“Sial. Aku telat.”
Retta bergegas mengambil peralatan lukisnya di bawah ranjang. Kamarnya masih berantakan. Selimut menggulung bak gunung Himalaya. Letak bantal guling yang semula ditempatnya beralih ke lantai. Entah bagaimana posisi tidurnya semalam. Kamar itu lumayan besar dengan modifikasi ruangan bergaya putri kerajaan. Ada kelambu yang mengelilingi ranjangnya. Itu adalah gambaran kala 2 tahun lalu sebelum kedatangan Retta. Apartemen megah yang dulu diidamkan beralih menjadi kamar kumuh. Lantai yang dulu berlandaskan karpet merah berubah warna menjadi kecoklatan. Bekas bungkusan obat yang terkelupas berserakan menjadi pandangan yang biasa di kamar Retta. Bahkan bekas cemilan dua minggu kemarin tak disentuh. Menganggur bersama tumpukan sampah lain. Bau, tidak perlu ditanya. Tempat sampah diujung blok, lebih baik daripada kamarnya. Hidung Retta sudah terbiasa. Jika baunya semakin menyengat, pengharum ruangan dengan harum lavender sudah cukup mengikis ketajaman baunya. Meskipun bersifat sementara. Karena tinggal sendiri, ia enggan beres-beres. Toh tidak ada yang datang, pikirnya.
Retta bangkit dari ranjangnya. Tubuhnya seakan terlempar saat kakinya tidak sengaja menginjak selimut di dekatnya. Ubin dingin apartemennya menjadi awal kesialan pagi itu. Mandi secepat kilat dalam beberapa menit sudah menjadi keahliannya sejak lama. Terlebih lagi, ia kerap kali begadang menyelesaikan karya lukisnya untuk pameran kampus. Itupun jarang. Para dosen lebih memilih karya yang dinilai layak. Pameran kampus acap kali digelar lebih bergengsi untuk memulai debut mahasiswanya. Tak khayal, para mahasiwa lain berkompetisi ikut andil di dalamnya. Dan itupun setelah menilik lebih dalam karya para senior.
Retta menatap pantulan dirinya di cermin. Rambutnya sengaja digerai kali ini. Mencoba mencari style baru. Selama ini, ia selalu mengikat rambutnya ke atas seperti ekor kuda. Lebih sederhana dan anti gerah. Retta menatap wajahnya kembali di cermin, wajahnya terlihat bersinar kala sinar matahari menyentuh pori kulitnya. Ada bulatan hitam di area bawah matanya. Tetapi, itu tak mengurangi esensi kecantikannya. Sebagian besar orang menganggap Retta bagaikan bidadari mungil yang menetap sementara di bumi. Kelak, jika misinya telah usai. Ia akan dijemput rombongan kuda putih dengan kereta kencana. Itulah anggapan anak kecil berusia lima tahun yang tinggal di sebelah apartemen Retta. Anak itu bernama Lucia. Gadis berkebangsaan Inggris-Jerman yang bermukim dua minggu terakhir. Ketika bertemu Retta, gadis kecil dengan kepang dua itu menatap takjub. Wajah polos dengan mata biru terangnya seakan melihat keajaiban dunia baru pada wajah Retta.
Setiap pagi, biasanya Lucia ditemani pengasuhnya, Rose berkeliling taman di dekat apartemen. Menikmati sinar surya meremajakan kulit halusnya. Retta sering bertemu dengannya di bangku panjang dekat air terjun taman itu. Melemparkan bolanya ke anjing kecilnya, Moli. Anjing Pomeranian asal Eropa Utara. Anjing dengan bulu hitam di bagian tubuh atas dan bagian bawah berwarna campuran coklat dan orange. Lucia begitu menikmati beberapa jam bersenda gurau bersama Moli. Ketika matahari menyingsing, Moli menggonggong dengan lengkingan khasnya. Menjilati bibir Lucia. Anjing itu segera berubah posisi. Posisi duduk dengan menjulurkan lidah. Lucia paham betul isyarat Moli. Anjing itu lapar. Rose bertanggung jawab mengurus Moli. Perempuan berumur tiga puluh tahun itu sudah lama bekerja di sana. Hampir tiga tahun terakhir.Dengan bermodal ijazah SMP, Rose memberanikan diri melamar pekerjaan itu. Tanpa kualifikasi berarti, Rose langsung di terima. Karena pekerjaan orangtua Lucia yang bertugas ke beberapa negara, Rose terpaksa menitipkan kedua anaknya pada Ibunya di Inggris. Karena itulah, ia bisa berbicara fasih dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Ia juga sering bercakap dengan Retta. Meski, tidak selalu mendapat respon.
