Saya ingat, saat masih kecil saya suka memandang sungai di depan rumah, di seberang jalan. Tidak ada pagar atau susuran di tepinya, tapi seingat saya tidak ada yang berani melompat, sebab arusnya deras sangat. Di dalam rumah, dengan volume nyaris maksimal, Nenek menyalakan kanal ANTV yang menayangkan senam pagi, kalau tidak salah judulnya "Primaraga". Durasinya hanya lima menit, tetapi terasa lama sekali. Lagu "Mungkinkah" Stinky ditayangkan setiap iklan—dulu disebut: "pariwara". Saya tidak ingat alamat atau tahunnya, atau apakah itu benar-benar terjadi, atau apakah Nenek yang tinggal bersama saya adalah Nenek yang saya kenal. Tapi lamat-lamat saya tahu lokasinya, di suatu sudut kota Jambi. Di seberang sungai, ada pemandangan kota yang baru terlihat jika malam sudah menjelang.
Saya tidak ingat nama sekolah ketika saya kelas 3 SD, tetapi saya ingat teman sebangku saya selalu meminjamkan peralatan tulisnya kepada saya—terutama pensil susun lantu. Ia gadis kecil yang manis, sedikit galak, tapi (sangat) baik. Saya tidak ingat namanya. Pada suatu hari, kami bermarahan, tapi saya lupa sebabnya. Guru menghardik saya sebab tidak membawa pensil. Saya berkata, "Itu karena A tidak mau meminjamkannya!" Teman saya marah, "Lo, kok jadi aku yang tanggung jawab?" Tapi, masih dengan kerut di kening, ia tetap meminjamkan pensil susun itu kepada saya. Kami tidak lama bermarahan. Saat jam istirahat, kami sudah bermain bersama lagi.
Saya ingat, hingga kelas 3 SD saya tidak bisa penjumlahan bersusun.
Saya ingat, sekitar tahun 2010-an, mungkin 2011, sebelum makanan Jepang (alias Japanese food) marak di kota Cirebon, ada restoran yang menu utamanya adalah takoyaki, yang agak aneh, sebab di negaranya sendiri takoyaki adalah jajanan kakilima yang sama dengan gorengan. Bayangkan ada restoran yang menu utamanya bakwan atau tahu isi? Nama restoran itu Puyi Takoyaki, kalau tidak salah spanduknya berwarna hijau dan ada gambar guritanya. Saya pernah beberapa kali membeli takoyaki dan ramen di sana, tapi melupakan rasanya sama sekali, sepertinya enak, hanya saja karena mahal, dan saya masih miskin ketika itu (bukan berarti sekarang saya kaya), saya tidak bisa sering-sering membelinya. Boleh dibilang Puyi Takoyaki adalah restoran Jepang pertama di Cirebon—bersama Nanasuki di mal CSB, tetapi sepertinya Puyi lebih dulu ada. Ini jauh sebelum Ichiban Sushi atau J-Resto lain menjamur dan bermunculan seperti wabah, bahkan di pinggir-pinggir jalan—sekarang malah ada food court khusus J-Food di mal-mal. Sayangnya, mungkin karena mendahului tren, Puyi Takoyaki tidak berumur panjang. Mungkin hanya setahun—atau dua?—sebelum akhirnya menyerah dan menutup gerai satu-satunya di Cipto Mangunkusumo. Andai bisa bertahan sedikit lagi, mungkin restoran itu akan menuai kesuksesannya. Apalagi di zaman sekarang, rasanya hiburan orang-orang hanya sebatas lidah. Saat kami berlibur di PIK, saya menyadari dari ujung ke ujung hanya ada stan makanan atau restoran, lain tidak. Tidak ada perpustakaan atau ding dong (game arcade) seperti saat saya kecil dulu.
