“5,5 detik,” ujar cowok berkaos hitam itu tiba-tiba
Ia melangkah mendekati Retta dengan mengernyitkan dahi. Kedua tangannya di masukkan ke dalam celana jeansnya. Berjalan santai menuju Retta. Lelaki itu menengok melihat ketinggian gedung. Memegangi dagunya. Sesekali, ia mengangguk. Tatapannya beralih menatap Retta.
“Tinggi gedung ini sekitar 150 meter, “ ujarnya sembari memutari Retta. “ Kalau loncat dari sini, kemungkinan akan sampai dalam waktu sekitar 5,5 detik. Itupun tergantung bagaimana nona jatuh. Jika langsung terjun menghantam tanah, kemungkinan kematian 99%. Tetapi, kalau sampai tersangkut di pohon yang itu, kemungkinan kematian berkurang. Kira-kira 70-80%, jadi nona pilih yang mana?” lanjutnya sambil menunjuk pohon mangga di bawah. Pohon itu terlihat kokoh dari atas. Dengan bejibun daun yang meragkulnya dalam damai. Batangnya tebal dengan ranting menjulur ke sisi apartemen. Tidak sampai menyentuh tembok. Ranting itu terlanjur dipotong para pekerja di sana. Jika dilihat tebalnya, pohon itu berusia sekitar ratusan tahun lalu. Mungkin sudah ada sejak zaman Belanda dulu. “Nona?” lanjutnya
“Huh?” mata Retta terbelalak mendengar ucapan lelaki asing berkulit sawo matang itu
Retta menggigit bibir bawahnya, merasa kesal dengan lelaki berdada bidang di depannya. Bukannya memberikan arahan tuk bertahan hidup, lelaki di depannya bereaksi sebaliknya. Memberikan pilihan kematian dengan santainya. Ekspresi datar terpancar dalam raut muka tanpa penyesalan. Dia bukan manusia normal. Retta menatap langit senja yang sebentar lagi akan terpenggal menjadi malam. Sayup-sayup udara dari sisi utara menyingkap bulu kuduknya. Retta merasakan pangkal gerahamnya beradu kuat. Menjadikan tekanan batin beraduk dalam pikirannya. Ucapan lelaki itu seakan menikam batinnya.
“Mau berubah pikiran?,” ujarnya dengan melempar pandang melewati sekat awan senja.
Retta mematung. Kepalanya menunduk. Senyum mengerikan terlukis di wajah polosnya. Senyuman yang tergambar layaknya psikopat dengan buruan barunya. “Kau sudah salah mengira, tuan. Apakah kau kira aku akan takut? Kau salah menantang orang,” teriaknya.
Tangan telunjuknya menyentuh dada lelaki berparas rupawan itu. Lelaki itu terkekeh. Ia semakin brutal. Menarik baju Retta dengan kasar. Tanpa segan, lelaki itu meremas tangan kiri Retta. Menyeret dan mendorongnya ke ujung balkon. Lelaki itu memiringkan tubuh Retta sambil memegangi tangannya. Retta melirik jalanan di bawah. Ada ratusan ubin yang akan menerimanya kurang dari 6 detik. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lelaki itu. Lelaki itu mengangkat alisnya beberapa kali seperti mengejek. Retta menatap otot tangan lelaki itu yang mengeras. Retta menelan ludah beberapa kali. Pikirannya melayang menembus atmosfir di atasnya. Beberapa kemungkinan terbesit di otaknya. Jika regangan diperkecil beberapa joule, tubuh kurus Retta akan terlempar ke aspal apartemen. .
“Berhenti!” teriak Retta
Lelaki itu menarik Retta perlahan. Merasa dipermainkan, Retta mendorong lelaki itu. Ia melirik lelaki itu dengan tatapan tajam. Lelaki berkaos hitam itu diam. Tersenyum puas. Ia melirik jam tangannya sejenak. “ Kau tahu nona, di dunia ini setiap detik ada satu kematian karena bunuh diri. Dan, sepertinya kau akan menempati detik ke 5.400 jika kau loncat. Asal kau tahu, aku tadi hanya ingin kau loncat lebih cepat. Percayalah, kau itu sangat lambat. Apa kau takut menghadapi kematian?” ucapnya
“Omong kosong. Inilah yang aku inginkan dari dulu, Tuan. Hilang dari muka bumi ini,” jelas Retta membentangkan kedua tanganya dengan wajah menengadah.