Pasuruan 2010
Kuterima suratmu, telah kubaca, dan aku mengerti
Betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku
di dalam hari-harimu, bersama lagi Dewa-19
Ku mendengarkan request musikku di putar di chanel radio kesayanganku panorama yang kebetulan malam ini temanya tentang mengungkapkan kerinduan. Hmm..., aku mengakuinya bila saat ini aku merindukan kehadiran kak Dicky yang dulu selalu menyemangatiku, bahkan membantuku meluruskan masalahku tentang ibu yang datang ke sekolah dan melaporkanku ke guru BK bahwa aku pencuri sepeda. Dan kejadian itu pun sudah 2 tahun yang lalu, tak terasa waktu berlalu sungguh cepat sekarang aku sudah menjadi siswi paling senior di Mentari Indonesia School bahkan sebentar lagi aku akan melaksanakan Ujian Nasional (UN). Ku bayangkan lagi suara kak Dicky yang meneleponku seminggu yang lalu yang selalu membuatku tak berhenti tersenyum di keseharianku akan kabar darinya itu,
“Dek, insya Allah aku libur semester ini akan pulang ke Pasuruan menengok Papa dan juga kamu,” ucap kak Dicky di telepon, bahkan tadi pagi sebelum aku berangkat ke sekolah untuk Ujian Nasional ia mengSMS ku,
“Pagi ini aku bangun dengan senyuman di wajah karena memikirkanmu. Aku tak sabar untuk bertemu denganmu. Semangat mengerjakan Ujian Nasionalnya Reana.”
Besok pagi adalah hari terakhirku mengikuti Ujian Nasional, dan kebetulan besok jadwalnya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Fisika adalah salah satu mata pelajaran yang paling tidak aku sukai menjadi teman Biologi dan Kimia yang sangat aku cintai ini, mungkin seperti inilah rasa yang di miliki oleh kedua sahabatku Tiwi dan Sulis rasa akan aku yang masih saja mau berteman dengan Nova.
“Rea... Reana,” teriak ibu memanggilku, ah ibu menggangguku saja, bukankah peraturan di rumah ini bila ada yang belajar tak boleh di ganggu ya? Buktinya tertulis di pintu kamar mbak Kartika bila ia sedang belajar selalu ada selembar kertas bertuliskan, "Sedang Belajar di larang Mengganggu”. Dengan malas ku turuni anak tangga menghampiri ibu yang sedang berada di dapur,
“Iya bu, Reana sedang belajar bu,” ucapku sembari menuruni anak tangga satu persatu
“Anak malas sepertimu belajar opolah,” ucap ibu yang selalu merendahkanku,