Saya ingat, saya pertama kali menemukan L'Arc~en~Ciel dari majalah ANIMONSTER yang membahas album SMILE—berarti sekitar tahun 2004—kalau saya cari di Internet, tentunya akan saya dapatkan tanggal pastinya, sebab band ini muncul di sampulnya. Mungkin karena artikelnya sangat menarik, pada hari Sabtu, saya yang mengekos di Indramayu, memutuskan untuk pergi ke Cirebon dengan menggunakan KOPAYU (Koperasi Angkutan Indramayu). Saya ingin segera memburu kasetnya di GRAGE. Dulu, ada dua toko kaset di dalam mal yang terletak di pusat kota ini, yakni DISC TARRA dan BONANZA. Disc Tarra, seperti namanya, fokus pada penjualan CD dan DVD, sementara BONANZA kaset. Saya berlangganan di kedua tempat itu. Terkadang ada kaset atau CD yang hanya ada di salah satu toko dan tidak tersedia di toko lainnya, tapi untuk koleksi kaset Jepang, Bonanza jauh lebih lengkap. Sayang saya lupa membeli kaset SMILE di mana, tapi saya curiga di BONANZA. Pulangnya, sembari mulih ke rumah orang tua di Jangga, saya memutar kaset itu di bangku belakang bus, di dekat pintu keluar agar setidaknya ada angin semilir yang mengurangi kegerahan. Singkat cerita, saya tidak suka semua lagunya. Vokal HYDE agak terlalu macho buat saya yang terbiasa dengan vokal lembut dan ngepop dari boyband-boyband Taiwan, F4 dan 5566, atau Westlife. Di antara 10 lagu, saya hanya suka satu—Hitomi no Jyuunin—yang terletak satu nomor sebelum lagu pamungkas (Spirit dreams inside). Tapi entah kenapa saya tidak menyerah. Saya tidak langsung meletakkan kaset itu di rak terdalam untuk dilupakan, seperti ribuan kaset lain yang akhirnya lenyap saat kami sekeluarga pindah ke Kiajaran (maaf saya hiperbolis—koleksi saya tidak sebanyak itu). Seperti ada faktor X yang membuat saya yakin band ini istimewa, dan saya bersyukur diri muda saya yang naif dapat berpikir demikian, sebab dugaannya tidak salah. Sekarang, sudah 20 tahun lebih saya mendengar band ini dan menempatkannya di posisi puncak dalam hati saya, sebagai band terbaik di dunia—berganti-gantian dengan LUNA SEA. Dan album SMILE? Masih sering saya dengarkan! Saya suka semua lagunya. Bahkan termasuk Eien dan Coming Closer yang termasuk dalam track underrated. L'Arc~en~Ciel sudah tidak bisa dinilai dengan adil. Ia sudah tercemar nostalgia. Lagu rock macam READY STEADY GO pun sanggup membuat mata saya mbrebesmili. Pada tahun 2010, kedua toko kaset itu gugur satu per satu. Diawali Disc Tarra, disusul Bonanza. Disc Tarra sempat membuka gerai kecil di mal Carrefour—yang dulunya bernama ALFA GUDANG RABAT, lalu berganti nama jadi TRANS MART. Tetapi, pada awal tahun 2015, toko itu pun tutup. Kali ini bukan hanya satu cabang, melainkan seluruh Disc Tarra di seluruh Indonesia. Saya prihatin, kata SBY. Saya masih suka membeli rilisan fisik, dan menambah koleksi CD Natal setiap Desember sebagai tradisi—tapi lama-lama urgensi untuk membeli rilisan fisik pun memudar dan akhirnya tidak ada sama sekali. Saya sudah cukup puas mendengar di media streaming atau—ehem—bajakan (maaf). Saya hanya agak kecewa, sebab impian saya untuk merilis album fisik belum tercapai, tapi masanya sudah telanjur lewat. Sekarang di Cirebon sudah tidak ada lagi toko kaset yang tersisa, bahkan yang bekas pun, yang dulu banyak digelar dalam etalase atau di atas terpal di trotoar Lemah Wungkuk, sudah lenyap, barangkali punah. Lagi pula, di zaman Spotify dan Youtube, siapa yang masih membutuhkan rilisan fisik? Semua bisa diakses dengan mudah; baru ataupun lama, klasik ataupun modern. Bahkan toko CD bajakan pun mengalami masa senjanya. Pasar Balong yang dulu merupakan pusat CD bajakan telah berubah jadi pasar baju. Itu pun selalu sepi, nyaris tanpa pembeli. Tidak ada lagi yang tersisa. Koleksi kaset saya, yang jumlahnya terus bertambah dalam kenangan—sekarang sudah sepuluh ribu (tertawa)—juga lenyap semua. Saya menyesali masa kecil saya yang berpindah-pindah, sehingga tidak ada artefak kenangan yang tersisa—Tazoz, komik Dancow, Walkman, majalah anime (ANIMONSTER, Anima+, Animagz, dan lain sebagainya), klipingan majalah tentang Cardcaptor Sakura dan Dragon Ball, diary, komik, buku, novel, stensil Kahlil Gibran yang saya beli di toko kelontong, semua itu lenyap satu per satu. Ada yang rusak, ada yang hilang, ada yang dicuri. Itu juga yang membuat saya bertekad untuk hanya tinggal di satu tempat saja, agar anak-anak saya tidak kehilangan keterhubungan dengan masa lalu mereka.