Gedung Auditorium Renvarinca, 2008
Masih belum waktu team paduan suaraku tampilkan, aku lebih baik mencari tempat tenang agar bisa teriakkan kegugupan ini gumamku. Ku menyusuri gedung yang hampir mirip dengan tatanan gedung kesenian di sekolahku, hingga aku menemukan satu ruangan yang terbuka dan juga sepi, sepertinya tempat penyimpanan bola dan alat-alat olahraga SMP Revanrica. Ah..., tempat ini sepertinya tak ada orang, mungkin ketika mereka mengambil alat untuk pertandingan mereka lupa menutupnya kembali. Tak apa kali ya aku pinjam ruangan ini sebentar untuk berteriak ucapku dalam hati. Setelah memasuki ruangannya sebelum aku berteriak, aku pun bergegas mencari jendela untuk menghirup udara kelegaan dari luar karena cukup pengap ruangan ini.
“Aaaaaaaaah!” suara teriakanku bebarengan dengan adanya suara teriakan yang sama di ruangan ini, lho ada orang toh di sini ucapku dalam hati.
“Eh, a... anu maaf, aku kira ruangan ini kosong, sekali lagi maaf ya aku pergi dulu permisi,” ucapku tergagap karena malu, macam orang gila saja kamu Reana teriak di tempat umum astaga gerutuku dalam hati lalu pergi menuju tempat kompetisi paduan suara tanpa tahu siapa gerangan yang berteriak bebarengan denganku.
“Siapa gadis itu, lucu juga,” ucap laki-laki yang berteriak bebarengan dengan Reana.
***
“Re, aman nggak detak jantung? aku dag dig dug melulu nih dari tadi,” ujar Santi
“Sudah sarapan kan tadi?” tanyaku khawatir dengan Santi yang berkeringat dingin, aku takut dia pingsan.
“Mana microphonenya di tempat aku berdiri pas banget dah, tukeran yuuk,” ucap Santi mengajakku bertukar tempat dengannya.
“Memangnya boleh San? Sudah sesuai dengan barisan suara yang akan di tampilkan nanti, takutnya malah sumbang kalau suaraku yang berdekatan dengan microphonenya hehe,” kataku tak percaya diri dengan suara yang akan ku tampilkan nanti,
Karena memang aku merasakan tenggorokanku yang sudah lelah, di buat latihan dua bulan penuh untuk lomba ini. Apalagi sebelum di hari acara lomba, kami berlatih dari pagi sampai selesai magrib latihan suaranya.
“Bismillah San,” sambungku sambil memegang tangan Santi yang berkeringat dingin.
Setelah 40 menit kemudian, tim paduan suara kami di panggil oleh MC untuk tampil naik ke panggung di gedung Auditorium yayasan Revanrica. Tim paduan suara kami pun mulai menyanyikan lagu pertama yang di pimpin oleh Levia sebagai ketua tim paduan suara kami.
“Melambai lambai Nyiur di pantai berbisik bisik Raja Kelana” – rayuan pulau kelapa.
Seusai kami menyanyikan lagu Mars Pasuruan sebagai lagu penutup penampilan tim paduan suara, kami pun berbaris untuk turun dari panggung. Entah bagaimana penilaian dari team juri akan penampilan kami.
“Sumpah dag dig dug jantungku,” ucap Santi sambil memelukku dan menggenggam tanganku, kurasakan telapak tangan yang dingin dan keringat dingin yang keluar di dahi nya.
“Kamu duduk dulu San, aku ambilkan minum dulu ya,” ucapku berlalu mengambil air minum yang di sediakan panitia di belakang panggung.
“Sudah jangan tegang, kita tinggal tunggu hasil kompetensinya bagaimana,” sambungku menghibur Santi,
“Iya lega rasanya sudah nyanyi begitu, tapi tadi terdengar bergetar nggak sih suaraku?” tanya nya dengan merasa bersalah,
“Aman kok San, kita paduan suara. Suaranya berkumpul jadi nggak kelihatanlah seharusnya kalau ada yang bergetar suaranya, aku juga sempat bergetar juga kayaknya hehe,” ucapku mencoba menghibur Santi kalau tidak hanya ia yang bergetar, ada aku juga yang sama dengannya.
“Levia, nanti hasilnya kapan sih di umumkan?” tanyaku pada Levia ketua paduan suara kami, yang ku lihat sedang duduk di belakang panggung menenggak minuman yang ia bawa dari rumah.
“Seminggu lagi sih dengarnya aku,” jawab Levia
“Kita sambut tim paduan suara sekolah SMP Senthosa Wijaya,” ucap MC setelah tim paduan suara kami turun panggung.
“Nah ini lawan tersusah kita, anak-anak SMP Senthosa Wijaya milik yayasan Wijaya Grup, anggota paduan suaranya rutin jadi paduan suara di gereja. Senthosa Wijaya ini selalu juara 1 paduan suara di ikuti Revanrica juara 2 dari tahun ke tahun, guru paduan suaranya saja, guru suaranya pak Buani guru paduan suara kita dulu ketika beliau SMP dengarnya begitu sih aku,” cerocos Levia menceritakannya pada kami.
“Wah, kita pasti kalah ya ini?” ujarku pesimis tak percaya diri dengan penampilan kami tadi,
“Ya nggak boleh pesimis juga Rea, sekalipun kita tak bawa pulang piala nomer 1 masih bisa bawa piala nomer 2 atau 3 kan Rea,” ucap Levia yang tetap optimis dengan penampilan paduan suara kami.
