Pasuruan, 2012.
“Eh ayo kita kerjain si jalang itu,” ajak Fita kepada kedua temannya Indra dan Sheryl saat berada di kamar mandi wanita, Indra pun mengambil gagang sapu untuk mengunci handle pintu kamar mandi agar tak dapat kubuka dari dalam.
Saat ini aku berada di dalam kamar mandi sedang berganti seragam olahraga sebab jadwal pelajaran di kelasku hari ini adalah kelas olahraga setelah istirahat pertama. Guru olahraga kami terkenal sebagai guru yang disiplin akan waktu, beliau sama sekali tak mentolerir siswa yang telat masuk akan jam pelajarannya. Lho kok terkunci ini ya pintunya aku pun bergumam merasa kebingungan sendiri,
“Apakah ada orang di luar? tolong ada orang disini bukain pintunya dong, tolong bukakan pintunya, ku mohon tolong,” teriakku sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi,
Tak ada sahutan satu pun, padahal seingatku tadi anak perempuan di kelasku berganti pakaian juga di kamar mandi ini. Setelah 1 setengah jam aku menunggu untuk di bukakan pintu ini, akhirnya ada seseorang yang mau membukakan pintu ini untukku.
“Reana, kok bisa terkunci disini?” tanya mbak Yayuk teman sekelasku saat aku masih dikelas sepuluh.
“Ada yang jahilin kamu Re?” tanyanya lagi sembari menepuk kedua pundakkku, menyadarkan akan diriku yang sudah bisa keluar dari kamar mandi ini.
Aku hanya diam terpaku melihat jarum jam di arlojiku pemberian kak Dicky ketika ke Matos setahun lalu, dan saat ini menunjukkan pukul 11.30 tandanya sudah istirahat kedua. Dengan sedih aku menatap mata mbak Yayuk yang sudah membukakan pintu kamar mandi untukku.
“Terima kasih mbak sudah di bukain pintunya, aku dari istirahat jam pertama mbak terkunci disini,” ungkapku takut
“Jamnya pak Amul? waduh bapak itu terkenal disiplin Re, atau nggak kamu coba lapor sama guru BK kalau kamu di terkunci di kamar mandi,” cetusnya, ayo aku antarkan Reana. Di gandengnya tanganku oleh mbak Yayuk
“Perlu ke UKS nggak Re?” tanyanya mencemaskan keadaanku yang mulai memucat, mungkin kedinginan akibat terkurung di kamar mandi.
“It’s okay mbak, nggak apa-apa aku,” jawabku singkat sambil mengelus pelan tangan kanan mbak Yayuk yang menggandengku, aku memikirkan bagaimanakah hidupku selanjutnya di SMA ini? Apakah aku akan mati konyol di kejar-kejar kawanan pembully itu? Sedang aku mengadukan hal ini pada orang dewasa pun tak ada yang mempercayaiku, apalagi aku menceritakan hal ini pada ibuku. Ibu pasti tak peduli akan semua yang terjadi padaku seperti biasanya yang ada di pikirannya Kartika, Kartika dan Kartika. Sudahlah di coba saja buat laporan lagi, hari ini kan aku membawa saksi mata bila aku terkunci di kamar mandi. Apa ya mungkin bu guru mau mengelak dan beranggapan aku sedang halusinasi lagi? Pikiranku pun bertanya-tanya. Kami pun berjalan menuju ruangan Bimbingan Konseling (BK) yang berada di lorong depan dekat ruang guru.
“Assalamualaikum bu Selli saya mau mengadukan kejadian yang saya alami, saya hari ini di kunci di kamar mandi sama teman kelas saya bu jadi saya tak bisa mengikuti jam pelajarannya pak Amul,” jelasku memelas memohon memelas agar mendapatkan tindakan dari guru BK ku.
Aku beradu argumen dengan pikiranku apakah aku akan di anggap halusinasi lagi ya? Apakah bu Selli akan menegur atau memberi peringatan kepada kawanan pembully yang sedang ku adukan ini? bagaimanakah kalau tak ada yang ke kamar mandi dan aku akan terkunci sampai besok? handphoneku ketinggalan di tas lagi. Aku pun bertanya-tanya apakah akan ada yang mencariku bila aku belum pulang ke rumah nantinya? Astaga ada apa dengan pikiranku sudah lah jangan memikirkan hal yang buruk, pasti Allah akan menjaga hambanya.
