“Permainan yang menarik, anak-anak ini hasil kerja keras kalian semua, pak guru dan ibu kepala sekolah bangga akan pencapaian kalian semua. Tahun ini team volly putri berkesempatan mengikuti tanding lanjutan ke tingkat kabupaten yang akan bertanding di stadion kota sebulan lagi,” papar pak guru olahraga dengan penuh semangat.
“Semangat latihan lagi buat menang di tingkat kabupaten,” gumamku sembari terus mengetuk-ngetuk meja bangku dengan begitu aku dapat mengusir keresahan yang ada dalam pikiranku.
“Huuuuu....,” teriak anak laki-laki di kelasku dengan serentak saat itu jumlah siswa-siswi di kelasku sekitar 13 siswa dan 12 siswi.
Bisa di definisikan suasana dan kondisi kelasku saat ini riuh dengan suara anak-anak saling beradu ejekan, karena hasil pertandingan volly putra sekolah kami kalah dalam babak penyisihan yang mengakibatkan tak dapat masuk babak final, sedang volly putri masuk babak final mendapatkan juara ketiga di tingkat kecamatan.
Itulah kenapa pak guru mengumumkan volly putri akan dikirim tanding volly lagi ke tingkat kabupaten dengan itu artinya aku dan teman-teman team volly ku harus latihan untuk bertanding volly lagi, meninggalkan pelajaran yang di ajarkan oleh guru kami di kelas lagi.
Hal itu sungguh mengganggu pikiranku saat ini, apalagi setelah kejadian pagi hari saat aku berpamitan akan berangkat untuk bertanding babak final volly. Tiada angin dan hujan ucapan bapakku tak dapat ku masukkan dalam nalar pikiranku sampai saat ini,
“Nanti, bapak carikan ibu yang baik buat kamu,” ucap bapak
“Iya, assalamualaikum,” jawabku asal, sembari berpamitan berangkat sekolah pada bapak, jawabku tanpa tahu-menahu apa yang di maksudkan dari ucapannya tersebut.
Apa ya yang di maksudkan bapak hari itu? dan kenapa pula aku menjawabnya dengan “IYA”? pikiranku pun berkecamuk lagi dan beradu argumen dengan asyiknya.
“Re..., kamu mikir apa sih? Teman-teman kamu bersorak-sorak, team kalian akan lanjut tanding ke stadion kamu kok melamun saja di sini,” ujar Nova, tanpa ku sadari dia sudah duduk di kursi sebelahku, lha mana Santi? Aku pun hanya celingukan bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya.
“Eh iya, hehe,” jawabku sekenanya, lalu aku meninggalkan kursiku, meninggalkan Nova sendirian dan berada di bangku Lia deretan nomor tiga dari depan tempat teman-teman team vollyku berdiskusi dengan riangnya.
Ya aku sadar betapa tidak sopannya aku dan sangat acuhnya aku kepada semua temanku beberapa hari ini, pikiranku benar-benar terganggu dengan kalimat yang di ucapkan bapak padaku seminggu yang lalu.
***
“Assalamualaikum,” ucapku sesampainya aku memasuki rumah sepulang sekolah.
“Dek, ke sini ke ruang tengah, mbak sama ibu mau ngobrol sama kamu,” teriak mbak Kartika padaku, ada apa tumben aku di ajak ngobrol sama mereka, biasanya juga nggak pernah menganggap aku ada. Aku pun bergegas masuk ke kamarku untuk berganti seragam dengan baju biasa yang ku gunakan di rumah dan meletakkan tasku kemudian langsung menuruni tangga dan berjalan menuju ruang tengah tempat mbak Kartika,
“Ada apa mbak?” tanyaku ragu-ragu setelah aku duduk di kursi sebelah televisi.
“Nih bu, Reana,” panggil mbak Kartika pada ibu yang sedang berada di kamar, kamar ibu berada di ruang tengah bersama an dengan kamar bapak dan mbak Kartika. Sedang kamarku dan Nana berada di lantai atas.