“Ini sudah kedua kalinya dalam sepekan, Retta”
Suaranya yang lembut menyeruak. Kali ini dengan nada sedikit tegas. Seorang perempuan berjas putih dengan kaos berwarna biru bergaris itu berjalan perlahan. Dengan membawa jarum suntik yang sudah distrerilkan beberapa menit yang lalu. Dengan muka masam, ia mendekati pasiennya. Seorang gadis berusia dua puluh tahun yang sedang tak sadarkan diri. Tetapi bukan dokter namanya, jikalau tidak tahu riwayat pasiennya yang sudah dirawatnya selama hampir dua tahun terakhir.
Ruangan berukuran 5 x 4 m2 senyap sejenak. Gadis itu masih memejamkan kelopak matanya. Wajahnya tegas dengan lekukan indah terukir tanpa kerutan. Gadis itu mengernyitkan dahinya. Sontak membuat Dr Junwo tertawa terpingkal. Bahkan, bayi bisa berakting lebih baik darinya. Dokter Junwo menghela napas panjang. Ditatapnya lamat-lamat gadis dihadapannya. Pakaian biru polos yang dikenakannya sudah kusut. Kain panjang itu terbungkus hingga lututnya. Menyingkap kaki jenjangnya beberapa centi.
Gadis itu membuka matanya. Permainan telah usai. Sepertinya, ia sudah lelah melakoni drama melankolisnya. Adegan kali ini sepuluh menit lebih cepat dari biasanya. Ia menatap Dokter Junwo dengan tatapan kesal. Ia memandang ruangan itu sejenak. Ruangan sempit yang sudah tidak asing lagi baginya. Ruangan berukuran 5 x 4 m2 itu berbentuk sederhana dengan ranjang panjang berwarna putih yang menghadap ke arah barat. Sekilas seperti ruangan modern masa kini dengan dinding kaca di beberapa sisi. Apalagi langsung menuju taman. Ruangan strategis untuk mereset otak. Gadis itu memperbaiki duduknya. Melihat tangannya yang sudah diperban. Kali ini, rencananya gagal lagi.
Ada perasaan sesak dalam dirinya. Sekujur tubuhnya panas seakan ada bara api yang mengoyak kulit bagian luar hingga ke dalam. Napasnya tak teratur. Ia berusaha mengatur jumlah oksigen dan karbondioksida sebaik mungkin. Pakaian birunya ditarik keras. Tali yang dibelakang punggungnya mulai lepas. Rasa sakitnya mulai membungkus dadanya. Dadanya seakan tertusuk belasan pisau. Ia meringkuk dibalik selimut. Dengan sigap Dr Junwo memberikan suntikan penenang. Ia sudah memperkirakan kejadian ini. Lonjakan emosi bisa menyerang kapanpun. Cairan itu mengalir bersama darahnya. Membaur dan beradaptasi. Perlahan, emosinya kembali tertata. Ia menyandarkan tubuhnya.
“Aku tidak akan terlambat rapat untuk alasan konyol, Retta!”
Dr Junwo menarik kursi lipat di sebelah kanannya. Memangku tangannya dengan harapan pasiennya mau mendiskusikan masalahnya kali ini. Wajah gadis itu menunduk. Memasang ekspresi tertawa dilanjut menangis. Ia berulang kali melakukannya sekitar lima menit berikutnya. Ini tidak akan membantu. Dokter Junwo mengelilingi ruangannya. Menarik tirai putih di kedua sisi mengapitnya dengan tali panjang membentuknya menyerupai kipas. Memberikannya waktu, itulah yang terbaik. Jika memaksanya berbicara sekarang, ia akan memotong nadinya lagi. Sebagai psikater, Dokter Junwo sudah paham betul dengan kepribadian pasiennya. Apalagi dengan penyakit jangka panjang seperti Skizofrenia. Penyakit yang kebanyakan orang awam sebut penyakit gila. Dan untuk pasiennya ini, untungnya ia belum dalam tingkat serius. Yang membuatnya harus menjelajah jalanan dengan tampang lusuh dan bau.
“Untuk apa dokter menyelamatkanku, hah?”gadis itu melemparkan selimut putihnya dengan kasar. Berlari menuju Dr Junwo dengan langkah gontai. Menarik jasnya. Membuat Dokter Junwo maju beberapa langkah. Gadis itu menangis terisak, kakinya lemas. Cengkramannya juga melemah. Ia tumbang jatuh ke lantai. Bersimpuh di kaki Dr Junwo.
“ Ada kalanya seseorang menyerah pada hidupnya, tetapi Tuhan sudah memiliki kuantitas sendiri untuk masanya. Kau tidak akan selamat jika masamu sudah habis, percayalah hidup itu memiliki seni sendiri tuk bertahan” jelas Dr Junwo berusaha menenangkan.
Ia mengangkat tubuh gadis itu dan memapahnya ke sofa. Di ruangan yang serba putih itu, gadis itu terlihat menjadi kesatuan. Tubuhnya yang kurus dengan kulit putih bersih membuatnya bak putri es. Dr Junwo menata rambutnya yang berantakan. Ia bisa melihat sepasang mata lebar dengan pupil hitamnya mengkilap. Gadis itu terlihat epik. Garis wajah sempurna menyerupai seorang bangsawan. Hidungnya mancung agak kemerahan karena menahan tangis. Dokter Junwo memegang pundaknya. Terlintas wajah pucatnya tiga puluh menit lalu, darah mengalir deras dari pergelangan tangannya. Untungnya bukan di urat nadinya. Tepatnya, 0,01 inc lagi, kematian menjemputnya. Semua staff terlihat panik saat melihat Retta tergulai lemas dalam ambulan. Meski acap kali melihat hal serupa, tenaga medis tetap merasakan ketakutan. Khawatir sanak keluarga terdekat yang berada dalam kondisi seperti itu. Saat pertama kali melihat kondisi Retta, mereka mengira ia sudah tiada. Tubuhnya dingin dan juga bibirnya sudah membiru. Detak jantunngnya juga berhenti. Tetapi, itu tak bertahan lama. Sebuah keajaiban terjadi. Dalam hitungan detik, napasnya kembali. Bisa dikatakan ia mengalami mati suri.
“Sepertinya usahamu kali ini tidak berhasil, Retta” ucap Dr Junwo. Ia menghadap layar lebar di depannya sambil menguyah kacang goreng. Matanya dengan jeli mencari remot TV disela sofa. “Aku kira hilang di mana, ternyata di sini tempatnya. Sepertinya Pak Robert berniat mengerjaiku. Kemarilah, Retta. Ada kartun kesukaanmu di jam segini, bukan?”
Retta menatap Dr Junwo tak percaya. “ Dokter kira aku masih kecil. Aku lebih suka membaca buku. Dan buku yang aku baca akhir-akhir ini karya Gillian Flynn, Sharp Objects,” ujarnya sembari menatap wajah Dr Junwo seperti mengintimidasi.