Lutut Antariksa gemetar. Kedua tangannya berkeringat dingin di dalam saku. Pandangan Antariksa juga tak fokus, ia bolak-balik menatap ubin dan dinding putih yang sudah terkelupas di sana-sini. Bibirnya mengatup rapat saat ia meneguk ludah dengan susah payah.
"Para pasien sedang berkumpul di bangsal. Setiap Sabtu malam, ada jadwal terapi menggambar," jelas perawat yang menuntun jalan Antariksa.
Si pemuda itu mengangguk tanpa berucap apa-apa. Ia mengusap lehernya yang turut berkeringat. Padahal udara sehabis waktu Maghrib cukup dingin.
Perawat tadi berhenti di depan dua pintu berwarna coklat. Ia mendorong salah satunya dan mempersilakan sang pemuda untuk masuk lebih dulu. Suara bising dari para pasien memenuhi indra pendengaran Antariksa.
"Mas Iksa mencari siapa?" tanya sang perawat, padahal Antariksa sudah memberitahunya tadi.
Antariksa mengedarkan pandang, berharap menemukan wajah familier di antara sepuluh pasien yang masing-masing didampingi seorang perawat. Namun, ia tak menemukannya.
"Saya mencari Kak Guntur."
"Oh ... Pasien Guntur. Silakan lewat sini, Mas."
Perawat itu berjalan lebih dulu. Ia melangkahkan kaki menuju sudut ruangan. Di sana, duduklah seorang pria berambut gondrong dengan kumis menghiasi area sekitar bibirnya. Pria tersebut menggoreskan kuas pada kanvas dengan khidmat.
Antariksa tertegun. Matanya mengerjap berulang kali saat memandangi lukisan sang kakak. Rumah putih mewah yang mempunyai halaman luas. Bahkan lapangan basket turut dilukisnya.
"Mas Iksa, ini Erni. Dia yang bertugas mengawasi Pasien Guntur." Perawat sebelumnya menunjuk seorang wanita yang berdiri di samping Guntur. "Mas bisa tanya-tanya perihal Pasien Guntur kepadanya. Saya tinggal dulu."
Erni—yang tampak seusia dengan sang kakak—tersenyum manis kepada Antariksa. Ia diam saja, kembali mengamati Guntur yang menambah beberapa detail pada lukisannya. "Lukisannya bagus sekali, Guntur. Tampak sangat nyata."
"Itu rumah kami. Dulunya," lirih Antariksa. Kakaknya menoleh, membulatkan mata pada sang adik yang tampak berbeda dari terakhir mereka bertemu.
Mulut Guntur terbuka. Ia berdiri pelan dari kursinya. Lengannya membuka lebar, menarik Antariksa ke dalam pelukan. "Iksa..."
Antariksa mengelus rambut gondrong sang kakak. Ia merasa nyaman di sana, meski sudah tak bertatap muka sekian lama. Wangi tubuh Guntur masih sama seperti enam tahun yang lalu. Itu meyakinkan Antariksa kalau ia tidak salah orang, meski wajah kakaknya rata separuh. Sambil memegangi kedua lengan kakaknya, Antariksa mengamati tubuh Guntur yang semakin ringkih. Juga kakinya yang terpincang-pincang.
"Kakak apa kabar?"
Guntur tersenyum. Kerutan sisi kanan wajahnya yang tak berbentuk agak membuat Antariksa bergidik. "Baik."
Antariksa tak tahu harus bagaimana. Kakaknya baik-baik saja. Ia mengira kalau kakaknya akan dipasung di dalam kamar perawatan. Lalu Guntur akan berteriak melawan. Namun, nyatanya tidak demikian.
Manik Antariksa bergerak, melirik kanan-kiri. Ruangan yang tadinya dipenuhi obrolan para pasien telah lengang. Beberapa dari mereka sudah meninggalkan bangsal dengan seorang perawat menuntun. Tersisa tiga pasien, termasuk Guntur.
"Guntur, sudah selesai melukisnya?" tegur Erni yang menyiapkan sebuah kain untuk menutup kanvas.
Guntur mengerjapkan mata. Ia mengangguk pelan. Erni menutupi kanvas dengan kain, kemudian beranjak menuju sisi Guntur dan memegangi lengan kanan pemuda tersebut.
"Kita kembali ke kamar," bisik Erni ke telinga Guntur. "Mas Iksa mau ikut?"
"Iya," jawab Antariksa pelan.
