Pasuruan 2005
Semalam adalah malam yang sangat panjang dan malam yang isinya hanya kekacauan total. Semalam aku dan Nana terpaksa tidur di rumah sebelah akibat peperangan antara Ibu mbak Kartika dan bapak, hingga membuat warga yang berjadwal Ronda di poskamling malam itu ikut melerai. Aku pun membayangkan bila ibu dan mbak Kartika tahu siapa yang di ajak bapak ketika menghadiri acara di kecamatan 2 minggu lalu pasti kekacauannya lebih dari semalam.
“Rea, semalam itu kamu,” ucap Santi dengan menunjukku dengan jari telunjuknya, dari depan pintu kelas sedang aku berada di tempat dudukku.
“Begitukah caramu menyapaku sekarang?” ujarku yang masih mengantuk karena tak begitu nyenyak tidur semalam.
“Kedua matamu jadi mata panda Re sekarang,” sambungnya lagi ketika sudah berdiri di depan bangku ku dan mencoba meneliti raut muka ku.
“Semalam itu aku di kasih tau sama lek Anton kalau....,” ucapnya terhenti
“Iya semuanya iya, yang di ceritakan Lek Anton San,” jawabku yang sedang malas menanggapi.
“Ada apa sih memangnya lek Anton?” Tanya Napis dan Lia yang baru saja masuk ke dalam kelas dan langsung ikut berada di obrolanku dengan Santi.
“Eiihh, lanjutin lah ceritanya,” ucap Lia yang langsung menarik kursi dari bangku sebelah kanan ku.
“Tanya Rea saja yang lebih berhak bercerita selanjutnya,” ucap Santi yang kemudian duduk membelakangi kami bertiga.
“Memangnya ada masalah apa sih Re? Kamu di marahi mbak Kartika lagi?” Tanya Lia yang penasaran dengan apa yang terjadi.
“Iya Reana kenapa sih sekarang nggak mau cerita ke kita berempat lagi sih? Kalau ada apa-apa kan kita cuma pengen jadi sahabat yang membantu sahabatnya Re,” ucap Napis dengan helaan nafas panjang yang dapat ku artikan ia merasa tak ku anggap sahabatku.
“Sudahlah kalian berdua tuh jangan paksa Reana terus kasihan dia, berada di tengah-tengah kerumitan keluarganya,” sahut Santi yang seaakan paling mengertidengan keadaanku saat ini, yang lebih memilih berdiam dari pada mengeluarkan kalimat-kalimat yang nantinya akan meledak dan menyakiti orang lain, terutama sahabatku. Maafkan aku Santi, Lia dan Napis, sepertinya aku belum siap untuk berbagi cerita rumit tentang keluargaku ini kepada kalian.
***
“Assalamualaikum mbak kalau masuk rumah itu,” ucapku menasehati mbak Kartika yang terlihat terburu-buru, karena aku cukup terkejut dengan kedatangan mbak Kartika saat hendak mengambil beras untuk ku masak. Karena sedari pagi Nana belum makan apapun katanya, sedang tubuh mungilnya semakin kurus.
“Ibu kemana dek? Bu... ibu....,” teriaknya pada rumah kosong yang penghuninya adalah aku dan Nana sedari tadi. Andaikan saja aku tak buru-buru pulang jam kosong tadi, aku tak akan tahu bila di rumah ada Nana yang sedang tidur di karenakan tak ada makanan sama sekali, sedang ibu pun tak tahu entah kemana. Pagi tadi ketika aku berangkat sekolah ibu masih membuat sarapan untuk kami bertiga aku, bapak dan mbak Kartika karena Nana masih tidur di kamarnya dan ibu pun tak membangunkannya, ibu pagi itu hanya diam saja sedang kedua tangannya penuh dengan menyiapkan ini itu nya mbk Kartika dan menyiapkan sarapan di meja makan.
“Ada apa sih mbak, teriak-teriak manggil ibu. Ibu nggak ada di rumah in, nggak tau kemana ibu. Nana saja di tinggal sendirian belum makan apapun,” ucapku mendengus kesal dengan sikap emosionalnya mbak Kartika akhir-akhir ini terutama peperangan yang terjadi 3 minggu lalu dan cukup membuatku terngiang-ngiang ucapan kasar mbak Kartika yang di tujukan untuk bapak.
“Aku muak jadi anakmu, seharusnya aku bukan anak dari penyuka daun muda macam anda,” ucap mbak Kartika dengan lantang dan membanting sebuah piring yang berada di meja mmembuat gaduh seisi rumah hingga terdengar di poskamling depan gang. Ah sudahlah lupakan Reana hal itu sungguh kekacauan total hingga menjadi tontonan warga desa.
“Re, ibu berarti ini lagi ngelabrak wanita itu daun muda bapakmu,” ucap mbak Kartika lantas berlalu meninggalkanku sendiri berdiri termenung akan hal wanita daun muda nya bapak yang datang di acara penghargaanku di kecamatan 3 bulan lalu.