Aozora

Rokho W
Chapter #16

Kelulusan


“Kamu rencana pengen SMA apa SMK Re? kalau aku jelas sih Re pasti sama ayahku di suruh masuk SMA 2 yang ada basketnya buat ngelanjutin permainan basketku nanti,” tanya Tiwi padaku yang sedang bingung dengan nilai UN ku yang terlalu kecil untuk masuk SMA 2 incaranku ketika menjadi anak SMP ini. 

Tuhan apakah masih masuk ya aku ke sekolah yang aku inginkan selama ini? Aku bertanya-tanya dalam hati.

“Kalau aku jadi ibu rumah tangga dan menjaga anak-anakku saja lah, capek sekolah belajar melulu,” ucap Sulis, mengalihkan pikiranku yang sedang memikirkan takdir akan membawaku kemana nanti.  

Kami bertiga saat ini berada di depan gedung kesenian setelah menerima amplop kelulusan beserta undangan kelulusan, duduk-duduk santai sambil mengobrolkan kelanjutan sekolah kami dimana. Akhirnya selesai sudah ujian praktek dan ujian Nasional yang telah kami laksanakan yang kami takuti selama menjadi siswa kelas 9 ini, kami di nyatakan sebagai alumni dari SMP Mentari Indonesia karena kami dinyatakan sebagai siswa yang lulus dari sekolah ini. Kami bertiga bukan siswa rok biru lagi, tapi kami adalah siswa rok abu-abu sebentar lagi.

“Aku bingung mau sekolah dimana, apalagi dengan nilai ku yang sekecil ini,” curhatku, aku pun mengutarakan hal yang memenuhi isi pikiranku saat ini, belum lagi undangan kelulusan ini akan aku berikan pada siapa? Ibu sudah tak lagi tinggal bersamaku di rumah. Ibu meninggalkanku dan Nana dengan bapak di kota ini, ibu pergi dengan mbak Kartika yang aku prediksi ke Solo rumah eyang putri. 

“Eh kamu jangan berkecil hati begitu Re, kamu lulus dari SMP Re, noh lihat teman kita Irwan nggak lulus dia harus ambil paket B supaya bisa ke jenjang sekolah berikutnya,” ujar Tiwi, sambil merangkulku mencoba menghibur diriku yang sedang bersedih dengan kemampuanku saat ini.

Iya Irwan teman sekelas kami, dan ia dinyatakan tidak lulus di sebabkan nilai Ujian Nasionalnya tak sesuai standart yang di tentukan oleh pemerintah mengakibatkan dia harus mengikuti sekolah kesetaraan selama setahun lagi untuk mendapatkan ijazah SMP sebagai persyaratan masuk ke jenjang berikutnya yaitu SMA.

“Iya Re, kamu kan pinter coba saja masuk sekolah yang ngadain tes ujian begitu. Jadikan nggak harus berpatokan dengan nilai ujian, atau kamu mau susulin kak Dicky Re?” cerocos Sulis sekaligus menggodaku tentang kak Dicky, iya ketika melaksanakan ujian nasional yang terakhir aku terpikirkan akan tragedi yang menimpa mbak Kartika yang party dengan teman-temannya hingga menjadikan mbak Kartika hamil di luar nikah. 

Aku dan kak Dicky selama 2 tahun ini selalu menjaga komunikasi lewat E-mail maupun lewat telepon yang telah ku berikan saat itu, bahkan liburan semester ini setelah ia melaksanakan wisuda kelulusan SMA nya ia akan menemuiku dia akan berlibur ke Pasuruan. Kak Dicky mengambil kelas akselarasi di Jakarta yang membuatnya bersekolah SMA hanya 2 tahun saja. Kebiasaan Kak Dicky selalu mengirimkan e-mail kepadaku setiap hari sabtu atau nggak minggu, yang isinya menceritakan kesehariannya bersama teman-teman pintarnya beserta foto-foto kegiatannya bersama teman-teman dan orang-orang yang ia ketemui ketika berada di jalanan Jakarta. Kak Dicky sudah menemukan hobi barunya yaitu memotret sejak menemukan kamera manual peninggalan mamanya yang masih di simpan rapi di rumah oma dan opanya di Jakarta. 

