Aku tidak ingat persisnya, tetapi mungkin peristiwa ini terjadi pada tahun 2003 saat masih berkuliah di salah satu universitas di Jakarta Barat. Hari itu Mas Agung—kakakku, berkuliah di jurusan dan kampus yang sama—meminta ditemani survei sekaligus menunjukkan gebetan baru di antara teman-teman kelompoknya. Sebagai Mahasiswa Arsitektur, kegiatan survei adalah salah satu yang sering dilakukan, dan itulah alasan Mas Agung bersama teman-temannya berada di sana.
"Itu, tuh, dia yang pake jilbab dan baju pink. Liat 'kan?" Mas Agung melayangkan pandangan ke arah perempuan yang baru masuk ke klinik bersama teman-temannya.
Aku menggeleng. "Liat, tapi enggak keliatan mukanya, 'kan dia ngebelakangin. Eh, Mas, dia angkatan '97 kayak kamu ya?"
"Bukan, tapi 2002." Mas Agung tersenyum.
Aku mengangguk paham. "Oh, 2002."
Mas Agung membuka pintu mobil. "Yuk, ikut ke dalem."
"Enggak, ah. Mau ngerokok aja di parkiran," jawabku sambil keluar mobil.
Setelah duduk di wheel stopper¹ dekat mobil kami, aku menoleh ke arah Mas Agung yang berjalan menjauh. Lengkungan kecil pun bermain di ujung bibir ketika melihatnya bersemangat seraya melangkah masuk ke klinik. Kualihkan pandangan, lalu menyelipkan sebatang rokok di bibir dan menyulutnya. Sambil mendongak kuembuskan asap rokok ke udara.
Bosan, yah, begitulah rasanya menunggu menit demi menit berjalan lambat. Saat mataku menjelajahi langit, rasa sepi sedikit tertepi. Awan-awan itu seperti teman setia yang mengajak bercengkerama. Mereka bergerak lambat, kadang membentuk pola akrab seolah ingin menghibur. Sayangnya tak bertahan lama ketika rasa bosan kembali menyelimuti. Tidak ada yang ingin merasakan itu, termasuk aku. Namun, berada di rumah pasti lebih buruk lagi. Seandainya bukan Minggu mungkin aku sudah berada di kampus bersama teman-teman.
Ketika kesendirian yang membosankan makin merasuk, sayup-sayup terdengar suara seseorang. Aku menoleh, dan melihat seorang perempuan berdiri di depan pintu klinik. Perempuan itu berwajah oval dengan rahang sedikit persegi. Matanya agak sayu dan berhidung mancung. Garis wajahnya tegas, khas seseorang yang berasal dari ujung barat Sumatra. Pasti perempuan yang tersenyum ke arahku itulah yang dimaksud. Mas Agung pernah bercerita bahwa si gebetan berasal dari Aceh, apalagi jilbab dan pakaiannya sama seperti perempuan tadi.
"Kok, enggak ikut ke dalem?" tanyanya ramah.
Aku hanya tersenyum sambil mengangkat rokok, memberi isyarat masih ingin menghabiskannya. Paham dengan maksud itu, dia mengangguk kemudian masuk ke klinik. Aku mengalihkan pandangan seraya meniupkan asap rokok berbentuk lingkaran-lingkaran kecil yang menghilang tersapu angin sambil mengulas kembali bayangan perempuan incaran Mas Agung itu.
Cantik? Iya, tetapi tidak sampai memberi vibrasi-vibrasi kecil di dalam hati. Tidak tahu juga alasannya, yang pasti aku tidak tertarik sama sekali. Lagi pula untuk apa memikirkan perempuan yang bukan gebetan sendiri?! Sesimpel itu pikiranku tanpa tahu momen tersebut mengawali sebuah petualangan panjang. Satu cerita tanpa banyak lika-liku, tetapi diselubungi tabir tak terlihat. Namun, sisi menarik dari perempuan itu justru mulai tampak ketika aku dan Mas Agung mengantarnya ke kos di belakang kampus. Hal menarik itulah yang membuka pintu perjalanan kami.