Aozora

Rokho W
Chapter #13

Dicky Maulana Aradhana


Pasuruan 2002

“Maulana, jangan lupa di tubuh kamu mengalir darah keluarga Aradhana. Dan Aradhana tak pernah kalah dalam lomba apapun bisa-bisanya kamu kalah permainan remeh macam itu? Bukankah Papa kamu selalu bermain catur sepulang ia bekerja? Apakah harus kakek yang mengajarkanmu?” ceramah kakekku karena aku kalah dalam lomba catur yang di adakan di balai kecamatan dalam memperingati HUT Kemerdekaan, yang saat ini usiaku yang masih 12 tahun.

“Sudahlah Ayah, menang dan kalah itu semua wajar dalam permainan,” jawab Papaku yang sedari tadi duduk menonton aku yang sedang di ceramahi oleh Ayahnya. 

“Tapi tidak untuk keluarga Aradhana,” bantah kakek tegas atas argumen Papaku,

Abiseka Zaliandra Aradhana nama lengkap Papaku dan anak laki-laki satu-satunya di keluarga Aradhana, Papaku memiliki kakak perempuan yang tinggal di Jakarta bersama keluarga suaminya. Setelah kakek membantah argumen Papa, Papa pun menyuruhku untuk masuk ke dalam kamar dan tak melanjutkan mendengar ceramahan kakek yang sedang kesal akan diriku yang kalah dalam lomba catur. 

Aku pun segera beranjak dari tempat aku duduk menuju ke rumah yang aku dan papaku tinggali berdua yang berada di belakang rumah ini, yang biasa kami sebut paviliun. Sesampainya di kamar, ku buka laci yang berada di meja belajar ku pandangi lekat-lekat wajah yang selalu ku rindukan aroma dan pelukannya, ia adalah Mama ku Paramitha Febrika Siregar yang telah meninggal setahun lalu. Karena hatiku di landa duka kehilangan cahaya hidupku itu, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah dan Papa mengajakku pindah ke rumah kakek nenek di Pasuruan agar aku mau bersekolah lagi. Bagaikan anak yang tidak naik kelas, aku yang seharusnya sekarang kelas 6 SD harus mengulang lagi kelas 5 SD.  

Aku masih teringat aroma tubuh Mama ketika ku pamit yang akan berangkat cerdas cermat matematika dan saat itu kami masih hidup bertiga di kota Surabaya. Mama ku adalah dokter gigi di rumah sakit swasta, sedari kecil mama memiliki kelainan jantung yang membuatnya tak bisa bekerja seperti dokter-dokter yang lain hingga 24 jam.

“Tok tok tok....”

“Papa boleh masuk Dick?” suara dari luar pintu kamarku yang tak ku kunci

“Masuk saja,” jawabku singkat 

“Dick, lupakan perkataan kakek ya. Anggap saja ini pembelajaranmu untuk mengetahui strategi lawan mainmu, Nanti kalau ada lomba catur lagi jadi kamu sudah tahu kelemahan lawan main kamu. Seperti saat kamu mengikuti olimpiade Matematika, kamu dapat membaca kelemahan lawan main kamu,” ucap Papa sambil merangkul lenganku, ucapannya yang semakin membuatku kesal karena mengingatkanku akan Hal yang menjadi penyesalanku saat ini seharusnya aku tak berangkat kala itu jadi aku bisa lebih banyak waktu bersama Mama sebelum ia pergi.

“Nggak perlu hirauin Dicky Pa, Dicky baik-baik saja. Seperti saat Papa menjual rumah Surabaya beserta barang-barang kesayangan Mama. Aku bukan barang pungutan Papa yang harus menyenangkan Papa, silahkan Papa nikmati hidup yang Papa pilih ini,” aku pun berlalu meninggalkan Papa seorang diri di kamarku dan menuju garasi rumah untuk mengambil sepedaku.

Aku mengayuh sepeda dengan kencangnya hembusan angin, yang menciptakan langkah kayuhku memiliki bobot yang sangat berat. Tanpa ku sadari, kayuhan sepedaku ini membawaku ke sebuah desa yang tak ku kenali. Ku lihat jam pintar pemberian Mamaku yang selalu aku pakai bila pergi kemana pun,

“Ah, aku mengayuh lebih 5km dari rumah, di desa mana ini aku? Mungkin ada nama desanya di sekolah itu,” gumamku sembari mengayuhkan sepeda menuju papan nama sekolah di seberang jalan.

“Re, coba kita main bola volly itu yuk,” teriak Santi mengajak Reana yang sedang menulis-nulis di papan tulis hingga rok merahnya penuh dengan berbecak putih akibat kapur tulis yang ia gunakan.

