Pasuruan, 2005
“Woooo ...”
Suara teriakan pendukung salah satu team yang berhasil memasukkan bola ke dalam ring lawannya, membuat riuh gemuruh lapangan GOR (Gelanggang Olahraga) sore ini. Ku lihat seorang pemain yang begitu menunjukkan bila ia idola dalam pertandingan sore ini, ia adalah pemain berkaos nomor 8 yang begitu banyak gadis-gadis meneriaki namanya. Ku perhatikan cara bermainnya teknik dan strateginya dalam bermain sangat penuh perhitungan dan tepat, bahkan saat ia melakukan Operan bola ke belakang (Behind The Back Pass) cukup ahli untuk pemain seusianya yang ku taksir usianya masih 14 tahun sebab ito Deny orang yang mengajak kami, bercerita memperkenalkan satu-satu pemain yang sedang bertanding basket di lapangan GOR saat ini. Aku, mama dan papa menerima ajakan ito Deny kakak laki-lakiku untuk melihat permainan basket SMP Revanrica, SMP tempat ito Deny menimba ilmu yang katanya cukup bagus dalam ekskul basketnya.
Aku cukup tertarik dengan permainan basket, bahkan ketika liburan sekolah berlangsung papa akan mengajakku bermain basket di lapangan komplek perumahan kami. Aku Tiwi Andira Saragih, aku adalah gadis batak yang kebetulan tumbuh besar di kota Pasuruan bahkan tempat tinggalku juga berada di salah satu kota Jawa Timur ini. Aku memiliki kakak laki-laki yang biasa ku panggil dengan sebutan ito, jarak kami terpaut 3 tahun. Saat ini ito sedang mempromosikan sekolahnya untuk referensiku yang sedang memilih sekolah lanjutan setelah lulus dari SD berdasarkan minatku akan permainan basket, apalagi karena hobiku itu membuatku menjadi seorang gadis yang memiliki tinggi di atas rata-rata gadis seusiaku.
“Ito, itu pemain yang melakukan operan bola ke belakang siapa namanya?” tanyaku pada ito Deny yang sedari tadi asyik bercerita sana sini pada mama dan papa.
“Yang mana kau lihatnya itu? Ito tak tahu yang kau maksudkan Wi,” jawab Ito
“Itu yang memakai kaos biru bernomor 8 ito,” ucapku lagi mendeskripsikan anak laki-laki yang mencuri perhatianku selama pertandingan basket ini.
“Oo ..., kalau seragamnya berwarna biru itu bukan dari sekolah ito Wi, itu sekolah lawan kami, nama sekolahnya Mentari Indonesia School. Anak yang benomor 8 itu idola di sekolah itu, dia lumayan jago dalam bermain basket tapi kalau menurut ito masih sempurna dengan permainan Nizam kapten basket SMP Revanrica. Itu sebabnya kalau bisa fokus saja sama bakat yang di miliki jangan terlalu serakah. Entah apa yang tak bisa ia lakukan anak nomor 8 itu, rumor yang pernah ito dengar, otaknya encer, basket pun lumayan, taekwondo juga, jadi bila ada perlombaan dimanapun pasti anak itu tampil. Bentar ito lupa kali namanya itu siapa, nanti ito tanyakan sama kawan ito ye,” papar ito menjelaskan padaku dan melanjutkan obrolannya dengan papa.
“Wow, dia idola sekolahnya. Cukup menarik,” gumamku lirih
***
Pasuruan, 2007
“Reana, sini,” panggil seorang gadis berkuncir dua yang sedang di pakaikan pita merah putih di depan lapangan yang akan menjadi acara penyambutan MOS untuk siswa-siswi baru Mentari Indonesia School.
Aku memilih sekolah lanjutanku adalah di Mentari Indonesia School bukan sekolah Revanrica tempat ito, akibat tertarik dengan ketajaman pandangannya, kecepatan ia berlari dan kelihaian dalam melakukan operan ke belakang yang sangat susah untuk ku kuasai. Anak berkaos nomor 8 di GOR saat pertandingan basket 4 bulan yang lalu itu namanya Dicky Maulana Aradhana idola Mentari Indonesia School.
“Tes 1 2 3 di coba, Nat, suaranya nggak masuk audio,” ucap kak Bella kawan ito ku yang bersekolah di Mentari Indonesia School, dia satu-satunya orang batak yang ku kenal di sekolah ini dan sepertinya di sini kebanyakan anak-anak dari suku jawa sekalipun di sini juga ada yang beragama sama dengan kami yaitu katolik.
“Itu suara kau saja Bella yang sumbang terdengarnya,” ledek kawan laki-laki kak Bella, yang ku yakini ia juga panitia MOS dan OSIS Mentari Indonesia School ini.
“Auh ...,” ucapku spontan sebab ada yang menyenggol tangan kananku
“Duh, maaf ya ini becandanya kelewatan, ada yang terlukakah?” tanyanya padaku, gadis manis berpipi tembab yang ku prediksi namanya Reana karena tadi kawannya berteriak memanggilnya seperti itu.