“Setiap kehidupan memiliki makna. Tergantung kita menyikapinya. Kau tau Retta, aku adalah single parent sejak usiku 20 tahun. Usia begitu muda, bukan?” ujar Rose dikala senja mematung di sudut kota. “Saat itu, aku baru melahirkan anak keduaku. Suamiku pergi tanpa alasan. Entah mengapa, mungkin karena bosan,” Rose terkekeh mengingat masa kelamnya
Retta menunduk di sampingnya. Kerutan di wajah Rose menunjukkan betapa gigihnya ia bertahan. Retta bisa memahami perasaan Rose. Ia juga mengalaminya kali ini. Perasaan disisihkan. Terkadang Retta berpikir, apa semua akan baik jika pada awalnya memang sendiri, tidak kenal adanya kenangan dan ditinggalkan?.
Retta memainkan jemarinya. Sesekali melirik Rose dengan tatapan teduh.“ Dan kau tahu, aku juga sempat melakukan percobaan bunuh diri,” ucapnya membuat Retta tercengang. Rose terlihat sumringah saat meceritakannya. Ia menggenggam erat tangannya.
“Lalu?” tanya Retta penasaran. Rose menatap Retta sendu. Menepuk bahunya.
“Anakku menangis. Aku menunda aksiku. Aku sadar, meski hidupku tak berguna, kita tak seharusnya menyerah. Masih ada seseorang yang membutuhkan kehadiran kita. Termasuk kamu,” ujarnya sebelum Lucia memanggilnya. Retta tersenyum sinis. Di dunia ini, ia tidak yakin ada yang membutuhkannya. Mungkin itu akan berhasil di kehidupan selanjutnya. Jikalau ia terlahir normal, tidak setengah gila, pikirnya
Moli sangat akrab dengan Lucia. Anjing kecil itu begitu penurut. Lucia begitu bahagia. Tetapi, itu tidak bertahan lama. Anjing kecil itu mengalami kejadian mengerikan. Ia terjatuh saat mengambil bola di dekat tangga darurat. Tubuhnya terpelanting dengan darah segar mengalir di mulut dan telinganya.
Lucia begitu syok. Ia pingsan seketika. Rose yang sedang memasak di dapur langsung lari. Ia berteriak meminta pertolongan. Tangan Rose bergetar. Lucia sudah dianggapnya anak sendiri. Perasaannya berkecamuk. Pikiran-pikiran gila bergilian memacu otaknya. Bagaimana kalau Lucia tiada?
Rose mengangkat tubuh mungilnya ke kasur. Segera memanggil ambulance. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Seragam elok yang selalu dibanggakannya itu berubah lusuh. Rose mencoba menghubungi tuannya. Tersambung, tetapi tidak diangkat. Kemungkinan, ia sedang memperesentasikan proyek barunya di depan petinggi perusahaan.
Ambulance akan sampai lima belas menit lagi. Rose berusaha membangunkan Lucia dengan menepuk pipinya. Wajah gadis itu meringis kesakitan. Sesekali, bulir air menetes dari ujung matanya. Rose melihat keluar apartemen. Kosong. Penghuni apartemen enggan keluar ikut campur. Apalagi hanya sebatas menengok bangkai anjing. Rose menatap Moli sejenak. Mengambil tubuhnya yang kaku dan segera memakamkannya di taman belakang. Ia tak lupa menaruh mainan kesukaannya di atas pusaran.”Istirahatlah, terkadang manusia lebih egois dari binatang. Aku harap di kehidupanmu selanjutnya, kau tidak dilahirkan sebagai manusia,” ucapnnya.
Sirine ambulan menyibak keheningan. Rose mengangkat tubuh Lucia perlahan. Menaruhnya ke atas tandu. Dan bergegas ke rumah sakit. Setelah kejadian itu, Lucia mengalami mimpi buruk. Setiap malam, Lucia berteriak tidak karuan. Orang tuanya memutuskan pindah untuk memulihkan mentalnya. Mereka percaya, jika Lucia berpindah tempat, ia bisa melupakan Moli. Itulah terakhir kalinya Retta melihat gadis kecil itu di lorong apartemenya. Begitu juga dengan Rose. Mungkin, ia kembali ke tempat asalnya di Inggris bersama kedua anak lelakinya. Atau bisa juga mengikuti keluarga Lucia kembali.