“Kamu pakai kamar mandi yang mana mbak? Soalnya bang Jay tukang kebun sekolah, bilang pintu kamar mandi memang ada yang rusak, masih nanti sore tukang yang mau datang membenarkan,” tanggapan Bu Selli akan aduanku yang dengan tangan penuh keringat dingin melaporkannya bahkan aku sudah menahan air mataku sedari tadi, aku yakin aku kuat aku nggak salah apa-apa kok dikunciin, ku sugestikan pikiranku seperti itu agar air mataku tak menetes ketika membuat pengaduan pada guru BK di sekolah ini.
“Dan kamu,” ucap bu Selli menunjuk mbak Yayuk dengan jari telunjuknya
“Kamu memang melihat siapa yang menguncinya di kamar mandi? Jangan kebanyakan nonton sinetron kalian ini ya,” sambungnya lagi memarahi kami,
Hah? Kok begitu ya tanggapan guru di sini? Apakah aku sedang salah menafsirkannya? Atau memang pintu kamar mandinya rusak? Pikiranku di penuhi dengan banyaknya argumen mungkin dan bisa jadi di kepalaku.
Dan akhirnya pun mulutku pun mengikuti alurnya dan berucap,
“Ooh maaf bu, iya saya yang salah mungkin,” ucapku kepada bu Selli, aku isi pikiranku kalau aku yang salah, agar semakin tidak marah beliau ku ganggu dengan kegaduhan yang menimpaku hari ini. Sekolah yang katanya rumah kedua bagi siswa-siswinya menjadi neraka untuk kehidupanku.
“Sudah ayo mbak Yayuk,” ajakku pada mbak Yayuk untuk keluar dari ruangan ini, setelah keluar dan melangkahkan kaki menyusuri koridor sekolah,
“Terimakasih ya mbak, sudah bukain pintu Rea tadi,” ucapku pada mbak Yayuk dengan sepenuh hati, aku membayangkan bisa aku masih terkunci di kamar mandi nasibku akan bagaimana lagi? apakah aku akan jadi bangkai? Aku pun begidik ngeri membayangkannya.
“Iya Re, tapi kamu yakin memang kamu kekunci sendiri? kalau aku kok nggak yakin ya soalnya pas aku bukain pintu tadi, di handle pintu ada kayu macam gagang sapu buat ngunci,” jelas mbak Yayuk padaku sambil terus berjalan di kooridor depan ruang guru. Ku lihat guru-guru yang bersenda gurau karena memang sedang istirahat kedua, membuatku berpikir akan kejadian yang menimpaku berturut-turut ini dengan di kejar dan menjadi anak buangan di kelas sebelas. Membuatku memiliki mimpi untuk menjadi seorang guru yang bukan hanya mengajar saja di kelas, tetapi memberikan pengajaran terhadap perilaku menyimpang yang di lakukan oleh remaja. Stop menormalisasi dan mewajarkan becandaan yang di balut dengan tindak kejahatan seperti yang sudah di lakukan oleh teman sekelasku ini.
“Sudah mbak, lupakan hehe,” ujarku dengan nada kecewa akan hidupku.
“Ya sudah Re, hati-hati ya kamu Re ada yang musuhi kamu berarti. Aku balik ke kelas dulu ya da da ...,” pamitnya ketika tiba di depan kelas sosial 4.
Setelah kejadian penguncian pintu kamar mandi itu aku di sekolah selalu waspada pada teman sekelasku, dan selalu berhati-hati bahkan di saat jam kosong di kelas, aku akan bersembunyi ke musholla untuk mengaji maupun ke perpustakaan hanya sekedar menuangkan kalimat yang berada di kepalaku menjadikannya sebuah puisi.
Hingga suatu ketika aku berada di mushollah sekolah setelah aku melaksanakan sholat sunnah Dhuha ada anak laki-laki yang mengajakku untuk menjabat tangannya,
“Hai Reana, kenalin aku Nizam aku kelas dua belas IPA 4 dan aku kapten basket di sekolah ini, aku juga yang menggendongmu ke UKS ketika di papan pengumuman pembagian kelas kamu sakit,” ungkapnya memperkenalkan diri padaku, dan akhirnya aku bertemu dengan laki-laki yang sudah membuatku malu 7 bulan lalu, yang ku kira ia adalah Robi teman kelas Santi. Aku pun ragu-ragu menjabat tangannya, ku lihat seragam basket seperti ia paai ketika menggendongku saat itu.
“Oh iya kak, ada urusan apa ya sama Rea?” tanyaku, itulah yang dapat kelur dari mulutku sedang begitu banyaknya pertanyaan selama ini ku pendam untuk laki-laki yang menggendongku ini.
