bude Sara saat melihat Keenan masuk dengan langkah gontai.
Ya, hari ini ia selalu berjalan lunglai. Entah karena terlalu lelah menghadapi orang-orang yang belum pernah ditemuinya, atau karena terlalu syok saat melihat bagaimana cara mereka berbaur satu sama lain. Intinya, Keenan hampir tidak kuat.
Cowok itu memutuskan untuk merebah pada sebuah kursi panjang yang lumayan empuk. Tas ransel sudah ia hempaskan ke sembarang hala. Satu lengannya naik, menutupi sebagian muka. Keenan mengembuskan napas dalam.
Bude Sara mengintip dari ambang pintu dapur lengkap dengan celemek birunya yang penuh dengan noda bumbu. Senyumnya perlahan terpulas, melihat bagaimana keponakan yang biasanya termanjakan oleh gaya hidup metropolitan, kini harus beradaptasi dengan gaya hidup yang lebih sederhana. Disuruhnya makan pemuda tujuh belas tahun itu namun ia menolak.
Sehari saja rasanya seperti setahun. Sial, ia mulai merindukan sekolah lamanya. Ia tarik lengannya dari wajah, mata sayu itu mengedarkan binarnya ke jam yang tergantung manis di dinding. Biasanya, pukul segini ia akan berjalan-jalan dengan Popo—anjing peliharaannya yang kini ia jual karena sudah tidak mampu mengurusnya lagi.
Semua bisa terjadi begitu saja.
Dengan enggan, ia paksa raganya berdiri. Berganti pakaian lalu pergi ke beranda rumah sembari mendengarkan lagu dari ponsel yang terhubung dengan earphone. Ia asyik sekali berselancar di dunia maya, melihat postingan-postingan terbaru dari teman-temannya yang sedang singgah di kedai kekinian, piknik di taman kota, atau bahkan hanya sekadar pamer busana yang sedang dikenakan pada hari ini. Keenan mereguk ludah kasar. Biasanya, ia juga akan memposting beberapa foto dirinya dengan Popo yang sedang berjalan-jalan saat sore tiba.
Atau sekadar berfoto di depan kaca besar dan memamerkan ponsel keluaran terbarunya. Namun, itu semua lagi-lagi harus sirna. Mengingat semua hal yang Keenan miliki harus disita. Pisang goreng yang membisu di meja perlahan-lahan mulai keras dan mendingin. Ibu jari yang sibuk mengusap layar kaca itu perlahan ikut terhenti saat menerima notifikasi bahwa kuota internetnya telah habis.
Kerongkongan Keenan serasa tercekat. Ia baru sadar jika di rumah Bude Sara tidak memasang Wi-Fi seperti rumah lamanya. Ia terdiam beberapa saat, ditemani suara ayam jantan yang berkokok dan burung yang berkicau di ranting-ranting pohon depan rumah, Keenan mengumpat dalam hati.
"Kian! Beliin gua kuota, dong!"
Selang beberapa menit, seorang gadis berkulit putih dengan mata yang sipit menjejaki lantai beranda. Mengamati Keenan dari atas sampai bawah dengan sorot tidak suka.
"Beli sendiri kenapa, sih?!"
"Ya gua nggak tahu tempatnya!"
Kian, teman sekolah sekaligus sepupu Keenan itu berkacak pinggang lengkap dengan setelan daster dan rambut cepol andalannya. "Di depan gang juga ada, Keenan!"