Ini bukan salahnya. Ia tak pernah meminta terlahir miskin. Namun, kenapa orang-orang membencinya karena itu?
Gubuk kecil yang atapnya selalu bocor ketika turun hujan, sepatu hitam yang solnya lepas ketika ia bawa berjalan, serta tas ungu muda yang sudah dipenuhi tritipan. Begitulah kehidupan Nebula. Belum lagi wajah coklat kusamnya yang melengkapi paket komplet itu.
"Doakan Ayah dapat uang, ya, hari ini."
Nebula yang saat itu masih duduk di kelas 5 SD mengangguk kecil. Mata asimetrisnya menatap datar sang ayah. Bibir pucatnya tertutup rapat. Hatinya bergolak melantunkan doa. Tak pernah sehari pun ia absen melakukan itu.
Biasanya, ayahnya akan pergi sambil tersenyum lebar hingga ke daun telinga. Akan tetapi, kali ini mulutnya ternganga lebar dengan mata membulat—menuntut alasan. Sebuah lingkaran dengan berbagai pola bangun simetris mengitari kaki Nebula. Sinar biru berpendar samar di bawah cerahnya matahari.
Nebula tak paham. Maniknya berkaca-kaca kagum sembari membayangkan ia akan mempunyai kekuatan seperti Sailor Moon yang dulu sering ia tonton di televisi. Ia semakin yakin setelah ayahnya membawa uang sekarung goni penuh. Wow, apakah itu awal dia menjadi jin pemenuh permintaan seperti di film Aladdin?
Ya, dia mempunyai kemampuan seperti tokoh-tokoh fiksi itu, tapi realita takkan pernah seindah fiksi yang ditulis pemimpi.
***
Kehidupan Nebula mulai dirasanya menyenangkan. Kini ia berlenggok dengan sepatu, seragam, hingga tas baru. Anak-anak yang dulu sering merundungnya kini terbelalak. Wajah tak-terima-kenyataan mereka bahkan tak ada harganya jika dipajang di etalase toko.
Apa Nebula menikmatinya? Sangat.
Bibirnya tersungging tinggi mengeluar- kan peralatan tulis yang lagi-lagi serba baru. Pensil warna dengan jumlah 48 batang ditambah krayon berwadah jumbo yang diimpikan anak SD. Jangan lupa tempat pensil bertingkat yang memperoleh delikan ramai dari teman sekelasnya.
Tidak cukup sampai di situ, Nebula juga memenuhi semua kerakusannya. Ia akan memohon sepenuh hati untuk sebaskom ayam, sepotong piza, sebuah burger dilengkapi kentang goreng, dan segelas pepsi di siang bolong. Tak lama kemudian, ada bunyi klakson dari halaman dan teriakan, "Delivery!"
Gubuk kecil menjelma menjadi rumah beton besar dalam khayal Nebula. Ia bersilang kaki di atas kasur tipis bak tuan putri di aula istana. Dia memang seorang tuan putri sekarang, kedudukannya jauh lebih tinggi dari anak-anak kampung.
Nebula tertawa. Lengannya menutupi mata. Ia punya rencana luar biasa.
Ia ingin menjadi super kaya.
***
Pernahkah kau melihat gadis kaya, cantik, serta cemerlang dalam akademik dan non-akademik? Gadis macam itu memang langka, tapi cobalah kau lirik Nebula. Ia punya semua itu.
Turun dari Porsche 918 Spyder dengan sepatu harga gila-gilaan. Tidak termasuk tasnya yang tampak simpel, tapi sanggup membayar kebutuhan keluarga temannya selama setahun. Anting, kalung, jepit rambut dan bandonya dibanderol harga puluhan juta. Nebula dalam sekejap menjadi perhatian orang-orang.
Diketahui juga kalau ia mendapatkan perawatan kecantikan di salah satu salon termahal di kota. Rumahnya terbangun dari marmer putih dengan air mancur, kolam renang dan kolam ikan pribadi.
Sejujurnya, berbicara tentang kekayaan Nebula takkan ada habisnya. Sampai sini, kalian pasti terkagum atau mungkin iri kepada dirinya, bukan?