“Aku sebenarnya ingin kenalan sama kamu ketika kamu kelas sepuluh dulu, tapi kayaknya timmingnya kurang pas. Ingatkan ketika di depan gerbang ada tiga cowok menghampiri kamu?” ungkapnya padaku, membuat kedua mataku ikut bergerak memikirkan dan membayangkan apa yang terjadi ketika ada tiga anak laki-laki menghampiriku.
“Waktu itu ada laki-laki yang menarik lengan kamu dan mengajak kamu pergi, ingat nggak?” ucapnya lagi mencoba mengingatkanku, oh ketika kak Dicky datang menjemputku gumamku dalam hati.
“Oh tau tau, yang tiba-tiba menghadang jalanku itu kan? Ku pikir mau malak aku waktu itu hehe,” jawabku setengah bercanda, dan raut mukanya pun langsung serius astaga apakah benar aku sedang di palak saat itu? Jadi sekarang lah palakan itu di lanjutkannya? Gumamku dalam hati.
“Enggak Re santai, aku cuma ingin menawarimu untuk mengantarkan kamu pulang saja tapi aku bingung bilangnya,” ungkapnya yang sedikit menyunggingkan bibirnya, dan tanpa ku sadari dia sudah duduk di sampingku di teras mushollah ini.
***
Saat itu, aku berjalan di sepanjang koridor sekolah menuju kelas untuk meletakkan ranselku. Semua orang yang aku lewati sedang sibuk menyiapkan diri untuk mengikuti upacara hari senin. Kemudian, aku menyimpan ranselku ke dalam laci mejaku dan mengambil topi menuju lapangan tempat upacara di laksanakan.
Tiba-tiba saja "Byuuur ...” guyuran air dari atas pintu dan suara gelak tawa dari arah samping kelas dan membuatku cukup terkejut. Seragamku basah kuyup dan jam tangan hadiah dari kak Dicky pun ikut basah.
“Hahaha, lihat tuh si jalang basah kuyup,” gelak tawa Indra dan Sheryl anggota geng Nero.
Kata-kata itu membuatku menarik nafas dan melihat kedua gadis yang telah mengguyurku dengan air.
“Terima kasih Ndra,” ucapku yang sudah begitu jengkel dengan kelakuan kekanak-kanakan mereka sebab sampai detik ini aku tak tahu apa kesalahanku hingga membuat mereka seperti ini kepadaku.
Seperti kejadian terkuncinya aku di kamar mandi dua bulan lalu aku yakin juga karena ulah Indra dan kawan-kawannya, bahkan seusai pelajaran olahraga sebelum liburan semester ganjil Sheryl menendang bola volly yang sengaja mengenai perutku hingga memar. Aku harus bertumbuh menjadi anak SMA tanpa keluarga dan teman, aku sendirian dan benar-benar sendirian tak ada satu pun manusia yang peduli aku harus hidup di sekolah SMAN 5 Pasuruan ini.
“Dia bilang terima kasih sama kau Ndra,” ucap Sheryl yang merangkul tubuh besar Indra, sedang aku menahan tangis dengan menggigit bibir bawahku hingga datanglah seorang anak laki-laki memberikanku jaketnya yang ku asumsikan ia baru saja memarkirkan motornya sebab kelasku ini berada di dekat parkiran motor.
“Apa-apan ini,” ucapnya yang baru saja melihat kejadian yang tak lazim di depan matanya.
“K ... kak Nizam,” ucap Sheryl yang mulai berbicara gagap kulihat ketakutan di mimik mukanya
“Sudah ayo kita ke lapangan,” ajak Indra menggandeng tangan Sheryl, meninggalkanku sendiri dengan ulahnya yang membuatku basah kuyup seperti ini.
“Woi, mau kemana kalian akan ku laporkan pada pak Hariyanto,”teriak kak Nizam yang tertelan dengan suara microphone pemanggilan siswa-siswi untuk upacara,
“Re, kamu kok bisa begini Re?” ucapnya yang berhasil membuat kedua mataku mengeluarkan sumber airnya,
“Aku nggak tau kak kenapa aku seperti ini? Aku nggak tahu salahku apa sama mereka hingga membuat mereka selalu merundungku,”jawabku dengan sesenggukan yang sama sekali tak tahu salah yang ku perbuat, bagi geng Nero bila aku menangis adalah kesenangan tersendiri untuk mereka.
“Ya sudah aku minta maaf Re, kita ke ruang OSIS saja yuk ganti bajumu,” ajaknya padaku, aku pun mengikuti gerak langkah kakinya dengan suara isakan yang tersisa aku harus kuat aku harus kuat teriakku dalam hati.