Gedung Auditorium Renvarinca, 2008.
“Huuuu ...” teriakan riuh di lapangan Revarinca membuat tubuhku semakin memanas karena kekalahan hari ini, aku tak berhasil membawa team basketku masuk ke babak final padahal kami lah tuan rumah dari pertandingan ini. Aku pun berlari menuju ruang penyimpanan alat olahraga SMP Revarinca sebab aku kapten basket Revarinca yang di percayai untuk memegang kunci ruangan tersebut.
“Aaaaaaaaah!” suara teriakanku bebarengan dengan adanya suara teriakan yang sama di ruangan ini, wow ada yang berteriak juga selain aku di sini ucapku dalam hati saat aku akan melempar bola basket yang aku pegang.
“Eh, a ... anu maaf, aku kira ruangan ini kosong, sekali lagi maaf ya aku pergi dulu ya,” ucapnya yang terkesan gagap karena malu,
“Siapa gadis itu, lucu juga,” ucapku tersenyum dengan kejadian yang cukup menghibur kekesalanku hari ini, ku dengar suara pintu yang tertutup aku pun mengikutinya keluar hingga mendapati diriku berada di depan Aula center yang sedang ada perlombaan paduan suara, apakah ia anak paduan suara? Tanyaku dalam hati.
Hingga aku di kagetkan oleh suara ayah memanggil dari arah belakangku.
“Hey boy, gimana tadi pertandingannya?” tanyanya sambil melingkarkan tangan kanannya ke leherku,
“Lumayan,” jawabku singkat dan berlalu meninggalkan aula center mengikuti langkah ayahku.
***
Seusai aku, Nilam, ayah, dan bunda makan siang di salah satu warung kantin sekolah, ayah pun mengajak kami untuk pulang ke rumah sebab dari hasil perdebatan panjang bunda dan Nilam untuk sekolah lanjutannya satu sekolah denganku di SMP Revarinca.
“Ayah Nilam harus banget ya masuk sekolah bang Nizam?” tanya Nilam ketika baru saja ayah masuk dan duduk di kursi pengemudi,
“Nilam apa yang salah dengan Revarinca?” tanya balik ayah pada Nilam
“Bukankah bagus guru-guru Revarinca dalam memberikan pelajaran matematikanya?” ucap bunda sembari menyikutku yang kebetulan duduk di kursi penempun bersebelahan dengannya, sedang Nilam berada di kursi depan bersebelahan dengan ayah.
“Iya Nilam, teacher Revarinca baik-baik semua dan juga yayasan Revarinca satu-satunya yayasan pendidikan katolik yang berada di kota Pasuruan,” jawabku menguatkan argumen bunda.
Saat mobil hendak keluar dari parkiran menuju portal tempat keluarnya kendaraan, ku lihat ada dua sejoli yang cukup ku kenal ia Dicky anak Mentari Indonesia yang cukup hebat menjadi lawanku di pertandingan tahun lalu. Bahkan ia terkenal sebagai anak berotak cerdas di Mentari Indonesia, ia saat ini duduk berdua dengan gadis yang berteriak bebarengan denganku di ruang penyimpanan alat olahraga hari ini.
“Padahalan aku mau kenalan dengan gadis itu, nggak taunya gebetan Dicky,” gumamku yang sedikit menggerutu, tanpa ku sadari hal itu terdengar oleh telinga bunda.
“Kenapa bang Nizam? Siapa Dicky?” tanya bunda yang membuat Nilam menoleh ke arahku,
“Lawanmu tanding basket bang?” tanyanya,
Kujawab saja “Iya.” Agar tak ada pertanyaan lagi untukku hari ini.
***
Pasuruan, 2010.
“Aduh,” ucapku sebab ketika aku akan berdiri dari kursi peserta MOS tulang pipiku tersikut oleh seseorang,
“Maaf, maaf aku kurang fokus jalannya, apakah kamu tak apa?” ucapnya menanyakan keadaanku akibat ulahnya, ah sudahlah tak apa gumamku dalam hati. Aku pun menyuruhnya untuk melanjutkan kegiatannya itu dengan melambaikan tangan kananku agar ia segera pergi menjauh dariku.
Ketika aku berdiri dan mencoba memperbaiki seragam putih abuku yang akan presentasi mempromosikan ekskul basket pada siswa-siswi baru SMAN 5, ku lihat wajah gadis yang ku kenal baru saja duduk di kursi peserta MOS, apakah dia siswi baru SMAN 5 ini? Tanyaku dalam hati dengan perasaan yang berkecamuk di penuhi kegembiraan apakah ini cara tuhan untuk mempertemukanku lagi dengan gadis itu? Aku harus berhasil mengenalnya sebab tuhan sudah memberikan kesempatan kedua untukku, peduli amat dengan Dicky, Dicky tak bersekolah di sini dan belum tentu juga gadis itu gebetan Dicky dialog dalam hatiku.
Sesudahnya aku mempresentasikan ekskul basketku, aku pun berlari menghampiri Marcell anggota OSIS sekaligus panitia kegiatan MOS ini.
