Plak! Plak! Plak!
"Udah dibilangin buat hati-hati, tapi lo malah melamun!" omel Galang. Tangannya memukul paha Antariksa bertubi-tubi. "Begini kan jadinya. Lo gak malu apa sekolah dengan kaki pincang?!"
Antariksa menggigit bibir, menahan ringisannya. Galang tengah mengobati luka-luka yang ia dapat. Dan juga memperparahnya. Pukulan pada paha tadi membuat sakit pada kakinya bertambah.
"Kalo dibilangin orang itu diinget, Iksa. Supaya lo gak celaka gini."
Omelan Galang belum berhenti. Antariksa menutup telinga. Sikunya tak sengaja terantuk dagu Galang. Mereka berdua bertatapan tajam sambil meringis bersamaan. Sedangkan Hefaro memperhatikan dalam diam sambil menggelengkan kepala.
"Luka gue belum kering, Lang!"
"Dagu gue jadi ikutan sakit, astaghfirullah!" Galang menyentil luka lecet pada siku Antariksa. "Lo ngapain pake angkat siku segala?!"
"Jangan disentil, woi!" Antariksa menendang bokong Galang. Alhasil ia berteriak kesakitan karena ototnya tambah terjepit. "Hidup gue kok gini amat, hiks."
Galang meraih pergelangan kaki Antariksa. Ia menarik kencang tungkai sahabatnya itu. "Makanya kalo diobatin tuh diem aja."
"Adodododoy! Sakit, Lang! Sakit banget! SAKIT!" Kepala Antariksa pening setelah dihujami berbagai macam rasa sakit. Air mata bercucuran pada pipinya.
"Lemah!" olok Galang saat tangisan Antariksa bertambah deras.
Antariksa menghapus air matanya, mencubit lengan Galang. "Kenapa sih harus lo yang ngobatin? Kenapa gak Nebula aja?"
"Gue dateng juga karena Nebula yang suruh, woi! Kalo dia gak suruh, gue gak bakalan mau!" Galang menyemprot di depan wajah Antariksa sambil memijit pelan kaki pemuda tersebut.
Antariksa terdiam. Ia memandangi Galang. Mulutnya terbuka dengan mata yang mengerjap begitu cepat. Galang menghela napas, menutupkan rahang Antariksa.
"Ini ... ini ... ini bukan prank kan, Lang?"
"Bukan. Seneng kan lo?" ucap Galang.
Wajah Antariksa pegal karena tersenyum terlalu lama. Ia meloncat dari duduknya. Galang yang memijit kakinya jadi terjengkang.
"Seneng banget!" Antariksa melompat seakan tak pernah cedera. "Berarti Nebula peduli dong ama gue?"
Galang mengangguk diam, memandangi Antariksa yang sedang dalam mode kekanakan. Tak lama kemudian, Antariksa menjerit kesakitan sambil memegangi bagian kakinya yang terkilir. Galang tertawa karena itulah yang ia tunggu sedari tadi.
"Puas lompat-lompatnya, bang?" Galang masih tergelak seraya membantu Antariksa meluruskan kaki.
Antariksa meringis, bibirnya dimanyunkan. "Sakit, njir! Kenapa sih gue harus jatoh segala?"
"Salah lo sendiri, gak liat-liat ama jalan. Itu sih, gak bisa ngeliat Nebula sedikit, lo pasti hilang akal!" sahut Hefaro yang menggulir layar ponsel.
"Heh!" Antariksa melotot.
"Kenapa? Bener kan kata gue?" Hefaro mengangkat dagu, menatap nyalang. "Gue dukung lo deketin Nebula, bukannya jadi bucin tuh anak!"
"Gue gak bucin, kok!"
Galang menirukan gaya Antariksa. "Gak bucin darimane?"
Hening. Antariksa menatap jari-jari kakinya. Ia terlalu memikirkan perkataan Galang. Benarkah ia benar-benar bucin pada Nebula? Gadis yang notabenenya suka kepada pemuda lain?
"Lo ngerasa ada yang aneh gak, Sa?" celetuk Galang. Ia tidak nyaman dengan atmosfer canggung.
Antariksa mengedarkan pandang. "Gak tuh. Aneh apaan emangnya?"
"Kayaknya lo sial kalo deketan ama Nebula. Menurut gue sih, ya~" Penuturan Galang mendapat tatapan bingung dari Antariksa. "Lo jatuh sampai terkilir begini. Nebulanya juga nggak suka sama lo."
"Gitu, ya? Emang iya?" Antariksa mengerutkan dahi.
"Haduh ... lo itu harusnya lebih peka ama diri lo dan sekeliling, dong. Jangan cuma fokus ke Nebula aja!"
Antariksa mengendikan bahu. Ia menyandarkan punggung ke dinding reyot rumahnya. "Kalo Nebula beneran sumber kesialan gue, gak papa sih. Menurut gue itu anugerah."
Galang dan Hefaro terkekeh tak percaya. Mereka tak menyangka kalau Antariksa menganggap segala kesialan saat ia bertemu Nebula adalah anugerah. Kewarasan dan tingkat kebucinan sobat karin merka itu patut dipertanyakan.
"Pasangan sejati itu selalu diuji. Takdir, bro! Biarin takdir bekerja!"