Pasuruan, 2004.
Hari ini hari rabu, hari yang membuat langkahku berat untuk berangkat ke sekolah, karena badan yang sudah tak mau berkompromi padaku akibat kemarin ku paksakan untuk terus latihan voli bersama teman-temanku hingga sore.
Sayup ku dengar, pintu kamar tidurku terbuka.
“Dek, kamu di panggil ibu tuh di suruh sarapan sama Nana. Ibu mau ke sekolah mbak hari ini buat menerima penghargaan dan beasiswa yang di berikan bupati sama mbak,” ucap mbak Kartika di depan pintu kamarku.
Dan aku hanya sanggup mengangguk saja, ku kucek kedua mataku untuk segera bangkit dari tempat tidur dan ku lihat jam dinding yang menunjukkan pukul 06.00 pagi.
Ini badanku pada kenapa sih lemas lunglai begini, ucapku dalam hati karena bibirku pun enggan berkompromi untuk mengeluarkan suara cemprengnya.
Mbak Kartika menatapku kesal.
“Dek..., buruan bangun. Mbak nanti telat, sekolah mbak kan jauh. Ya kalau kamu dekat tinggal jalan kaki saja,” ucap mbak Kartika yang terdengar kesal padaku.
“Rea, bangun sebelum ibu siram air ke kasur kamu,” ancam ibuku dengan teriakannya yang ku prediksi suaranya berasal dari arah dapur rumah kami.
Sejenak aku berpikir, tumben ibu di pagi hari bisa teriak. Bukankah biasanya ibu harus lemah lembut di meja makan, karena waktunya bapak sarapan sebelum berangkat mengajar.
Terpaksa, ku bangkitkan diriku dari tempat tidur yang membuatku merasakan kenyamanan mengaliri aliran darah dalam tubuhku. Ku lihat diriku sejenak di depan cermin lemari bajuku, kulitku yang cokelat kehitaman tubuh yang kurus nan kecil untuk anak usia 10 tahun.
Ah, sudah lah ayo Rea bergegas mandi dan berangkat sekolah sebelum ibu memukulmu, ucapku dalam hati menyemangati kedua mataku agar segera sadar dan berfungsi sebagaimana semestinya.
Aku bergegas untuk segera berangkat mandi agar mata malasku ini segera sadar, sesampainya di ruang makan yang menjadi satu dengan dapur. Aku melihat Nana adikku sudah duduk di meja makan, entah sudah mandi apa belum dia sebab tanda Nana sudah mandi mukanya akan di penuhi oleh bedak bayi dan badannya akan berbau minyak telon. Akan tetapi tak ku lihat muka Nana di penuhi bedak bayi saat ini.
Seusai mandi dan memakai seragam olahraga karena hari ini pun akan sama dengan hari kemarin, yang aku kerjakan hanya latihan voli bersama teman teamku sebelum pertandingan dalam rangka hari kemerdekaan yang akan di gelar di kecamatan.
“Na, sudah mandi belum kamu?” tanyaku pada Nana sembari mencubit pipi gembulnya.
Tangan mungilnya pun menarik lengan baju seragamku untuk mendekat padanya, dan ia pun berbisik pelan ke telingaku,
“Udah mbak Lea, di dingin,” bisiknya ku rasakan suara cadelnya yang menggigil kedinginan.
“Ya sudah kok belum bedakan dek biar harum,” ucapku sambil mengambil piring nasi untuk sarapanku, entah kenapa pagi ini aku merasa kurang bersemangat.
“Rea, nanti ibu pulang sore, nanti kamu panaskan sayuran ya kalau pulang sekolah. Kalau nggak nanti bapakmu marah, tak ada makanan buat dia makan siang," perintah ibu kepadaku yang sedang mengambil nasi di magic com.
“Iya,” jawabku singkat
Aku pun langsung menuju tempat dudukku di samping Nana untuk memakan sarapanku, aku pun juga jengah melihat mbak Kartika anak kesayangan ibu yang selalu di perhatikan itu. Hanya duduk di meja makan saja, piring sudah terisi nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauk. Kata ibu mbak Kartika itu siswa berprestasi harus makan-makanan sehat sempurna. Sedangkan aku anak nakal yang bodoh jadi harus makan seadanya.
Ya sudah sih makan saja semua sekalian satu kulkas tuh habiskan. Makan semua mbak Kartika, aku muak melihatmu.
***
“Rea, oi ... Rea,” teriak Lia di depan pintu kelas, begitu riangnya ia hari ini, berbeda denganku yang ingin sekali menyandarkan kepala ini.
“Semangat dong, pagi ini cerah banget lho. pagi-pagi sudah lesu saja,” teriaknya dari depan halaman kelas.
Aku hanya tersenyum dan terus menarik berat langkah kaki ini, padahal tak sejauh itu jarak rumahku dari sekolah ini tetapi entah kenapa langkah kaki ku hari ini merasa begitu jauh sekali. Dan akhirnya sampai juga langkah kaki ini ucapku dalam hati.
"Re, kamu lagi nggak enak badan ya? Kamu lewat langsung ada angin panas begitu,” tanya Lia melangkahkan kakinya menghampiri ke tempat dudukku.
“Entah, aku hanya merasa tak semangat dan sangat ingin menyandarkan kepalaku saja hari ini,” sahutku singkat.
Santi teman sebangku ku pun berinisiatif memegang dahiku setengah berteriak,
"Ih ..., panas. Re, kamu demam. Kenapa masuk sekolah lah kamu ini,” ucap Santi yang memegang dahiku