Mereka bertiga berjalan beriringan di lorong menuju kamar. Guntur dan Erni lebih dulu di depan sambil bercakap ria. Erni selalu membuka topik dan terus melanjutkan percakapan, meski Guntur hanya merespons dengan gumaman. Namun, pemuda itu juga terkadang menjawab antusias.
"Bunganya memang cantik banget. Seperti di taman rumahku dulu." Mata Guntur membulat sempurna, berbinar kesenangan. "Bahkan kami punya air mancur juga, loh."
Antariksa menatap kakinya yang terus melangkah. Dulu, ketika membuka pintu rumah, ia akan disambut air mancur. Sedangkan sekarang, ia akan disambut bantaran sungai yang dipenuhi sampah.
Gurauan-gurauan yang meluncur dari mulut Erni dan Guntur membuat tempat itu jauh dari kesan "sakit jiwa". Interaksi mereka berdua mengingatkan Antariksa pada gaya pertemanan dua sahabat dekat. Mereka bahagia di tempat yang sepatutnya suram.
"Kita sudah sampai," lapor Erni dengan nada ceria.
Wanita itu membukakan pintu. Bau lemon menguar tatkala Antariksa menginjakkan kaki di dalamnya. Dinding putih kamar masih mulus, tak ada bagian terkelupas seperti di lorong. Kasur berwarna senada ditata rapi sedemikian rupa.
Guntur menghempaskan kepala pada bantal. Ia berguling sebentar sebelum melambai kepada Erni yang beranjak meninggalkan mereka. Antariksa berdiri terdiam di depan jendela. Ia terkesima atas pemandangan mega merah langit.
"Iksa, ayo sini!" Guntur mendudukkan diri di tepi ranjang. "Jangan cuma berdiri di situ."
Antariksa menarik gorden jendela, lalu membalikkan badan. Ditatapnya mata kiri sang kakak yang masih tersisa. Jujur, dirinya masih bergidik kalau bertemu pandang dengan Guntur.
Raut ramah Guntur berubah. "Kenapa Iksa natap Kakak begitu? Takut?"
Nada dingin itu. Antariksa menggigit bibir bawahnya terlalu keras hingga berbekas. Kakinya gemetar seperti jeli yang baru dikeluarkan dari cetakan. Antariksa memalingkan muka dari lengkungan masam bibir Guntur.
"Muka Kakak mengerikan, ya kan?" Mata Guntur seakan hendak meloncat keluar.
Antariksa menggeleng sekuat tenaga. Tangannya meremas bagian paha celana. Keringat dingin mengucur deras dari dahi dan poni pendeknya. "Nggak, Kak."
Suara memekakkan telinga tiba-tiba memenuhi ruangan. Antariksa melirik takut pada serpihan vas bunga di lantai. Guntur baru saja mendorong jatuh benda kaca tersebut.
"Lebih baik aku mati saja!" raung Guntur. Ia menjatuhkan diri ke lantai, mengambil sebilah beling dengan kalap. Didekatkannya benda tajam itu ke leher.
Antariksa menghampiri dengan panik. Telapak tangannya yang dingin memegang erat pergelangan tangan Guntur. Ia menjauhkan beling itu dengan sekuat tenaga. "Kak, jangan! Kami sudah kehilangan Ibu, jangan Kakak juga!"
"Aku nggak peduli! Kalian memasukkanku ke sini selama enam tahun! Kalian nggak mengharapkanku! Kalian membuangku!"
"Kami nggak membuang Kakak!" Air mata mulai terbentuk di sudut mata Antariksa.
Rontaan Guntur berhenti. Ia menatap lekat mata Antariksa, mencari suatu kebohongan di sana. Namun, yang ia dapatkan hanya kerinduan yang dalam bak Palung Mariana.
"Aku ke sini untuk ngajak Kakak pulang. Kakak mau, kan?" tanya Antariksa lembut, ia masih memegangi tangan kakaknya yang mematung.
Guntur mengeluarkan kekehan pelan, kemudian mulai menaikkan nadanya. Ia melepaskan diri dari cengkeraman Antariksa. Beling yang ia pegang tak sengaja menggores pipi adiknya tersebut. "Aku nggak mau!"
Antariksa mengusap pipinya, mendapati cairan kental yang mengalir turun. Darah semakin mengucur bercampur air mata. Tenggorokannya tercekat.
"Kenapa?" Nada Antariksa menuntut.
"Karena sekarang kita miskin!"
Tubuh Antariksa tersentak mundur. Setelah berteriak, kakaknya tertawa kesetanan. Tangan Guntur turut mengucurkan darah. Beling menggores dalam telapak tangannya.