Kak Dicky adalah anak tunggal dari bapak anggota DPRD dikota ku. Mamanya meninggal dunia ketika kak Dicky kelas 5 SD yang saat itu ia berusia 11 tahun. Karena hal itu kak Dicky pernah cerita padaku kalau dia kesepian setiap pulang ke rumah ketika tinggal bersama papanya disini di tambah kakek yang super bawel yang selalu mengkritik tingkahnya, itulah kenapa dia sekarang pindah ke Jakarta tinggal bersama oma dan opa nya dari mamanya. 

Dan di setujui oleh papanya, karena papanya ingin kak Dicky nanti bisa melanjutkan kuliah ke luar negeri University of Sydney seperti papa dan mamanya yang alumni almamater di sana. Sedang kak Dicky memiliki impian untuk menjadi seorang dokter di Indonesia seperti opa nya, itulah kenapa kak Dicky slalu menghindari papanya saat ini.

“Ngaco saja kamu, kak Dicky kan sekolah di Ibukota Jakarta saingannya makin banyaklah yang pinter-pinter,“ jelasku pada Sulis sembari menyenggol lengan kirinya

Aku pun menghela nafas dengan kondisiku saat ini yang mendapatkan nilai NEM kecil, aku takut mimpiku yang tak dapatku raih melihat amplop yang berisikan kertas bertuliskan nilai ku dan juga keterangan lulus Ujian Nasional ku hari ini.

“Oh iya hehe maaf, ya sudah coba saja dulu Re, siapa tahu masih rejeki Re,” ucapnya sambil menunjukkan gigi putih yang berbaris rapi miliknya. 

Aku tak tau hubungan apa yang ku miliki dengan kak Dicky, ketika aku kenaikan kelas 8 dulu setelah dia memenangkan lomba debat bahasa Inggris, kala itu kak Dicky membawa piala bertingkat dua dengan piagam bertuliskan juara 2 ke sekolah. Dan setelah itu ia menemuiku ke kelasku 7C, 

“Aku akan menunggu kamu Rea, aku yakin pasti kamu yang akan menjadi pasangan hebatku di masa depan nanti. Jadi aku ikutin mau kamu, kita sekarang berteman saja semoga hal ini dapat membuat kita mengenali diri masing-masing” ucap kak Dicky terengah-engah karena dia berlari menghampiriku dari kantor guru ke kelasku kala itu, Astaga masih sejauh apa lah itu kak Dicky, ngadi-ngadi saja, ucapku dalam hati. 

Aku pun hanya terdiam seribu bahasa membiarkan kak Dicky mengoceh mengutarakan semua curahan hati yang ingin dia sampaikan padaku saat itu, sedang aku menyimaknya mengatupkan bibirku untuk berdiam tak bersuara sambil terus memainkan lengan kemeja pramukaku ku sebut sebagai perpisahan yang manis. Setelah kak Dicky berjanji akan menungguku itu dia pun berlari menuju kelasnya kupandangi punggungnya yang basah oleh keringat itu.

 Dan aku bertanya di dalam hatiku, apa iya aku mulai suka sama laki-laki itu ya? Dia berbeda dia sabar menghadapi keangkuhanku ah tapi ini masih beberapa bulan, ah sudahlah hanya waktu yang bisa menjawab semuanya. Bayangan peristiwa setahun lalu itu pun terbesit di benakku sejenak, ketika aku sedang mengobrol dengan kedua sahabatku ini. Bahkan bayangan ibu yang pergi meninggalkanku dan Nana dengan selembar kertas yang bilang akan kembali satu tahun lagi.

“Woi kamu ngelamuni apa lagi Re? Nilai kamu itu?” tanya Sulis, sambil menggelitik sikut tangan kiriku. Aku sedang melamunkannya kak Dicky aku rindu. Aku ingin bercerita padanya akan semua yang sedang terjadi padaku saat ini.

“Sudah lah nggak usah dipikirkan lagi, aku saja nggak jelas mau masuk sekolah mana nilai ujianku lebih kecil lagi dari kamu Re. Aku malah berharap bunda dan ayahku mengijinkanku menikah saja, aku malas belajar lagi,” ungkap Sulis dengan tertawa bahagianya dan merangkul aku dan Tiwi.

Lihat selengkapnya