“Cell, kamu tau nama anak yang berkuncir kuda memakai ransel berwarna ungu kehitaman itu nggak,” tanyaku pada Marcell sembari menunjuk ke arah tempatnya duduk.
“Bukannya peserta MOS memakai tanda pengenal Zam,” jawabnya yang masih belum fokus kepadaku karena ia masih menurutkan lembaran kertas HVS berisikan proposal perencanaan kegiatan MOS tahun ini.
“Dia nggak ada pengenalnya Cell, lihatlah dulu,” pintaku memelas agar ia mau fokus dengan yang ku tunjuk.
“Iya, iya sabar, yang mana si Zam,” ucapnya sembari menutup map hijau yang berisikan lembaran kertas HVS tadi,
“Oh, itu Reana Khoirunnisa Zam, rumor sih ceweknya Dicky anak Mentari Indonesia eh, alumni deng. Dicky sekarang pindah ke Jakarta,” jawab Marcell dan ia pun juga alumni dari sekolah Mentari Indonesia. Ketika aku berlalu melangkahkan kaki untuk kembali ke kelasku, Marcell menarik lengan kiriku.
“Jangan kau taksir itu anak Zam, dia anak muslim berbeda dengan kita,” ucapnya mengingatkan, ternyata cinta memang tak seharusnya ku lanjutkan lebih dalam lagi aku harus bisa melupakan gadis itu Reana Khoirunnisa.
***
“Hei Reana kan? anak kelas sepuluh F,” ucap Jonathan sahabatku sedari SMP dan menjadi anggota team basketku sedari SMP di Revarinca.
“Iya ada apa ya?” jawabnya penuh curiga apakah raut muka kedua sahabatku menyeramkan dan patut untuk di curigai.
“Reeeaaa ...” secara bersamaan ada yang memanggilnya dan melambaikan tangan padanya di seberang jalan raya depan SMAN5, siapa itu selidikku dengan menyipitkan mataku untuk fokus pada objek yang memanggil Reana merusak kegiatanku yang akan berkenalan dengannya.
“Hei ...,” ucap Jonathan lagi, ku pandangi ia yang yang sedikit melonjak terkejut akibat ucapan Jonathan yang sedikit keras
“Ada yang mau kenalan sama kamu ini ...,“ lanjutnya lagi tapi terpotong oleh uluran tangan yang menarik lengan Reana, dan saat ini ku yakini tangan pemilik tangan itu adalah Dicky lawan tanding basketku tahun pertama saat SMP dan sekarang lawanku untuk mendapatkan Reana Khoirunnisa.
***
Sebulan setelah kegagalanku untuk berkenalan dengannya, aku bertemu dengannya lagi di perpustakaan. Saat aku bersama teman kelompokku mencari berita di koran yang berada di perpustakaan, tugas bahasa Indonesia tentang opini masyarakat.
“Reana,” panggilku dengan nada setengah berbisik.
“Kenapa Zam? Kamu ada pendapatkah tentang berita ini?” tanya Natasha ketua kelompokku.
“Ah, nggak Ca, aku setuju saja sama kamu."
“Cieee Nizam sama Caca, cocok cocok,” ledekkan dari ketiga anggota kelompokku yang lain, membuatku kehilangan pergerakannya Reana.
“Reana ...,”panggil laki-laki berkulit sawo matang ketika aku mencoba mengikuti Reana,
“Ah, gagal lagi aku menyapanya, bodoh kau Robi padahal orangnya sudah di depan matamu,” gerutunya memarahi dirinya, ada laki-laki lain juga yang mendambakan gadis penyemangatku? Gumamku dalam hati.
***
Malamnya, di rumah.
“Nilam, apakah aku mengganggu?” tanyaku pada Nilam yang sedang membaca novel yang ia pinjam di ruang tengah.
“Hmmm, apa kak?” jawabnya tanpa menoleh untuk melihat raut wajah kakaknya yang sedang galau akan perasaannya,
“Nilam, kamu kelas 9 sekarang rencana kamu mau melanjutkan SMA dimana?” tanyaku lagi dan berharap Nilam sesuai harapanku dan mau masuk SMA ku.
“Kamu ini ada apa sih kak? Nanya berbelit-belit banget, kamu mau ngomong apa sih sama aku?” ucapnya jutek seperti biasa padaku,
“Apakah semua wanita itu tak mau di ajak berkenalan sama laki-laki ya?” tanyaku akhirnya
“Ooh, kamu lagi di fase ingin kenalan sama wanita,” ujarnya dan menutup novel bacaannya.
“Wanita itu suka dengan laki-laki yang sopan dalam mengajaknya berkenalan, terutama dalam hal penampilan, penampilanmu harus rapi jangan karena kamu kapten basket rambut jarang keramas dan gondrong begitu kak,” ucapnya yang terkesan mengkritik penampilanku, memangnya kenapa dengan gondrong? Bukannya keren ya? Gumamku dalam hati.
“Ah, sudahlah kamu lanjutkan bacamu itu,” ucapku dan berlalu pergi meninggalkan Nilam.