“Nggak, nggak,” jawabku sembari menggelengkan kepalaku,
“Oh iya, namaku Reana ini Sulis, kami mencari barisan kelas 7C dimana ya?” ucapnya sembari terus celingukan mungkin mencari tanda barisan kelas 7C.
“Aku juga mencari tanda barisan kelas 7C juga, aku Tiwi,” ucapku memperkenalkan diri dengan menjabat tangan mereka berdua.
“Salam kenal ya Tiwi,” ucap Reana memperlihatkan senyumannya yang manis
“Ya sudah ayo kita segera mencari tempat kelas kita berbaris nanti keburu di hukum lagi sama kakak panitia,” ajak Sulis menggandeng tangan Reana dan tanganku sedang kami berdua hanya tersenyum saling berpandangan.
***
“Eh Re, sini,” panggil Sulis melambaikan tangannya pada Reana, sedang aku masih membayar tiga botol minuman kami. Hari ini adalah hari ketiga MOS.
“Itu ada tiga kakak kelas yang lagi bermain gitar, coba minta tanda tangan ke sana yuk. Salah satu dari mereka pasti anggota OSIS,” ucap Sulis dengan penuh keyakinan.
“Tiwi masih bayar mbak, kita tungguin dulu,” jawab Reana yang ku dengar saat aku masih mengantri pemberian kembalian oleh penjaga koperasi siswa, akan tetapi Sulis sudah menarik tangan Reana untuk segera mengikutinya menghampiri kakak tingkat yang sedang bermain gitar itu sepertinya.
Ku kejar mereka berdua yang tak menungguku, dan ku lihat salah satu dari kakak itu adalah Kak Dicky aku pun mematung di tempatku berdiri saat ini tak dapat melangkahkan kakiku karena kegugupan ini membuat kakiku lemas.
“Sudah kudaki gunung tertinggi
Hanya untuk mencari di mana dirimu
Sudah kujelajahi isi bumi
Hanya untuk dapat hidup bersamau ..."
Nyanyian dari kakak yang memakai dasi di kepalanya, menyanyikan lagu dewa-19 Arjuna mencari cinta.
“Eh, eh kalian diam dulu, ada apa dek mau tanya apa?” tanya nya pada Sulis dan Reana yang salah tingkah karena respon dari kak Dicky melihat mereka, sedang aku mengamati mereka dari tempatku berdiri ini yang sekitar 1,5 meter dari jarak mereka berdiri.
“Anu kak, kakak anggota OSIS bukan? Kami mau minta tanda tangannya kak buat tugas dari kakak panitia MOS,” ucap Reana dan sepertinya ia memberanikan dirinya untuk mengucapkan itu ku amati kedua mata kak Dicky dari arah samping yang sepertinya hanya terfokus oleh Reana.
Ada apa ini dengan Reana? gumamku dalam hati dan akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri tempat Sulis dan Reana berada.
“Kita bertiga akan memberikan tanda tangan bila kalian bisa menyanyikan lagu yang barusan di nyanyikan oleh kakak berdasi di kepala ini,” ucap kak Dicky yang masih terlihat sama dengan yang ku lihat dari arah samping tadi, yaitu terfokus oleh Reana.
“Eh, kalian ninggalin aku,” ucapku dengan menggerutu, agar kak Dicky juga melihatku. Tapi ternyata hal itu tak membuatnya melihatku juga, ia terfokus dengan gerakan yang Reana buat.
“Ada apa sih ini?” tanyaku lagi mencoba mengalihkan apa yang ku lihat hari ini dan berpura-pura tak tahu akan arti tatapan dari kedua matanya itu.
“Sini Wi,” Sulis menarik tangan kananku untuk mendekatinya,
“Kamu tahu lagunya Dewa-19 yang mencari cinta,” ulangnya lagi berbisik padaku.
“Sudah, sudah kalau nggak bisa kami bertiga pamit dulu ya,” ucapku melihat tingkahnya yang kebingungan,
“Bentar-bentar kayaknya aku tahu, Reff nya saja ya kak,” ucap Reana kemudian
“Baiklah,” ucap kak Dicky
“Akulah Arjunaaaa...., yang mencari cinta, wahai wanita..., cintailah aku, sudah kak tanda tangan,” ucapnya yang membuat perutku menjadi geli, suara sumbang yang tanpa tahu irama musiknya seperti apa, seperti di sengaja oleh Reana mungkin ia kesal dengan sikap kak Dicky yang ku tengok sedang mencoba menggoda Reana.
“Nyanyi apalah itu, masih bagusan kamu ya Rey,” ujar kak Dicky menyikut lengan anak yang berdasi di kepalanya itu macam anak dungu saja kutengok tak rapi.
