Enam jam sebelumnya.
Matahari masih mengintip malu- malu. Sayup sayup masih terdengar suara dentuman paku bumi. Sudah berbulan- bulan seluruh penghuni apartemen terganggu dengan suara dentuman yang mengganggu tidur dan menaikkan tekanan darah itu. Tapi apa boleh buat, pengembang tidak berbohong. Dari awal mereka sudah memperlihatkan market plan yang delapan tower, dan sampai sekarang baru selesai empat tower. Jadilah mereka yang sudah tinggal di sana harus mengelus dada dan menghabiskan sedikit kapas setiap malam untuk menyumbat kuping.
Suara dentuman paku bumi menghilang saat kuping disumbat kapas, namun… begitu juga dengan suara lain yang bertujuan membangunkan tidur. Jam weker bablas, alarm di handphone lebih sayup dari kicau burung, dan pintu kamar yang di gedor hanya terdengar seperti beduk masjid di kejauhan. Tidak ada yang cukup ampuh untuk membangunkan dua ekor kerbau betina yang masih asik berkelana di dunia mimpi.
“ Whoi Dhea, Ola. Bangun whoiiiii.” Megan berteriak putus asa berusaha membangunkan kedua temannya. Sial, dia lupa menyuruh mereka berdua memberikan kunci kamar.
Megan menarik sebuah bangku plastik, di bagian punggungnya tertulis besar- besar, MEGAN. Dua bangku yang lain juga ada nama, DHEA dan VIOLA. Sebuah meja bulat dari kayu terletak di tengah ketiga bangku tersebut.
Kenapa harus di beri nama? Karena hanya itu aset mereka masing- masing. Sejak menyewa apartemen yang semi-furnished ini, hanya bangku plastik ini yang mereka beli untuk tambahan perabot, masing- masing membeli satu bangku. Selebihnya adalah kepunyaan pemilik apartemen. Ranjang, AC, dan sebuah kulkas kecil satu pintu.
Meja kayu yang bulat itu adalah hasil sumbangan dari pemilik toko bakery di lantai dasar. Lebih tepatnya, mereka ‘menolong’ si empunya toko dengan mencarikan tempat pembuangan untuk meja yang tak terpakai dan hanya buang- buang tempat di dalam toko itu.
Megan berjalan ke depan kalender yang digantung di dinding dan merobek halaman terdepan, tepat tiga bulan sejak mereka tinggal di apartemen ini. Mencoba segala peruntungan, dari karir hingga jodoh. Namun belum ada satupun yang bisa dibanggakan. Karir masih seperti paku bumi yang di proyek sebelah, tenggelam ke dalam tanah karena dihantam tanpa ampun oleh atasan. Jodoh lebih parah lagi, bahkan bayanganpun belum ada yang mau mendekat. Megan merenung dengan murung sambil menggelengkan kepala. Dia duduk sambil mengangkat kaki ke atas meja bundar, pikirannya melayang ke masa enam bulan yang lalu, saat mereka bertiga baru lulus dari Universitas Sumut di Medan.
*
“ Kalau lelaki di Jakarta berbeda dengan yang di Medan. Kalau di Medan, lelakinya setelah antar kau pulang langsung jemput wanita lain. Sama kau bilang sampai jumpa, sama yang lain bilang apa kabar. Tapi di Jakarta beda, setelah antar kau pulang, dia sayang- sayang kau dulu sebelum dia pigi. Dan kalau kau kasih dia sun di pipi, begitu dia sampai di rumah kau langsung di tilpun. Di sayang- sayang lagi kau. Begitu laki di Jakarta. Tampan macam artis Korea, dan setia pulak. Tidak macam di Medan sini bah, wajah pas- pasan tapi kita ditipu terus. Tiap kali pacaran kita macam judi togel, harus lihat hoki. Cilakanya sial terus pulak.” Dhea dengan khidmat berkhotbah di depan kedua sobatnya. Dia demikian khusyuk bercerita hingga ketika di bagian ‘sun pipi’ mulutnya ikut monyong dan berbunyi ‘cup’. Medan kali Dhea ini bah.
