Saya ingat, ketika masih tinggal di Jambi—berarti sekitar tahun 1996—teman-teman saya dan saya suka mengumpulkan batu-batu yang jika diterawang di bawah sinar matahari akan menyebabkan efek tembus pandang. Kami menamainya batu terang. Kami mengumpulkan batu-batu itu dalam botol pelastik. Dalam sehari kami dapat mengumpulkan tiga sampai empat botol. Karena syaratnya harus tembus pandang, saya sering memasukkan beling yang bentuk dan warnanya bagus, yang tentu dihardik teman-teman saya. Saya tidak ingat siapa nama teman-teman saya, apa jenis kelaminnya, atau berapa jumlahnya. Saya tidak ingat di mana kami menyimpan botol-botol batu terang itu, atau untuk apa kami mengumpulkannya. Saya hanya ingat, di seberang deretan ruko ada setumpuk kerikil, di sanalah kami bermain bersama. Ketika beranjak dewasa, setiap kali melihat kerikil, saya memungutnya, lalu menerawangnya di bawah sinar Matahari, tapi saya tidak pernah melihat batu terang lagi. Saya ingat, seorang teman berkata, bahwa batu-batu terang itu glow in the dark, alias menyala dalam gelap. Ketika listrik padam, kami mengambil berbotol-botol batu terang dan meletakkannya di depan rumah, tetapi tidak terjadi apa-apa. Batu itu tetap segelap kerikil.
Saya ingat, bahasa Jambi pura-pura adalah icek-icek.
Saya ingat, ketika saya duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, saya membeli kaset "Ningrat" (Jamrud)—berarti sekitar tahun 2001—itu adalah kaset pertama yang saya beli dengan uang sendiri. Kalau tidak salah harganya Rp15000. Saya tidak tahu apa yang mendasari saya membelinya. Kenapa bukan Dewa 19 atau Sheila on 7, malah Jamrud? Tetapi saya tidak menyesalinya. Semua lagunya enak, terutama Jauh. Jamrud juga mewabah di SDN kami. Kami anak-anak ingusan, tidak tahu-menahu makna lagunya. Kami santai saja menyanyikan Surti Tedjo, meneriakkan MASANG! ALAT! KONTRASEP—seolah-olah anthem. Alangkah bodohnya.
Saya ingat, saat masih kecil, saya tinggal di ladang tebu bersama orang tua saya. Sepertinya anemoia, tapi saya yakin, setiap hari saya melihat kalender di ruang keluarga dengan perasaan was-was. Ketika saya bertanya, apa yang terjadi setelah tanggal 31 Desember, seseorang—entah Ayah, Ibu, atau bukan keduanya—menjawab Kiamat. Itu membuat saya takut setengah mati. Saya tidak tahu bahwa setelah tahun yang lama habis, tahun yang baru akan menggantikannya.
Saya ingat lagu pertama yang saya tulis berjudul sangat panjang, yakni Satu Kisah tentang Dia yang akan Selalu Bersemi Sepanjang Musim Terus Berganti. Saya yakin terinspirasi judul album Jikustik, Sepanjang Musim, yang ketika itu masih rilisan anyar—2003—tetapi nadanya, terutama bagian refrainnya malah mirip Semua tentang Kita dari Peterpan.
Saya ingat, saat menonton sirkus di pasar Mambo, Indramayu, kalau tidak salah sekitar tahun 2003, lagu The Final Countdown (Europe) jadi pembuka atraksi lumba-lumba.