Apa Kau Percaya Takdir?

Athaya Laily Syafitri
Chapter #5

Pembawa Sial

"Astaghfirullah! Iksa malu, Pak! Teramat malu!"

Rengekan Antariksa menginterupsi ayahnya yang sedang membereskan lipatan pakaian. Putranya itu menenggelamkan wajah pada bantal sambil tengkurap di atas tikar. Kedua kakinya menendang seperti renang gaya bebas.

"Kenapa, Sa?" tanya ayahnya lembut.

Antariksa duduk, bibirnya manyun. "Pokoknya Iksa malu! Nggak pengen sekolah lagi rasanya."

Antariksa mengucek matanya, seraya mengeluarkan suara tangisan yang dibuat-buat. Kenekatannya di ruang penyiaran terus menghantui. Ia merenungi tindakannya setelah diceramahi setengah jam oleh guru BK. Belum lagi pandangan aneh orang-orang yang sukses membuat badan Antariksa merinding malu.

"Kerja? Ngangkat kardus aja gak bisa malah mau kerja?" Ayahnya membulatkan mata kemudian terbahak. Putranya yang kurus dan ringkih itu ingin kerja, sungguh lelucon baginya.

Antariksa memukul dada sambil tersenyum jumawa. "Kalo niat, pasti bisa, Yah!"

Sang ayah mengangkat kedua alis. Diusaknya rambut Antariksa gemas. Pria itu beralih ke meja kecil dan menyodorkan piring kepada anaknya.

Antariksa menerima itu dengan senyum lebar. "Yah, habis ini mau kerja, ya?"

"Ya iyalah, kalo nggak kerja, nanti kita makan apa?" tanya ayahnya balik seraya tertawa.

Namun, putranya justru cemberut. Antariksa menyendok nasi dan lauk--kali ini ayam suwir yang terbilang sedikit. Dalam kepalanya, ada ide cemerlang yang tertimbun rasa malu.

"Iksa mau ikut, boleh?" Antariksa menangkupkan kedua tangan, matanya memelas. "Boleh?"

"Ngapain ikut? Nanti cuma jadi beban. Lebih baik belajar saja, bentar lagi kamu harus kuliah, loh."

Mendengar kata kuliah, Antariksa merengut murung. Tangannya lemas mengangkat sendok. "Memangnya Iksa bisa lanjut kuliah? Bukan masalah SNM atau SBM apalah itu, tapi kita punya biaya?"

Alis ayahnya menukik, tampak tersinggung. Namun, wajah tua yang mulai redup itu segera melembut. Sembari meraih tas dan topi, pria itu memandang lekat wajah Antariksa.

"Yang penting, Iksa belajar giat dulu. Insyaa Allah, Ayah akan cari biayanya."

Piring nasi tak membuat Antariksa berselera lagi. Matanya menghindari tatapan sang ayah. Entah ke mana pikirannya menerawang.

Kuliah bisa disebut ketakutan terbesar Antariksa. Hidupnya tak senyaman anak-anak lain yang berasal dari keluarga kaya. Tidak perlu membandingkan diri dengan anak kaya sebenarnya. Sahabatnya sendiri, Galang, berasal dari keluarga berkecukupan yang siap dengan biaya pendidikan.

"Iksa," panggil ayahnya lembut, mengusap pelan puncak kepala Antariksa. "Ayah pergi dulu."

"Ikut! Iksa ikut, nggak mau tahu!"

***

Bolak-balik Antariksa membawa ember berisi semen tanpa sedikit pun mengeluh. Peluh yang membanjiri baju mengalihkan pikirannya dari kejadian di sekolah. Yang sekarang menjadi fokusnya hanya pekerjaan itu.

"Ini diantar ke lantai dua arah kanan, ya, Iksa," ujar Pak Askar, ayahnya, memberikan dua ember penuh semen.

Lihat selengkapnya