Aozora

Rokho W
Chapter #18

Putih abu-abu

Pasuruan 2010

Putih abu-abu, kata orang masa putih abu-abu adalah masa terindah yang dimiliki manusia sebelum menjadi dewasa. Dan aku pun membayangkan keindahan itu, memiliki sahabat baru teman-teman yang baru jalan-jalan bareng, makan jajan bareng-bareng, kerja kelompok malam semua itu hanya bayanganku semata.

 Faktanya semua usaha adaptasiku untuk mendapatkan teman sama sekali tak membuahkan hasil di SMAN 5 ini. SMA yang sama sekali tak pernah masuk daftar list impianku, dan bermimpi untuk sekolah ini pun aku tak pernah. Hari-hari beratku di mulai dengan kehidupanku di sekolah ini selama 3 tahun, aku harus menahan hinaan, dan pemukulan yang senantiasa menghampiriku.

“Pak, Rea ingin sekolah di SMA 2 N di kota, kalau tidak ya sudah sekolah di luar kota saja,” ucapku meminta ijin pada bapak, karena melihat nilai NEM ku makin tergusur oleh anak-anak SMPN yang mendaftar di SMAN 2.

 Mengemukakan pendapatku ke bapak itu super sulit karena ketidak peduliannya akan tumbuh kembang anak-anaknya sedari dulu, apalagi sekarang ibu meninggalkan ku dan Nana untuk di asuh bapak. Tak berbeda dengan ibu, bapak pun juga hanya melihat nilai akademik kami saja, apakah mendapatkan rangking semester ini hanya itu ku rasa di pikiran mereka berdua, bagi mereka anak adalah pencetak rangking di kelas seperti mbak Kartika, dan akhirnya mbak Kartika menghancurkan harapan mereka dengan tingkah menyimpangnya.

 Pernah saat aku lomba paduan suara dan mendapatkan juara 3 tingkat kabupaten, akan tetapi ibuku hanya bilang,

 “Oh partisipan,” ucapnya padaku. 

Tapi tak apa semua itu dapat ku jalani karena kebersamaan sahabatku Sulis, Tiwi, Santi, Lia, Napis dan Zul. Seiring waktu aku dengan semua teman-temanku berpisah sebab impian kami masing-masing yang berbeda, Santi SMK di luar kota, Tiwi masuk SMAN 2 seperti yang ia impikan, Sulis masuk pondok pesantren dan bersekolah di MA pondok, akibat ia berkeinginan menikah jadi ayahnya memasukkannya ke dalam pondok pesantren agar tak menikah saja pikirannya, unik memang sahabatku satu itu.

Kak Dicky sudah pulang ke Jakarta untuk mempersiapkan perkuliahannya di University of Sydney. Ternyata selama ini ia sudah lulus menjadi anak putih abu-abu di SMAN Jakarta. Ketika di acara ulang tahunku yang di adakan di rumah Tiwi seminggu setelah acara kelulusan itu, kak Dicky menjemputku dengan mobilnya bahkan meminta izin pada bapak untuk acara perpisahan di sekolah. Sangat pandai berbohong ia sekarang, tak seperti kak Dicky yang ku kenal saat masih kelas 7 SMP dulu. Setelah masuk SMA aku resmi di perbolehkan menggunakan handphone sesuka ku oleh bapak.

Hari yang cerah ini adalah hari dimana aku akan berangkat studi tour setelah liburan semester 1, seluruh siswa siswi kelas 10 di wajibkan mengikuti studi tour selama 5 hari di salah satu pegunungan yang tak jauh dari kotaku. Bertepatan dengan tadi pagi ibu dan mbak Kartika pulang ke rumah setelah kurang lebih sekitar 7-8 bulan berada di Solo menyembunyikan mbak Kartika dari bapak sebab hamil. Saat ini aku sudah resmi menjadi siswi kelas 10F di SMAN 5 di kota ini, aku sudah menjadi siswi SMA sudah satu semester yang lalu, teman di kelas pun aku masih adaptasi dan hanya sebatas kenal nama mereka. 

Saat ini aku dan teman-teman kelasku berbaris mengantri di panggil untuk masuk ke dalam bus nomer berapa, di tengah-tengah mengantri telingaku mendengar nama yang tak asing di sebutkan oleh guru untuk masuk kedalam bus nomer 2 yaitu Nova Zalianty. 

Manusia yang tak mau ku temui lagi di kehidupanku selanjutnya, akan tetapi dia disini bersekolah disini dan aku baru tahu. Akhirnya aku pun sms Tiwi melaporkan bahwa aku mendengar namanya Nova di sebut oleh guruku di sekolah ini. Tiwi pun segera membalas smsku 

"Aku akan coba tanyakan teman basketku yang kelas E dulu ya.”