“Coba ulangi lagi,” pinta kak Dicky pada Reana, iyakan betul sekali dugaanku bahwa Reana lah target kak Dicky sesungguhnya bukan kami bertiga.
Dan akhirnya aku dan Sulis hanya dapat mengamati tingkah gerakan Reana yang sedan gugup dan juga aku merapikan buku yang seharusnya di tanda tangani oleh ketiga kakak ini, bayaran Reana sudah menyanyi untuk mereka.
“Bertiga kan kak?” tanya Reana, Reana kau sungguh polos kali kak Dicky hanya sedang menggodamu, apakah kak Dicky naksir sama Reana? isi kepalaku saat ini.
“Enggak, kamu saja kan kamu yang tahu lagunya katanya tadi? dengerin Rey bener nggak tuh lirik lagu,” ucap kak Dicky sembari melepas dasi yang berada di kepalanya.
Aku pun memberikan ketiga buku kami kepada kakak yang berada di kanan kak Dicky dan juga meminta bulpoint karena aku malas untuk mengeluarkan penaku dalam situasi saat ini. Aku bersekolah sini agar masuk basket dan di bimbing oleh kak Dicky, akan tetapi idola Mentari Indonesia School itu terfokus hanya pada Reana saja. Aish..., ingin ku sumpah serapah saat ini.
“Aku lah Arjuna ..., yang mencari cinta ..., wahai wanita ..., cintailah aku ...,” nyanyian dengan penuh energi dan penghayatan dari Reana menghentikanku untuk berpikir negatif akan Reana Khoirunnisa.
***
Tiga bulan kemudian,
“Hai, ada Reana nggak ya?” tanya Santi anak kelas unggulan teman Reana sedari SD padaku yan sedang menghapus tulisan di papan tulis karena hari ini jadwalku piket. Anak unggulan kelasnya sederet dengan kelas kak Dicky berada di dekat gerbang sekolah dan juga kantor guru.
“Apa San,” teriak Reana menyelaku yang akan menjawab pertanyaan yang di lontarkan Santi.
“Ayo kata pak Buani siswa-siswi paduan suara kumpul latihan di aula gedung kesenian,” ajak Santi pada Reana yang sedang asyik bercanda sedari tadi dengan Sulis sahabatku semenjak sekolah di sini, dan itu pun juga karena Reana mengenalkan kami berdua. Reana pun juga sahabatku, sekalipun aku menganggapnya setengah hati.
Bel istirahat pun berbunyi, aku pun langsung kembali ke tempat dudukku.
“Antar aku ke kamar mandi yuk Lis, banyak serbuk kapurnya nih,” ajakku pada Sulis yang merapikan buku-bukunya ke dalam tas, bahkan buku Reana yang belum sempat ia masukkan ke dalam ranselnya pun Sulis masukkan.
“Iya sebentar ya Wi,” jawab Sulis sambil terus memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tasnya.
“Ke kamar mandi dekat koperasi ya, ada yang ingin aku beli di koperasi, udah yuk,” ajaknya dan melingkarkan tangannya ke lenganku. Aku bertubuh jangkung dan berdandan semacam laki-laki karena memang aku tak bisa menjadi feminim manis seperti kawanku Sulis ini, bahkan aku pun tak akan bisa menandingi manisnya Reana sekalipun ia tak se centil Sulis. Sesampainya aku di kamar mandi di dekat koridor kelas unggulan.
“Tungguin ya Lis,”pintaku
“Iya,” jawabnya,
Ketika aku akan keluar dari bilik kamar mandi tak sengaja ku dengar obrolan beberapa kakak tingkat wanita yang tak ku ketahui kelasnya. Bukan bermaksud menguping tapi aku terdengar,
“Eh lu tahu nggak sih anak kelas 7 yang namanya Reana,” ucap salah satu wanita yang ku prediksi ada tiga wanita yang sedang mengobrol,
“Aku nggak tau sih tuh bocah yang mana,” jawab yang bersuara bass.
“Itu tuh anak ngambil simpatinya Dicky dengan muka polosnya itu,”ucap wanita yang sepertinya tak menyukai Reana
“Cuma aku menyayangkan saja idola kita ini, ku kira type nya kak Dicky itu seperti kak Sinta yang sama-sama otaknya encer, cantik, sama-sama suka di kirim ke berbagai olimpiade mewakili sekolah. Eh nggak taunya Reana bocah ingusan yang nggak ada apa-apanya," lanjutnya
“Eh, dia manis juga tahu,” ucap sahabatnya
“Memangnya sudah kau makan? Masih manis adik kawanku,” ujarnya
“Gadis Batak yang tergila-gila permainan basketnya kak Dicky itu?” sahutnya, hah? Akukah maksudnya? Siapakah ini bisa tau bila aku suka kak Dicky? Apakah Ito cerita pada kak Bella?
“Permisi kakak-kakak cantik,” yang ku yakini ini suara Sulis
“Nyari siapa dek?” tanya mereka mungkin mereka melihat badge di seragam Sulis,