Namun, di balik semua kemewahan yang ia dapat di umur muda, ia juga dihadapkan dengan permasalahan anak kaya lainnya yaitu rawan dimanfaatkan oleh teman-temannya.
"Nebula, traktir makan di Burger King, dong!"
"Lihat-lihat barang di Pull&Bear, yok!"
"La, gue pengen yang ini!"
"Sekali-kali ke spa, ide bagus kayaknya!"
Nebula mual melihat mal hampir setiap hari. Rengekan teman-temannya membuat kepalanya seakan dipanggang dalam oven dengan suhu 270 derajat celcius. Belum lagi tatapan menghakimi orang dewasa yang sebenarnya perlu diberi pelajaran.
Baru sekarang ia sadar. Wajah-wajah tersenyum itu hanya karena tas bermerk yang mereka dapatkan dengan uangnya. Senyum itu tidak muncul karena keberadaan dan eksistensi Nebula di antara mereka.
Nebula menolak, keluar dari lingkaran setan yang mengikis hatinya sedikit demi sedikit. Namun, saat itu juga semuanya runtuh. Langit-langit yang dibangun dari harapan semu menampakkan retakan, kemudian berjatuhan menimbun tubuh Nebula.
Tatapan ramah seketika berubah menjadi tatapan jijik. Ia bagai seorang tikus yang dipasangi berbagai perhiasan. Bukannya menjadi cantik, tapi terlihat norak.
Orang-orang membalikkan badan, menyodorkan punggung mereka kepada Nebula. Mereka tertawa sambil melirik sinis kepada dirinya yang kini tak berdaya. Lingkaran setan itu menjerat, tapi lingkaran kesepian ini mencekik.
Nebula benci ditinggalkan sendirian.
Nebula menunduk, meremas ujung roknya. Rambut panjangnya menutupi wajah. Haruskah seperti itu? Dulu ia dirundung karena miskin. Setelah kaya, ia kira ia sudah mempunyai teman-teman yang asyik. But everything turns out to be like this.
Kedua tangan Nebula mengepal, menahan laju air mata yang menggenang. Dadanya sesak. Tenggorokannya seakan dicekik. Menangis menjalarkan rasa sakit ke tubuhnya, menahan tangis juga tak kalah sakitnya.
Untuk apa dirinya memasang senyum, jika orang-orang hanya peka terhadap kekayaannya? Untuk apa ia punya teman kalau mereka hanya mengakui hadiah yang ia beri?
Itulah dia, Nebula yang menyerupai nebula kepiting. Wujudnya kalah cantik dari nebula kupu-kupu. Kepiting putus asa yang terjebak di dasar ember. Capitnya diterkam oleh dinding ember yang licin.
Kenyataan telah menahan Nebula untuk keluar dari sana. Ia jatuh berdebam berulang kali. Terlalu sering hingga dirinya mati rasa.
Nebula dan kepiting. Mental kepiting itu pengecut, begitupun dengan Nebula.
***
"Go, Nebula! Ayo! Kamu pasti bisa!"
Nebula menyunggingkan senyum miring. Diliriknya Maira yang bersorak lebih keras daripada tim sorak sekolah. Gadis mungil itu terimpit di antara supporter kelas mereka.
Di bawah terik matahari dan lapangan basket yang memanggang kaki, Nebula berlari mengejar lawannya. Ia mengedipkan matanya berulang kali setiap detik. Lensa kontak hitam yang dipakainya mengganggu, seakan ada sesuatu yang mengganjal di bola matanya.
Seorang pemain lawan menyenggol Nebula. Gadis itu terhuyung, mengedipkan matanya sekali lagi. Nebula menggertakkan gigi. Ia menaikkan kecepatan larinya dan menyusul pemain lawan yang memegang bola.
Nebula melompat dan berhasil menghalangi tembakan lawan. Dengan senyum tersungging lebar, ia membawa bola menuju arah berlawanan. Derap kaki lawan bercampur kawan mengiringi di belakang. Sedangkan di depan, sudah ada barikade terbentuk.
Seorang pemain dengan seragam berbeda menjulurkan tangan ke arah bola, tapi Nebula berputar menjauh. Diopernya bola basket ke anggota tim terdekat. Tim lawan segera beralih target.
"Kapten!"