Di hadapanku terlihat pemandangan akrab: laptop, buku catatan, serta secangkir kopi dengan asap mengepul naik dan membawa semerbak aroma robusta. Kuangkat cangkir itu ke bibir dan merasakan kehangatan yang menjalar dari ujung jari hingga ke lengan. Saat bibir menyentuh tepi cangkir, aroma robusta meresap dan memberi sensasi rasa yang khas. Setiap tegukan adalah pertemuan singkat dengan keheningan. Setelah meletakkan cangkir, pandangan ini beralih ke layar, lalu mengetik untuk menuangkan cerita-cerita yang dulu terkunci rapat di dalam ruang ingatan.
Ini bukan cerita Cinderella yang diubah tipis-tipis dan diadopsi ke layar kaca, atau seperti cerita populer tahun '80-an tentang seseorang yang rajin salat, pintar mengaji sekaligus playboy tukang ngebut di jalanan. Bukan juga cerita seorang menantu yang selalu tersandung oleh mertuanya seperti film tujuh seri di televisi. Ini adalah cerita tentang seseorang yang sering mengeluh, merasa gagal, dan rendah diri. Lebih tepatnya merupakan cerita seorang pecundang: aku.
Mungkin bagi orang lain bunga adalah sesuatu yang indah. Tidak bagiku kini. Kamu tahu reaksi Prince Charming saat melihat Shrek? Ya, seperti itulah reaksiku saat melihat bunga. Kecantikan serta wanginya yang semerbak benar-benar menggoda untuk dipetik. Sial, setelah ditanam bukannya mempercantik halaman surga, ternyata ia menampakkan wujud asli sebagai benalu pengisap sari-sari makanan tanaman indah lain di sana. Bukan hanya tanaman, ia juga merampas kereta kencana, melucuti seluruh pakaian sampai tak ada lagi yang melekat di tubuh kurus ini, dan paling parah, menendangku ke luar surga!
Apakah semua ini salah bunga? Sebagian kecil, tetapi akulah yang paling pantas disalahkan karena telalu lugu—bentuk halus dari bodoh. Bagaimana tidak lugu, padahal jelas-jelas aku menerima dengan sukarela ajakan abang-abang untuk memetik bunga di pekarangan mereka?! Apa kamu tahu kalau sebenarnya Bang Wawan, Bang Benten, dan abang-abang lainnya bertampang menyeramkan? Nah, saking lugu dan amit-imut, bukannya kabur aku malah masuk ke pekarangan mereka. Yah, saat itu rasanya belum benar-benar habis karena masih ada dia, teman kencan selama ratusan purnama.
Hantu, dialah teman kencan selama ratusan purnama. Apakah dia menyeramkan? Tidak sama sekali. Ataukah ada niat menghina dengan menyebutnya "Hantu"? Tidak terlintas sedikit pun pikiran itu. Jadi begini, dia bukan qorin, apalagi hantu recehan di rumah-rumah. Dia seperti kita, sama sekali tidak berbeda. Dia menghantui dengan merasuk ke dalam mimpi dan menebarkan teror. Dulu gangguannya cukup intens, bahkan hampir setiap malam membuatku terjaga dengan napas memburu. Jangan salah, meskipun hantu dia bukan setan, justru akulah yang setan. Bahkan menurutnya aku adalah setan selama ratusan purnama kami bersama, tetapi hal ini bisa diperdebatkan.
Mengapa bunga itu merampas semuanya? Apakah ia? Lalu siapakah yang dimaksud teman kencan selama ratusan purnama? Mengapa tudingan itu bisa diperdebatkan? Aku mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan yang tercerai-berai di dalam memori, dan menyusunnya kembali ke dalam cerita ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, satu demi satu. Untuk mengawalinya akan kuceritakan isi kepingan pertama, yaitu tentang ....