Aozora

Rokho W
Chapter #3

Gendut

Saat ini aku Reana Khoirunnisa yang sudah kelas 4 SD. Reana yang tak boleh cengeng karena sesuai janjinya pada diri sendiri bila Allah memberikannya seorang adik, ia tak akan menangis lagi dan Reana yang harus menerima ketentuannya bahwa tak selamanya manusia yang mencintainya akan hidup seperti mbah Kung yang selalu memberikan kasih sayang padanya yang tak pernah ia dapatkan dari kedua orang tuanya.

Mbah kung telah meninggal dunia, meninggalkannya sendiri yang harus hidup berada di tengah-tengah keluarga yang tak menyayanginya yaitu kedua orang tuanya. Keluarga yang membandingkan kasih sayangnya dan menganggap anak yang harus di sayangi adalah mbak Kartika yang selalu rangking 1 di kelas dan memenangkan olimpiade.

 Ruangan kelas saat ini begitu riuh dengan gelak tawa siswa-siswi karna guru sedang tak ada di ruangan kelas setelah memberikan tugas menggambar dengan tema My Fruits.

"Sudah dong gambarnya Re, main bola bekel yuk," ajak Santi padaku

"Nanti kamu timku saja aku kan jago tuh nanti kita bisa menang,” rayunya padaku sambil menggoyang-goyangkan siku tangan kiriku.

“Sama siapa saja memangnya?” tanyaku sambil masih saja mencorat coret buku gambarku membuat sketsa buah di dalam keranjang yang di contohkan bu guru di papan tulis sebelum bu guru meninggalkan kelas.

“Ada Lia, Napis, Zul dan Tari,” jawab Santi sambil terus menggoyang-goyangkan lengan kiri ku agar segera menyudahi aktivitasku.

“Ok lah yuuk,” jawabku sambil meletakkan pensil warnaku yang di belikan oleh mbah kung.

“Maaf, boleh kah aku ikut bermain dengan kalian?” tanya Nova, tiba-tiba menghampiri tempat duduk kami berdua sesaat aku dan Santi akan berdiri.

Aku dan Santi pun kaget dan kami saling pandang berkomunikasi lewat mata kami,

Gimana San boleh nggak nih? enggak ah, kan sudah cukup anggotanya, aku dengan kamu, Lia dengan Napis, Zul dengan Tari kurang lebih komunikasi kami lewat gerak mata yang aku artikan seperti itu.

Nova Zalyanti siswi pindahan dari kota Surabaya, ia pindah ketika semester satu lalu. Selang beberapa bulan setelah ia masuk kelas kami, aku mendapati nama-nama panggilannya yang diciptakan oleh teman-teman perempuan maupun laki-laki di kelasku dengan sebutan gendut, dan anak gajah sebab badannya yang lebih berisi dari pada kami anak desa yang semacam anak kekurangan gizi. 

“Ya sudah yuk kita main bola bekel bareng, aku hari ini jadi jurinya yang menghitung score kalian ya," ujarku setelah cukup lama terdiam dan menyudahi komunikasi lewat mata dengan Santi.

 Aku kasihan dengan Nova, tak ada satu pun teman di kelas kami yang mau mengajaknya bermain. Mungkin juga, ini cara dia beradaptasi agar di kenal teman-teman kelas ini. Aku teringat ucapan bu guru waktu aku kelas 1 dulu yang meminta aku untuk memperkenalkan diri dan berkata kalau tak kenal maka tak sayang.

"Lha nih anak, aku mengajak dia gabung main bola bekel malah dia jadi juri katanya," ucap Santi lirih, yang terdengar seperti gerutuannya padaku.

Aku pun berdiri dari tempat dudukku dan mulai menyikut lengan Santi untuk mengikutiku berdiri juga,

“Sudah yuk,” ku tarik lengan Santi dan Nova bersamaan menuju tempat kami untuk bermain bola bekel di teras kelas.

“Lha ini siapa yang ngajak si gendut sih?” bisikan Lia pada Santi yang cukup terdengar oleh telingaku.

“Tau tuh teman kita ini si dewi baik siapa lagi kalau bukan Reana,” jawab Santi dengan suara yang di kecilkan, namun masih dapat terdengar dengan jelas di gendang telingaku.

“Huusstt....,” ku senggol lengan mereka, agar tak bicara macam-macam lagi karena ku lihat raut wajah Nova yang sudah mulai berkaca-kaca, mungkin dia juga mendengar bisikan kedua temanku ini dan membuatnya tak enak hati.

“Sudah yuuk hompimpa siapa dahulu yang main, aku hari ini jadi jurinya saja ya mencatat score kalian, yuuk Nova hompimpa kamu bisa kan?” cerocosku mendinginkan suasana canggung saat ini.

“Hompila alaihom gambreng, gambreng, gambreng,” kata Santi, Lia, dan Napis bersama dengan nada yang sangat lirih yang tak bersemangat, yang membuatku makin tak enak dengan Nova karena sedari tadi ia sangat berusaha untuk dekat dengan kami berlima terbaca dari raut mukanya.

“Nah team kamu duluan Pis, kedua Lia, ketiga Santi,” kataku dengan antusias, sambil menarik lengan kiri Santi dan berbisik ke telinganya,

“Tolonglah raut mukamu jangan di tekuk macam begitu,” bisikku pada Santi gemas dengan tingkah laku kawanku ini, dan dia hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Setelah setengah jam lamanya kami bermain bola bekel dan score menunjukkan team Lia dan Zul pemenangnya, dan aku pun merasakan kekeringan melanda tenggorokanku saat ini. Karena sedari tadi sudah berteriak-teriak memberikan support pada teman-temanku, apalagi pada Santi yang terlihat sama sekali tak menikmati permainan seperti biasanya. 

“Haus deh aku, haus nggak kamu?” tanyaku pada Santi sambil menggoyang-goyangkan tangan kanan Santi, ini lah cara kami untuk meminta maaf supaya di maafkan segala tingkah laku yang kurang berkenan di diri kami masing-masing dan juga agar dia tak merengut lagi.

“Iya nih panas banget, beli es yuk,yuukk,” ajak Lia pada Napis.

 Sedang Nova sudah kembali ke tempat duduknya lagi, dia duduk sendiri di dekat jendela kelas, awalnya dia duduk sebangku dengan Wiwit bendahara kelas kami entah kenapa seminggu kemudian Wiwit pindah tempat duduknya menjadi di belakang Tyas dan Murni dan bangku sebelah Nova sudah tak berpenghuni lagi.

Kami berlima pun berangkat membeli es ke wak Anam langganan kami pedagang es dan cilok yang slalu mangkal di depan sekolah kami. Dan tentu saja tanpa Nova kami membelinya, 

Lihat selengkapnya