Selama perjalanan aku pun merasa gelisah menghadapi kenyataan yang terjadi saat ini, ternyata Nova satu sekolah lagi denganku di SMA ini dan aku pun juga satu bus dengan dia, iya satu bus study tour disini. Pikiranku pun memulai percakapannya, bagaimana mungkin sebanyaknya sekolah di kota ini aku masih satu sekolah dengan teman bermuka dua ini? Sudah jangan berpikiran negatif dulu Rea, pasti semuanya akan baik-baik saja, toh dia juga tak sekelas denganmu kan? tapi aku di sekolah ini sendirian teman-temanku tak ada yang bersekolah disini, ingat kamu ingin membuktikan kepada bapak ibumu kan kalau kamu itu juga anak yang pintar bukan hanya mbak Kartika saja yang pintar, terutama mbak Kartika sekarang sudah pulang dan akan mengikuti pendaftaran beasiswa masuk Universitas Indonesia.

“Huuufft ...” aku pun menghela nafas panjang sebagai penutup percakapan panjang dari isi pikiranku saat ini. 

“Eh Rea, kamu sekolah di SMA ini juga,” ucap Nova yang sedang duduk di depan barisan kursiku, apa maksudnya setelah sekian lama tak pernah bertegur sapa denganku. Aku pun hanya bisa tersenyum dengan sapaannya saat ini.

Oh ya, kami mendapatkan tempat duduk penumpang sesuai nomer absen kami.

"Siapa itu Nov?” ujar gadis di sebelahnya yang memiliki postur yang sama dengan Nova yaitu gendut.

“Oh ini temanku dari SD kenalin Reana, ini Indra sahabat aku,” ucap Nova memperkenalkannya padaku sambil mengayunkan tangan Indra untuk berjabat tangan padaku.

Aku pun tersenyum ragu-ragu, aku benar-benar tak percaya dengan yang terlihat di depan mataku ternyata manusia yang sangat ingin tak ku temui lagi malah satu sekolah denganku sekarang. Apakah sekolah ini akan menjadi mimpi burukku? Apakah bisa menjadi awal langkah meraih mimpiku? Ku pukul-pukul diriku sebab semua yang terjadi padaku hari ini seperti sedang bermimpi. 

Ku lihat Nova di barisan depanku, ia tertawa bahagia bersama dengan teman-teman kelasnya. Cepat ya adaptasinya Nova di SMA ini, dulu dia tak pernah bisa adaptasi malah nempeli aku dan malah aku yang di jelek-jelekin sama dia supaya dia ada temannya dengan menjelekkan ku itu ucapku dalam hati dan mengelus dadaku agar aku pun juga pasti bisa beradaptasi di SMA ini dan memiliki teman lagi.

            

***  

“Reeeeaaaa ...” teriak dari seberang sana memanggil namaku, ku lihat nama Tiwi di layar handphone ku akan tetapi suara yang terdengar berbeda.

“Tiwi, ini Tiwi Andira Saragih bukan sih?” ujarku dengan nada tak percaya dia bisa berteriak seperti ini.

“Iya Re, Tiwi ini, Sulis kebiasaan main ambil saja handphone orang,” jawab suara yang tenang seperti yang familiar ku dengar berada di balik handphone ku, 

 Saat ini aku sedang teleponan dengan sahabatku Tiwi. Sesaat setelah aku tiba di vila tempatku menginap di tempat study tour bersama teman-teman kelasku.

“Sudah lah ada berita penting Rea, ternyata Nova Zalianty sekolah di SMAN 5 yang artinya satu sekolah dengan kamu Reana,” suara yang penuh semangat untuk memberitahukan ku itu dan telingaku pun mulai sedikit memanas, ini pasti si Sulis ucapku dalam hati.

“Iya aku sudah tau, tadi malah aku satu bus dengan dia dan teman-temannya,“ jawabku dengan sedikit menggerutu, dan menggigit bibir bawahku, bisakah aku berhadapan lagi dengan Nova setelah sekian lama aku menghindarinya? Tanyaku dalam hati.

“Hah? Kok bisa dari sekian banyaknya bus? terus gimana-gimana Re? kamu nggak di apa-apain kan?” tanya suara sebrang sana yang ku yakini itu suara Sulis, sebab seperti biasa dia lah manusia yang tak bisa menutupi kecemasannya pada seseorang.