Sedang Santi hanya manggut-manggut saja menyimak pembicaraan kami,
“Levia, teman kamu ada yang namanya Reana nggak? Ada yang nungguin tuh di parkiran,” ucap kak Bryan, senior kami dan satu tim paduan suara dengan kami,
Hah?siapa gerangan yang menungguku? Dan ada keperluan apa sampai menghampiriku di tempat lomba begini, dalam hatiku bertanya-tanya siapakah yang ingin menemuiku ketika sedang lomba ini,
“Ada kak ini Reana,” ujar Santi sambil mengangkat tangan kiriku
“Siapa Re? Kakak yang biasanya itu ya? Sudah jadi pacar kamu ya Re, nggak cerita-cerita sama aku,” tanya Santi menggodaku dengan menyenggol sikut kanankku, what? gerutuku dalam hati.
“Hah? apa sih, sudah ayo kamu ikut juga. Kita lihat siapa yang menungguku di parkiran gedung ini,” ucapku pada Santi sambil menarik lengannya untuk berdiri menemaniku menemui seseorang yang sedang menungguku itu.
“Kami tinggal dulu ya Via,” pamitku pada Levia
“Yuhu,” jawab Levia
Akhirnya kami bertiga pun berjalan menuju parkiran tempat seseorang yang mencariku berada, kak Bryan berjalan di depan kami sedang aku dan Santi mengekor di belakangnya. Setibanya kami di parkiran mobil yang berada di bawah gedung ini, kulihat samar seperti wajah kak Dicky.
“Kak Dicky?” pekikku tertahan di tenggorokkanku.
“Iya kamu ceweknya Dicky ya dek?” kata kak Bryan tiba-tiba karena mendengar aku mengucapkan kata kak Dicky sembari terus melangkahkan kaki menghampiri kak Dicky, jarak kami dan kak Dicky berdiri sekitar 100 meter lagi.
“Enggak kak,” jawabku secepat kilat, sebelum kak Dicky mendengar pertanyaan yang di ajukan kak Bryan padaku sambil terus kami berjalan menghampiri kak Dicky yang sedang berdiri di dekat mobil.
“Ah masak sih, kapan hari kamu mau pulang telat main ke kafe bareng kak Dicky,” ledek Santi menggodaku sambil menyenggol lenganku
“Eh catet ya kita rombongan, itu pun ada sembilan orang bukan berdua,” jelasku tak terima dengan tuduhan Santi,
“Oh, jadi kamu kemarin mengharapkan berdua ya Re, maaf lho aku nggak tau,” goda Santi padaku, ku mohon jangan goda aku lagi San, nanti terdengar olehnya aku bisa malu 7 keturunan gerutu ku dalam hati.
“Dicky ini anak cerdas lho dek, sering di kirim buat lomba cerdas cermat dan olimpiade mewakili sekolah kita, Papanya ini anggota DPRD kayaknya tadi ada di kursi penonton deh. Dan minggu besok ini dia berangkat lomba debat bahasa inggris ke Surabaya,” papar kak Bryan mengulas kak Dicky.
Tak terasa kaki ini melangkah dan sampailah kami bertiga di depan mobil Nissan Xtrail warna hitam, yang di depannya ada kak Dicky yang katanya sedang menungguku saat ini.
“Woi Dick, nih cewek lo,” ucap kak Bryan dan mereka meakukan high five, kak Dicky pun menarik tangan kiri kak Bryan membisikkan sesuatu. Kak Bryan satu angkatan dengan kak Dicky siswa kelas 9 tetapi kelas mereka berbeda karena kak Dicky masuk kelas unggulan.
“Do’ain ya,” bisik kak Dicky
“Kaum laki-laki di larang berbisik-bisik ya di depan perempuan, kesannya tak sopan tak menghargai kami berdua berdiri di sini,” ucap Santi tak terima dengan tingkah laku kak Dicky dan kak Bryan.
“Heh, kita nggak berbisik kok ya Bry, kita sedang berpelukan,” jawab kak Dicky terbata-bata sambil matanya berkedip ke arah kak Bryan.
“Iya karena sudah lama tak bertemu kami,” sambung kak Bryan penuh dengan pembelaan diri.
“Ada apa kak mencari Rea?” tanyaku singkat membuka awal percakapan aku dengan kak Dicky yang terkesan acuh dan aku sadar itu, karena aku sudah cukup malu dengan kalimat godaan sedari tadi sebelum melangkahkan kaki ke sini.
“Boleh mengobrol berdua saja nggak Re?” ucap kak Dicky sambil mengarahkan pandangan ke kak Bryan untuk membawa Santi untuk meninggalkan kami berdua.
“Oh sangat boleh sob, yuk dek kita balik ke dalam duluan biar mereka bisa leluasa bicaranya,” ajak kak Bryan pada Santi.
“Eh enggak, Santi tungguin aku disini sama kak Bryan, kita ngobrolnya di dekat portal situ aja,” paparku sambil memegang tangan kanan Santi dan tanpa kusadari aku mengucapkan kata kita antara aku dan kak Dicky, aku mengutuki mulutku yang mengucapkan hal itu.
“Enggak maksudku Rea ngobrol sama kak Dicky di dekat portal situ saja, Santi dan kak Bryan tunggu sini,” ralatku cepat-cepat karena takut di asumsikan yang tidak-tidak oleh kak Dicky, kami pun melangkah pergi meninggalkan Santi dan kak Bryan di parkiran menuju bangku yang berada di dekat portal keluarnya kendaraan, yang jaraknya juga lumayan dekat dari tempat kami berdiri tadi.
“Jangan lama-lama ya Re kalau begitu,” ucap Santi, aku pun menyatukan jari telunjuk dan jempolku membentuk huruf O tanda ‘ok’.
Sesampainya, aku pun menempatkan diri ku di tempat yang teduh agar tak tersengat teriknya matahari siang ini.