Aozora

Rokho W
Chapter #2

Reana Khoirunnisa


Pasuruan, 2004

“Re, lihat tuh anak, pas kemaren ketemu dia di balai desa apa-apa mamanya,” ucap Santi sahabatku sekaligus teman sebangkuku sembari ia terus memainkan kepangan rambutku. 

Hai namaku Reana Khoirunnisa saat ini aku adalah salah satu siswi kelas 4 SDN Kenanga yang berada tak jauh dari rumahku, iya dekat sekali karena terletak di belakang rumah kedua orang tuaku sekolah ini. 

Sudah bisa di katakan dewasa kan kami? Kata mbah putri, kalau sudah punya adik artinya kami sudah dewasa karena sudah menyandang status kakak. Ya, saat ini aku telah memiliki adik satu-satunya yang bernama Nana Alfathunnisa selisih usia jarak kami adalah 7 tahun, dan aku lah teman satu-satunya adikku ini, entah aku tak paham kenapa ia hanya mau bermain denganku sedang dengan anak seusianya ia enggan bermain dengan mereka. 

Adikku inilah satu-satunya alasan yang membuatku tak bisa bermain dengan teman-teman sebayaku seusai pulang sekolah, akan tetapi teman-teman kelasku satu pun tak ada yang membenciku atau pun mengucilkanku di kelas. Hal ini pun aku lakukan karena janji yang pernah sembarang aku ucapkan kepada ibuku,

"Bila ibu memberikan aku adik di rumah, aku tak akan main lagi dengan kawan-awanku."

Ibuku tak suka bila aku sepulang sekolah langsung bermain dengan teman-temanku dengan berbagai alasan yang di ciptakannya, karena aku tak membantu pekerjaannya di rumah seperti menyapu, mengepel, dan membersihkan kamar mandi atau karena mereka bukan dari kalangan anak orang menengah yang membuat bajunya kotor lah dan di hinggapi banyak penyakit dan masih banyak lagi alasan-alasan lain yang ibu lontarkan akan teman-temanku.

 Ya saat itu usiaku masih 9 tahun, dan di pikiran otakku hanyalah bermain ramai-ramai dan bersenang-senang dengan teman-temanku. Menikmati masa kanak-kanak tanpa dosa, tanpa beban yang tak akan terulang lagi dalam kehidupan. Dan hal ini aku lakukan juga karena mbakku sendiri, mbak Kartika selalu berdiam diri di kamar belajar dan tidak mau di ganggu oleh tingkahku yang masih haus akan perhatian orang lain. Aku memiliki satu-satunya mbak yang bernama Kartika Novita Sari.

Mbak Kartika adalah anak ibu yang paling pandai, selalu mendapatkan juara cerdas cermat maupun olimpiade. Semua makhluk di bumi ini aku yakin sangat menyayangi mbak Kartika sekalipun mbak Kartika pendiam seperti itu. Menurut orang Jawa anak gadis itu harus pemalu, dan pintar. Tak seperti aku yang memiliki IQ rata-rata dan tingkah yang pecicilan, aku sadar aku seperti itu karena aku mengemis untuk di cinta dan kasih sayang dari makhluk bumi.

Pernah satu waktu aku bermain ke persawahan bersama dengan teman-temanku Santi, Lia, Napis dan Zul menikmati aliran air yang bersih dan jernih, angin kencang yang menyegarkan kulitku dan ku nikmati keindahan persawahan yang hijau kekuningan karena sudah mendekati panen padi. 

"Eh bos lik, ayo dulen rene” panggil salah satu petani yang sedang panen tebu memanggil Lia teman kami.

Lia di panggil bos lik alias bos cilik oleh orang yang kenal orang tuanya Lia, orang tua Lia adalah pengusaha warung makan bakso yang cukup laris di Pasuruan kota, sedang kami tinggal di salah satu desa di kabupaten Pasuruan. Kami pun berlari-lari menuju tempat pakdhe memanggil kami.

Sini sini nduk, ki lho pakdhe duwe gowonen muleh nyang omah,” ucapnya lagi sambil memberikan kami masing-masing se batang tebu.

Cara maem e yak nopo pakdhe?” tanyaku dengan polosnya di jawab riuh gelak tawa teman-temanku terutama Zul yang paling keras suara gelak tawanya.

“Re, kamu nggak pernah makan tebu?” tanya Zul, dan aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala dan tersipu malu.

“Oh, iki mariku kek no ibu utuwo bapak kongkon ngoncekno nduk,” jawab pakdhe menjelaskannya kepadaku, aku pun manggut-manggut menyimak perkataan yang di ucapkan pakdhe padaku.

Lihat selengkapnya