Megan dan Viola terpana, tersihir dan terbuai oleh kata- kata Dhea. Mata mereka bulat besar tak berkedip menatap Dhea yang manggut- manggut semakin meyakinkan. Ahhh ternyata lelaki Jakarta demikian sempurna. Romantis dan tampan seperti aktor Korea, dan setia seperti Upin kepada Ipin. Mengapa selama ini tak ada yang menyampaikan hal sepenting ini? Ahhh tentunya seluruh wanita merahasiakan, tidak sudi berbagi info sebagus ini. Untunglah ada Dhea, sobat mereka sejak hari pertama masuk kuliah.
Seperti pawang ular yang berhasil menangkap kepala ular, Dhea tidak mengendurkan tekanan dan terus mendesak dengan cerita demi cerita yang mencuci habis otak Megan dan Viola. Sel- sel di dalam kepala mereka mulai di reset ulang oleh kata demi kata dari Dhea.
“ Kau Ola, berapa kali kau dicurangi?” Dhea bertanya kepada Viola dengan nada suara bagaikan hakim kepada terdakwa.
“ Dua.” Viola menjawab dengan sendu. Ujung bibirnya tertarik hingga dagu.
“ Kau Megan. Berapa kali kau dicurangi?” Gantian Dhe bertanya kepada Megan.
“ Dua.” Megan menjawab dengan murung.
“ Nah. Aku juga sama seperti klen, dua kali juga. Tunggu apa lagi, ayu lah kita rantau ke Jakarta. Cari kerja, cari Abang keren, lalu pulang lagi ke Medan. Kita pamer sama kawan- kawan.” Dhea berusaha meyakinkan kedua sobatnya. Semangat untuk berpetualang meledak- ledak di dalam hatinya, di dalam benaknya terbayang mobil putih yang dijanjikan oleh pamannya. Asalkan Dhea mau pindah ke Jakarta dan membantu di perusahaan pamannya. Namun dia harus menahan sabar agar tidak terlihat menyolok di depan kedua sobatnya. Dia mengingat- ingat cara berkata- kata beberapa politikus yang jago dalam hal membohongi publik.
“ Aku takut Dhea. Perempuan Jakarta cantik- cantik, mana ada Abang Jakarta yang mau sama aku?” Megan berkata dengan pilu. Viola ikut mengangguk- angguk dengan cemas, dia jelas berpikiran sama dengan Megan.
“ Aihh, klen ini salah paham sama perempuan Jakarta. Perempuan di Medan tikung sana tikung sini, macam becak motor. Kebiasaan sleding. Makanya di Medan ini lelaki gampang hilang karena perempuan banyak yang main tikung. Kalau di Jakarta beda, perempuan di sana jalannya lurus- lurus, kebiasaan di aspal mulus. Karena jumlah lelaki di Jakarta lebih banyak dari perempuan. Saking banyaknya lelaki, turun pesawat bisa digotong kau. Jakarta juga lebih mudah kita cari kerja. Percayalah sama aku. Pilih mana klen, tiga kali ditepu lelaki Medan atau cukup sekali pacaran sama lelaki Jakarta terus kasih undangan ke kawan- kawan? ”
Bagai terhipnotis, dalam sekejap mata rantau ke Jakarta menjadi tujuan hidup bagi Megan dan Viola. Bangun pagi mereka menjadi kecewa karena menemukan diri mereka masih di Medan, dan setiap kali pergi tidur mulut selalu tersenyum karena sukma akan melayang ke Jakarta dan bertemu dengan Kim Soo Hyun berkulit coklat yang bicara dengan elo gue.
Aihh, dalam sekejap mata hidup mereka terasa hambar di kota yang telah demikian banyak mengukir sejarah hidup mereka, suka maupun duka. Namun Megan dan Viola tak berdaya. Mereka bertemu Dhea setiap hari, yang sekarang sering mengirimkan gambar Abang- abang Jakarta yang aduhai di grup chat mereka. Impian mereka untuk rantau ke Jakarta semakin lama semakin pekat dan mengental, hingga lebih kental dari durian Medan. Maka mereka mengatur hari baik untuk membicarakan dengan orang tua masing- masing.