 “Iya tunggu San,” ucapnya sembari menghapus tulisannya di papan tulis dan bergegas menuju tempat berdiri Santi.

“Wih... berat San bolanya, mantep ini kalau di buat bola tembak yang biasanya kita mainkan pas olahraga,” ucap Reana dengan wajah cerianya

“Hihi, dia nggak tahu apa bola volly memang berat kalau di buat bola tembak ya sakitlah lawanmu dek yang kena bola,” gumam Dicky yang berada tak jauh dari lapangan sekolah ini, SD Kenanga sekolah Reana beserta teman-temannya. 

“Eh... eh, kalian berdua mau di apakan itu bolanya bawa sini,” teriak pak guru olahraga kelas 6

“San, di marahi pak guru nih sudah ayo bolanya di bawa, kasihkan pak guru,” ucapnya yang sedang takut di marahi oleh pak guru. Setibanya mereka berdua membawa kedua bola itu ke tempat pak guru berdiri,

“Ini pak,” ucap Santi menyerahkan bola pada pak guru

“Lari Re....,” sambungnya menarik tangan kiri anak gadis berkepang yang bersamanya.

“Hahahahhaha, cukup menghibur dua adik kecil itu,” gumam Dicky yang sedari tadi mengamati tingkah Reana dan Santi. 

              ***

Pasuruan 2007

“Eh Re, sini,” panggil Sulis melambaikan tangannya padaku, sedang Tiwi masih membayar tiga botol minuman kami.

“Itu ada tiga kakak kelas yang lagi main gitar, coba minta tanda tangan ke sana yuk. Salah satu dari mereka pasti anggota OSIS,” ucap Sulis dengan penuh keyakinan.

“Tiwi masih bayar mbak kita tungguin dulu,” jawabku, akan tetapi Sulis sudah menarik tangan Reana untuk segera mengikutinya menghampiri kakak tingkat yang sedang bermain gitar itu,

“Sudah kudaki gunung tertinggi, Hanya untuk mencari di mana dirimu, Sudah kujelajahi isi bumi, Hanya untuk dapat hidup bersamamu,” nyanyian dari Reyhan yang memakai dasi di kepalanya, menyanyikan lagu dewa-19 Arjuna mencari cinta. 

Anak gadis yang berpipi chubby dari SD Kenanga itu sekolah SMP di sini juga sekarang ujar Dicky dalam hati.

“Eh, eh kalian diam dulu, ada apa dek mau tanya apa?” Tanyaku pada mereka berdua yang salah tingkah.

“Anu kak, kakak anggota OSIS bukan? Kami mau minta tanda tangannya kak buat tugas dari kakak panitia MOS,” ucap Reana dan sepertinya ia memberanikan dirinya untuk mengucapkan itu Karena ku lihat kedua jarinya gemetaran ketika memberikan bolpoinnya padaku. Ah, aku isengin saja sekalian,

“Kita bertiga akan memberikan tanda tangan bila kalian bisa menyanyikan lagu yang barusan di nyanyikan oleh kakak berdasi di kepala ini,” ucapku dan ku lihat kedua pipi chubby nya yang memerah 

“Kita berdua nih kak yang nyanyi,” jawab gadis berkuncir kuda menunjuk Reana dan menunjuk dirinya secara bergantian.

“Boleh, lagunya Dewa-19 Arjuna mencari cinta,” jawabku

“Re, kamu tahu lagunya Dewa-19?” Tanya gadis itu 

“Aku mana tahu band-band begituan mbak,” jawab Reana

“Eh, kalian ninggalin aku,” ucap Tiwi dengan menggerutu,  

“Ada apa sih ini?” lanjutnya, 

“Sini Wi,” Sulis menarik tangan kanan Tiwi,

“Kamu tahu lagunya Dewa-19 yang mencari cinta,” ulangnya lagi

“Sudah, sudah kalau nggak bisa kami bertiga pamit dulu ya,” ucapku melihat tingkahnya yang kebingungan,

“Bentar-bentar kayaknya aku tahu, Reff nya saja ya kak,” ucap gadis berpipi chubby itu

“Baiklah,” ucapku

“Akulah Arjunaaaa...., yang mencari cinta, wahai wanita..., cintailah aku, sudah kak tanda tangan,” ucapnya yang membuat perutku menjadi geli, tetapi aku menahannya agar tak meledak tertawaku.

“Nyanyi apalah itu, masih bagusan kamu ya Rey,” ujarku menyikut lengan Reyhan kawanku yang berdasi di kepala

Lihat selengkapnya