“Oh iya Sulis, kamu kok bisa lagi sama Tiwi bukannya kamu harus masuk Pondok setelah libur semester ya?” tanyaku penuh selidik, bisa-bisanya ia bersama Tiwi hari ini tak segera kembali ke Pondoknya. Jadwal ia kan lebih padat dari pada kami yang bersekolah di sekolah umum, yang tak ada jadwal pembelajaran agama lengkap seperti di Pondoknya. 

“Iya tapi aku malas mau kembali ke Pondok, makanya aku menginap di rumah Tiwi beberapa hari ini, nantilah kalau sudah tak malas lagi ku kumpulkan dulu keberanianku,” jawabnya menjelaskan alasannya tak segera kembali ke Asrama Pondoknya, memangnya tak di hukum apa ia telat kembali ke pondok? Tanyaku dalam hati. Ah, sudahlah Sulis lebih tau yang terbaik buat dia apa saat ini, gumamku dalam hati.

“Eh Re, kamu belum jawab pertanyaanku kamu nggak kenapa-napa kan Re disana? Apa aku perlu bilang ke ayah untuk sekolah di tempat kamu saja?” imbuhnya lagi, dasar bocah cemasan gumamku dalam hati ada rasa bahagia bila akhirnya Sulis juga sekolah di tempat yang sama. Karena jujur aku merasa sangat sulit untuk beradaptasi dengan manusia di sini. 

“Apaan sih, nggak perlu lah itu. Aku nggak kenapa-napa kok bu nyai, bu nyai belajar agama saja yang rajin,” jawabku setengah terkekeh dengar pertanyaan Sulis yang khawatir itu, aku bersyukur tuhan mengijinkanku kenal dan memiliki sahabat seperti kalian Sulis dan Tiwi gumamku dalam hati yang terdalam...

“Eh Re, kau ini lagi dimana? Sudah sampai vila study tour kau kan?” suara yang mengajukan pertanyaan padaku saat ini ku yakini suara Tiwi Andira Saragih gadis batak sahabatku.

“Sudah satu setengah jam yang lalu sih, ini aku lagi antri buat mandi,” jawabku lemas sebab lelah sudah menyusup ke mataku yang mulai berair karena menguap.

“Memangnya kamar mandinya ada berapa Re?“ tanyanya lagi

“Eh sudah dulu ya aku mau mandi, belum sholat lagi aku nanti sambung lagi ya Sulis bye,” ucapku dan mengakhiri teleponku hari ini.

“Ooh ...” ucap Sulis

Aku pun segera memasuki kamar mandi yang kosong agar aku tak ketinggalan sholat lagi, sebab waktu Ashar pun aku sudah tertinggal akibat sampai di vila sudah mau adzan magrib. 

“Kenapa Lis sudah di matikan sama Reana? sudah kamu ingetin belum jangan dekat-dekat sama Nova pokoknya kalau lihat dia menghindar saja,” ujar Tiwi sambil berdiri dari kursi di kamarnya dan berjalan menghampiri Sulis yang masih memegang handphone Tiwi,

“Eh si Rea nggak kenapa-napa kan?” tanya Sulis pada Tiwi, Tiwi pun hanya menaikkan kedua bahunya tanda ia tak tahu. 

“Soalnya suaranya terdengar semacam ..., entahlah,” kata Sulis merasakan khawatir kepada sahabatnya itu.

“Memangnya Rea kenapa Lis? Jangan berandai-andai yang tidak-tidak deh, nanti malah jadi do’a buat Reana, Reana kan anaknya pandai beradaptasi Lis, pasti dia akan punya di kelilingi teman-teman seperti kita,” ucap Tiwi berpikiran positif sambil mengambil handphonenya yang sedari tadi di pegang Sulis.

“Aku yakin ada yang salah dengan nada bicara yang ketika kita bahas Nova tadi, kamu tau sendiri bagaimana menempelnya Nova itu ke Reana kan Wi?” tanya Sulis penuh curiga akan yang terjadi pada Reana, bisa-bisanya dari sekian banyaknya sekolah SMAdi kota ini ia harus satu sekolah dengan Nova teman bermuka dua itu.

“Iya lalu?” jawab Tiwi dengan singkat

“Janganlah kamu memiliki pikiran yang jelek tentang sahabat kita Lis, kasihan Reana apa yang kau khawatirkan itu takutnya malah menjadi boomerang buat Reana,” papar Tiwi yang takut akan isi pikiran buruk dari Sulis.

“Iya juga ya Astaghfirullah al adzim, amit-amit jauh-jauh pikiran jelek ini ya huuusss,” ucap Sulis sembari menepuk-nepuk bantal yang sedari tadi berada di pangkuannya.

Lihat selengkapnya