Apa Kau Percaya Takdir?

Athaya Laily Syafitri
Chapter #4

Insiden Penyiaran

"Oper sini, woi! Cepetan!"

"Jangan asal senggol, dong!"

"Heh! Ini bukan acara goyang senggol, ya!"

"Acara yang ada goyang senggolnya apa namanya, La?"

Nebula mengedikkan bahu atas pernyataan Maira. Ia kembali menyeruput es coklatnya. Derap kaki para cowok mengonsumsi fokusnya lebih banyak dari jilatan panas sang surya. Kanopi hijau pohon tak cukup menahan sinar matahari yang menyelinap lewat celah kemudian menghujam wajah Nebula.

Siswa kelasnya sekarang tengah menggila. Berlarian dengan peluh mengucur deras. Berteriak tanpa peduli akan kemungkinan dimarahi atau lebih parahnya dijemur sambil hormat kepada bendera. Perhatian mereka tertuju pada satu benda mati yang menggelinding ditendang oleh kaki-kaki berbeda.

"Ayo, Iksa! Gol! Gol!"

Seruput Nebula terhenti. Matanya terpaku pada Antariksa yang menggiring bola dengan senyum terpulas lebar di wajahnya. Beberapa anak cowok lain menghadang, tetapi Antariksa balas menahan dan mendorong lengan mereka.

Gigi Nebula saling merapatkan diri. Sedotan yang terimpit mulai berubah bentuk. Setiap ayunan kaki Antariksa membawa bola menuju peraduan gol. Dalam hati Nebula menjerit hingga tak sadar kalau Maira menepuk pundaknya.

"Nebula."

Kedua mata Nebula membulat lebar. Ia menjauhkan sedotan beserta gelas. Bahkan, ia hampir menumpahkan isinya juga ketika mendapati orang yang barusan berbicara. "Dirga?"

Dirga tersenyum. Mulutnya terbuka hendak bicara. Namun, bugh!

Sebuah bola melayang dan menghantam tepat bagian belakang kepalanya. Senyum Dirga terburai menghilang dari bibirnya. Dengan kepala tertunduk, Dirga mengelus bagian yang terkena bola. Matanya menatap nanar bola yang menggelinding di sebelah kakinya yang kemudian diangkat oleh Antariksa.

"Ups, sorry!" ujar Antariksa dengan telapak tangan menutupi bibirnya yang menyeringai.

Maira berkacak pinggang seraya mendorong pelan bahu Antariksa. "Heh, kalau nendang ke gawang tuh yang bener! Kasihan anak orang!"

Dirga melirik sedikit ke arah Antariksa yang menyengir tak bersalah. Pemuda itu memainkan bola yang dipegangnya. Barisan gigi besar dan rapat milik Antariksa tampak mencolok di mata Dirga yang baru pertama kali berdiri begitu dekat dengannya.

"Siapa bilang aku mau nendang ke gawang?" Antariksa terkikik di ujung kalimat. "Aku emang nargetin ke Dirga, kok."

Nebula mengangkat alis. Matanya memicing kepada Antariksa yang curi-curi pandang ke dirinya. Sedangkan Maira berseru tak percaya. "Lah?!"

Antariksa memiringkan badan lantas menepuk pundak kanan Dirga. "Hehe, sekali lagi maaf. Lo juga yang menghalangi pandangan gue ke Nebula. Lain kali jangan diulangi lagi ya, Dirga!"

Elusan pelan di puncak kepalanya oleh Antariksa membuat Dirga tergugu. Ia bolak-balik menatap Nebula yang menggertakkan giginya kesal dan Antariksa yang berlari ringan menuju teman sekelasnya. Permainan bola berlanjut tanpa banyak cekcok, meninggalkan Dirga yang bengong di pinggir lapangan. Baginya, Antariksa itu tidak asing.

"Dirga."

Si pemuda bergumam kecil menyahut panggilan Nebula. Ia memasang senyuman lebar hingga kedua matanya menyipit. Tangannya mengusap bagian belakang kepala sekali lagi. Walaupun benturannya tak terlalu keras, otaknya tetap saja terasa terguncang.

"Maafin Antariksa. Dia emang kurang ajar," lirih Nebula sambil diam-diam melotot kepada Antariksa yang mengirimkan kiss bye ke arahnya.

"Nggak papa, kok. Santai aja." Dirga melambaikan tangan di depan dada. "Oh, ya. Hadiah tim basket sudah bisa diambil. Nanti temui aku lagi."

Senyuman Dirga masih belum luntur. Begitu pun dengan rasa penasarannya kepada Antariksa.

***

"Itu tadi sedikit materi pengulangan dinamika partikel. Di papan tulis sudah saya tuliskan satu contoh soal, ada yang bisa jawab?"

Suasana belajar mengajar kembali kondusif setelah puas bermain bebas selama pelajaran olahraga. Siswa-siswi menggoreskan angka dan rumus di kertas kosong, mencari jawaban. Semuanya melakukan, kecuali satu orang. Yap, siapa lagi kalau bukan Antariksa Bumantara.

Ia menopang dagu sambil menggigit ujung pulpen. Dua kancing atas kemejanya dibiarkan terbuka, menampakkan baju kaus biru tua yang ia pakai. Kepalanya miring secara diagonal dengan pandangan lurus tertancap pada wajah samping Nebula.

"Woi!" Galang mendelik seraya menyenggol Antariksa. "Lo boleh memandang Nebula seharian, tapi nggak usah ngiler juga. Kayak orang mesum, tahu!"

Antariksa mendecak seraya mengelap ujung bibirnya. Dengan mata membulat horor, Antariksa menatap jarinya yang basah. Dia benar-benar ngiler.

"Gue nggak bisa bayangin ekspresi Nebula kalau seandainya tahu soal ini," bisik Galang sambil menggelengkan kepala dan dahi mengernyit jijik.

"Fix, Nebula bakalan makin ilfeel sama gue. Gimana, nih, Lang?!"

Galang segera membekap mulut Antariksa. "Jangan berisik, bodoh!"

Seisi kelas yang tengah khidmat serentak menoleh kepada mereka. Akan tetapi, tidak dengan Nebula yang tetap memainkan pulpen di atas kertas bindernya. Antariksa menggeleng malu sambil menggaruk pipinya hingga kemerahan. Ia melirik Nebula yang masih bergeming.

"Ada apa, Antariksa, Galang?"

Galang menarik dan menepuk kedua tangannya, seolah wajah Antariksa penuh debu. Pemuda itu mengulas senyum sok manis sambil melipat kedua tangan bak murid teladan. "Nggak papa, Pak. Silakan dilanjut lagi. Teman- teman juga."

Seusai semuanya kembali fokus pada kegiatan masing-masing, Hefaro yang duduk di depan dua sohibnya masih menghadap belakang. "Heh, lu berdua mending belajar yang benar, deh. Nggak masuk PTN baru tahu rasa."

Lihat selengkapnya