Aozora

Rokho W
Chapter #9

Sabrina Alaika Malik


Hari yang super dingin karena turunnya hujan yang tak berhenti-henti sedari semalam, hujan pertama setelah kemarau melanda 8 bulan lamanya di desaku. Apakah aku hari ini boleh nggak masuk sekolah ya sama ibu? Tanyaku pada angin hujan yang aku rasakan kehadirannya melewati jendela kamarku.

“Rea, sudah bangun? Bantuin ibu Rea,” teriak ibu dari arah dapur yang terdengar suaranya hingga kamarku dan kebetulan letak dapur berada di dekat anak tangga lantai atas tempat kamarku dan Nana berada.

“Tau aja ibu kalau aku sudah bangun,” gerutuku dalam hati.

“Ya bu,” jawabku lirih sambil menutup kembali jendela kamarku agar air hujan tak menggenangi kamarku.

Aku pun menuju ke dapur tempat ibu berada, dan benar saja sesuai dengan dugaanku hari ini aku di minta bantuin ibu untuk membungkus jajanan bazar mbak Kartika. Di sekolah mbak Kartika hari ini adalah hari kedua pasar rakyat dalam rangka HUT Koperasi Indonesia, jadi pihak OSIS dan sekolah bekerjasama dengan Dinas Koperasi untuk mengadakan acara Pasar Rakyat untuk umum.

Dan disinilah aku pagi ini duduk di meja makan membungkusi jajan bazar mbak Kartika sedang mbak Kartika entah kemana,

“Bantuin ibu ya, ini harus segera beres sebelum bapakmu bangun minta sarapan,” pinta ibu sambil terus menggoreng entah apa yang beliau goreng.

Dan seperti biasa aku melakukan saja semua itu dengan gerutuan tak jelas, seperti inilah terus ibuku hanya menyayangi mbak Kartika. Aku yakin bagi ibu anak ibu hanyalah mbak Kartika aku dan Nana hanyalah bayang-bayang dari mbak Kartika.

Aku lelah jadi bayangan mbak Kartika terus-terusan. Mau sampai kapan hal ini terjadi kepadaku? Pikiranku pun berkecamuk dengan asa yang sudah tak dapat ku bendung lagi.

 Ingin ku jungkir balikkan ini meja makan seperti bapak biasanya bila pulang mengajar tak tersedia makanan.

"Bu, dengar bu, Rea ingin ibu bahagia tapi Rea tidak bisa jadi anak yang bisa bahagiakan ibu, Rea akan bawain ibu banyak piala seperti mbak Kartika agar ibu bahagia," gumamku dalam hati agar aku semangat mengerjakan perintah ibu di pagi yang dingin ini.

***

Pasuruan 2005

“Bu, Reana dapat penghargaan dari kecamatan, ini undangannya,” ucapku dengan wajah bergembira ketika sepulang sekolah. Aku pun bergegas menghampiri ibu yang sedang berada di ruang tengah dengan secangkir teh lengkap dengan biskuit sisa Ramadan 2 bulan lalu.

“Penghargaan apa?” Tanya ibu datar.

“Penghargaan team volly ku yang menang lomba bu,” jawabku dengan ekspresi yang sangat antusias dan berharap ibu juga bergembira akan upayaku ini.

“Oh..., penghargaan team,” ucap ibu dan masih datar

“Iya bu, ibu mau datang menghadirikan? Ke kecamatan minggu depan,” tanyaku lagi dengan nada yang merendah karena aku berharap ibu mau menghadirinya, seperti yang di lakukan ibu ketika mbak Kartika mendapatkan penghargaan saat itu. 

Ibu terdiam dan menyeruput secangkir teh hangat di depannya, tanpa membaca surat undangan yang aku letakkan di meja tempatnya duduk saat ini. Ibu kenapa? Apa ibu nggak suka dengan pencapaianku saat ini? Ucapku dalam hati. Hatiku sedih, ibu mengabaikanku yang ingin sekali mendapatkan perhatian dari ibu seperti mbak Kartika. Ku bawa lagi surat undangan tersebut, nggak ada gunanya juga aku tunjukkan kepada ibu.

“Reana....,” suara bapak memanggilku dari ruang kerjanya yang kebetulan bersebelahan dengan ruang tengah

“Bawa sini, undangan itu,” ucap bapak kemudian 

“Njeh pak,” jawabku tak berani membantah, ya sudah lah dari pada nanti aku satu-satunya yang nggak ada wali muridnya aku kan bukan anak yatim piatu ucapku dalam hati.

“Kalau ada undangan dari sekolah, biar bapak saja yang hadir,” ucap bapak kemudian dan aku pun termenung dengan kalimat yang di katakan bapak padaku saat ini. Sungguh tak seperti bapak biasanya, yang peduli akan anak kandungnya ada apakah ini? Saat aku bertanding volly di kecamatan, bapak memberikanku uang jajan di depan teman se teamku seusai aku bertanding melawan SD Widodari. Aku ingat saat itu bapak setengah berlari menghampiri dan ketika memberikan uang jajannya pun bapak seperti sedang terburu-buru entah mau kemana ia saat itu, dan sekarang bapak menerima undangan yang inginku ibu menghadirinya.  

***

“Re, orang tuamu yang datang hari ini siapa Re?” tanya Napis padaku yang sedang duduk di kursi yang di sediakan panitia untuk wali murid siswa-siswi yang menerima penghargaan kali ini. 

“Bapakku hari ini yang hadir Pis,” jawabku sambil terus memainkan kedua kaki dengan sepasang sepatu warna hitam berpita merah yang di belikan oleh lek Mul karena aku juara dan kebetulan lek Mul memang bekerja di salah satu pabrik sepatu yang berada di jawa Timur.

Lihat selengkapnya