Aoi Kayama Newspaper

Kholifa Tahta Dharmawan
Chapter #1

Serpihan Kertas

Listrik padam sejak satu jam yang lalu. Rintikan hujan berbisik dengan irama gelisah, seolah ikut mengaduk kesunyian kompleks perumahan. Beberapa warga memilih menyalakan lilin atau keluar rumah untuk mencari sinyal. Tapi, Ryu Hiroshi tidak. Pria dua puluh enam tahun itu, baru saja pulang dari bekerja, diikuti dengan langkah berat, tubuh yang menggigil dan wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Tangannya menggenggam kunci rumah warisan orang tua. Sejak mereka tiada sembilan tahun lalu, rumah menjadi tempat yang bisu, tetapi tidak benar-benar sepi tak bernyawa.

Ryu hanya seorang pemuda sederhana yang sepanjang hidup hanya menempati rumah peninggalan orang tuanya sendirian. Dia memutuskan untuk pindah dari desa setelah tiga tahun kematian kedua orang tuanya. Saat itu, rumahnya sunyi. Bahkan tidak terdengar suara burung di sana. Dia hanya terdiam, menyaksikan luka lama. Meski begitu, dia tak terlalu dekat dengan kedua orang tuanya. Seluruh keluarganya sudah tiada, Ryu merasakan kesepian seperti badai yang tak pernah reda.

Tahun ini, 2010. Sembilan musim gugur telah lewat, sejak kegelapan merenggut orang tuanya. Dia tinggal di kota bernama Iwanarimoto. Kota yang berjarak tiga ratus km dari desa asalnya, Akanomiguchi. Sejak kecil, dia menempuh semua pendidikan di sana. Ryu jarang bertemu dengan orang tuanya, meskipun bersikeras untuk bertemu. Neneknya selalu melarang tanpa ada alasan, hingga disadarkan pada kenyataan, waktu tidak bisa berhenti. Pada usia tujuh belas tahun, dia kehilangan orang yang sangat mencintainya. Ribuan air mata tidak akan bisa mengganti kehadiran orang tuanya. Waktu itu, dia tidak percaya apa yang telah terjadi. Ryu tidak ingin menyalahkan siapapun, dia tidak boleh pergi meninggalkan neneknya sendirian. Meskipun tidak mengerti apa yang sedang terjadi, dalam hatinya berbisik “carilah sendiri alasan itu” sambil menatap kosong keluar jendela.

Kini, dirinya bekerja untuk perusahaan percetakan. Ada alasan tersendiri dia bekerja di sana. Ketika kembali ke kota untuk berkuliah, dia memutuskan untuk menjadi seorang editor bagi penulis. Sebenarnya dia tidak terlalu menyukai pekerjaan ini. Ryu menjalani rutinitas tanpa warna, hari selalu berganti tanpa adanya suara hangat yang dahulu selalu terdengar. Pada usia sekarang, dia bahkan tidak mengerti tujuan hidupnya. Seperti nahkoda tanpa peta, berlayar menghadapi tajamnya ombak, tak tahu ingin bersandar kemana. Baginya, selama kapal masih bisa digunakan, itu bukanlah masalah.

...

Seorang teman dari desa, Gaku Kawashima datang berkunjung. Sudah lama dia tidak menemui teman masa kecilnya. Gaku selalu menemani perjalanan Ryu semasa menempuh pendidikan dan menjalani kehidupan di desa. Dia sudah menghubungi sahabatnya untuk bertemu sepulang kerja di sebuah kafe klasik. Gaku sendiri memilih untuk menjadi petani di desa, dia berniat untuk membuat desa semakin maju. Banyak kenangan terjadi ketika mereka berteman, saling menghibur ditengah kesulitan.

Senja menyambut Ryu di jam pulang, lanjut untuk menemui teman masa kecilnya. Pergi dengan mengendarai mobil klasik Skyline R-32, melaju cepat di perjalanan. Dia menikmati lalu lintas di kota ini, tanpa perlu menginjak rem terlalu sering. Beberapa jam kemudian, tepat pukul sembilan malam. Keadaan terlihat hening, di depan kafe hanya ada sedikit kendaraan. Ryu berjalan masuk, melihat-lihat di mana Gaku berada. Tak sempat melihat pesan di ponsel, dia hanya tau jam berapa menuju ke sini. Ternyata, Gaku masih belum tiba. Ryu lebih suka berada di lantai dua, memesan minum terlebih dahulu sambil menunggu kedatangan Gaku.

Lihat selengkapnya