Sudah berhari-hari, Dirga tampak lengket dengan Nebula. Pemuda itu selalu muncul pada jam istirahat, menilik dari balik pintu. Kemudian menggandeng Nebula pergi ke kantin.
Di beberapa kesempatan, Dirga menghampiri Nebula ketika sedang olahraga. Sekadar untuk bermodus ria. Minta botol air minum atau minta dielapkan peluhnya.
Hal-hal kecil seperti itu sangat mencolok di mata Antariksa. Dirinya yang duduk di pojok menyaksikan semua itu secara jelas dan gamblang. Tentunya juga menyakitkan.
Kali ini, Antariksa mendapati Nebula berjalan melintasi lapangan sendirian. "Nebula!"
Si gadis yang tengah membuka lembaran fotokopi menoleh sebentar. Sebelum membalas panggilan itu. "Halo."
Begitu saja, jantung Antariksa meloncat girang dalam dadanya. Sambil mengulum senyum, Antariksa mengekori Nebula. Mereka melintasi para siswa yang tengah bermain bola untuk mengisi jam kosong.
Bola yang melayang ke sana-ke mari membuat Antariksa meringis. Ia melirik cemas pada Nebula yang terus berjalan tanpa melihat kanan dan kiri. Antariksa berdeham seraya menggamit lengan Nebula cepat.
Gadis itu tersentak, buru-buru menarik tangannya. "Kenapa la— eh, Iksa awas!"
Seruan Nebula adalah hal terakhir yang Antariksa dengar. Matanya berkunang-kunang setelah bola menghantam keras kepalanya. Lalu, jatuh menuju Nebula bersamaan dengan kesadarannya yang berangsur hilang.
🌹
Ini bukan menceritakan Antariksa yang dirawat dan Nebula yang merawatnya. Melainkan cerita tentang kesialan Antariksa.
Hari itu, lagi-lagi Dirga pergi ke kantin bersama Nebula. Sedangkan Antariksa hanya diam bersungut di sisi pintu. Darahnya terasa mendidih ketika Dirga mengusak rambut Nebula. Terlebih setelah itu Nebula menangkup kedua pipi sambil tersenyum lebar.
"Cie, yang makin dekat, nih!"
Maira muncul tak jauh dari tempat Antariksa berdiri. Gadis itu menyilangkan tangan di depan dada, melirik Antariksa. Seolah Antariksa hanya angin lalu.
Nebula menutup mulutnya yang tak dapat menyembunyikan senyum. Kala Maira tak henti menggodanya, ia hanya memukul pelan bahu sang sahabat. Kemudian mereka berdua berjalan melewati Antariksa seolah tanpa beban.
Hati Antariksa seakan digerogoti rayap. Sakit dan sesak. Begitu lama ia menyimpan perasaan pada si kapten basket itu, tapi tak sedikit pun Nebula meliriknya. Ditambah sekarang Dirga juga menunjukkan ketertarikan, kesempatan bagi Antariksa agarnya hanya sebesar serbuk marimas.
"Woi, kenapa melamun, Bro?" tegur Hefaro yang menyentak dunia lamunan Antariksa.
Lengan Galang turut melingkar di lehernya. Galang menawarkan es teh yang baru disedotnya tadi. Namun, Antariksa mendorongnya menjauh tak berselera.
Hefaro dan Galang bertukar pandang. Seolah sama-sama tahu kalau sahabat mereka itu sedang berduka cita.
"Eh, ke mall yok!" Hefaro menarik keluar kartu ATM-nya yang sebenarnya tak punya banyak saldo.
Galang bertepuk tangan. "Gaskan! Iksa ikut, 'kan?"
Antariksa menatap dua pemuda itu bergantian. Lantas pandangannya mendarat kepada Nebula yang bercakap ria dengan Maira. Setelah menghela napas dalam, Antariksa mengangguk.
"Boleh. Bosen galau-galau terus."
🌹
Antariksa pikir kegundahan hatinya akan melayang pergi bersama roller coaster yang baru saja mereka naiki. Namun, ia justru mati rasa setelah menginjak permukaan ubin kembali. Tetap saja wajah Nebula melintas bebas di dalam kepalanya.
"Eh, eh! Lihat sini hasil fotonya!"
Hefaro lekas mendempetkan tubuh kepada Galang. Mereka berdua yang tertawa lebar sangat kontras dengan Antariksa yang berjalan gontai bagai zombie. Bahkan pemandangan itu menjadi perhatian pengunjung lain. Mungkin kalau ia adalah TikTokers, Antariksa akan membuat konten—"Beginilah kalau sahabatan bertiga".
"Sa, coba tengok muka kau!" Galang beralih ke sisi Antariksa, menjulurkan foto dokumentasi saat mereka berada di roller coaster.
Antariksa mengeluarkan tawa kaku tak ikhlas. Kemudian mengalihkan pandangannya kepada wahana lain di Trans Studio itu. Galang memicingkan mata sebal.
"Lo kayak emotikon batu di WhatsApp, deh," celetuk Hefaro. Tangannya sibuk memotret berbagai sudut tempat itu.
Dahi Antariksa mengernyit. "Emot yang mana?"
"Itu loh." Hefaro mengunci ponselnya. "Patung batu terus mukanya datar."
Galang yang dari tadi menyimak tiba-tiba terbahak. "Kalau itu lebih cocok Nebula, cuy!"
Bagaikan rezeki di siang bolong, mereka bertiga berpapasan dengan Nebula dan Maira. Antariksa membulatkan mata dan bergegas untuk sembunyi di belakang kedua temannya. Namun, tanpa dosanya Galang menyapa dua gadis yang menuju ke arah mereka tersebut.
"Nebula! Maira!"